Sabtu, 03 September 2016

Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara


KERAJAAN-KERAJAAN BESAR ISLAM INDONESIA
DI MASA SILAM

Prof. Dr. M. Dien Madjid, M.A

I. PENDAHULUAN

Pengajaran sejarah merupakan hal yang vital dalam paradigma kebangsaan. Sejarah bukan hanya membincangkan tentang masa lalu an sich, tapi juga sesuatu yang menciptakan masa kini dan masa depan. Internalisasi masa silam dalam paradigma pendidikan nasional sudah tentu merupakan inisiasi strategis untuk mencetak pribadi intelek yang memahami kekinian dengan perspektif kelampauan. Pekerjaan ini sangat penting dalam rangka menggugah kesadaran nasionalisme dan kecintaan akan Tanah Air kepada generasi muda.

Sejarah merupakan dialog yang tak kunjung usai. Akan selalu ada topik baru yang ditampilkan dari masa silam. Kiranya sudah bukan zamannya, apabila pengajaran sejarah di sekolah masih mengajak siswanya “bertamasya ke masa silam” dengan mengabaikan korelasinya dengan masa sekarang. Seiring laju dunia keilmuan yang kian berkembang, pengajaran sejarah pun seyogyanya dapat menyematkan sudut pandang baru agar sejarah tidak lagi menjadi mata pelajaran yang menjemukan.

Memang, ketika mengajarkan sejarah ke peserta didik, narasi masa lalu menjadi penjelasan utamanya. Seiring berjalannya waktu, kebosanan siswa sedikit terjembatani dengan adanya multimedia. Ilustrasi bergambar agaknya cukup menarik diperhatikan. Namun begitu, dari segi konten, materi sejarah agaknya belum banyak berubah. Masih didominasi oleh cara pandang masa lalu. Seakan, sejarah adalah sesuatu yang sudah lewat, hanya bisa dikenang.

Kenyataan tersebut sebenarnya bertolak belakang dengan esensi pengajaran sejarah sebenarnya. Adagium “sejarah adalah cerminan masa depan” agaknya perlu ditinjau ulang. Jangan lagi pola pengajarannya membawa siswa ke masa lalu, tapi mulai ditekankan pada nilai guna sejarah. Salah satu yang relevan adalah menghadirkan pola pengajaran “ke belakang” dan “ke depan” atau mengajarkan sejarah sebagai penopang realitas kekinian. Tentu akan banyak aspek baru yang didapatkan dari formula ini.

Masa ketika Indonesia memasuki periode kerajaan-kerajaan besar adalah abad emas yang patut dibanggakan. Banyak aspek kemajuan yang belum diungkap di tataran pendidikan formal. Seiring perjalanan waktu, cukup banyak memori kolektif bangsa yang justru di masa kini menjadi isu yang banyak diperbincangkan. Sebagai contoh, konsep ekonomi maritim global, ekonomi agraris, ketahanan negara serta kemajuan taraf intelektual, menjadi beberapa tema pokok yang dahulu pernah berkembang di Nusantara di bawah kerajaan-kerajaan besar. Penekanan kekhasan suatu kerajaan merupakan modal penting dalam mewujudkan pengajaran sejarah yang kontekstual dengan kekinian.

II. PEMBAHASAN

Indonesia pernah menjadi mercusuar peradaban ketika tanah dan airnya berada di masa kepemimpinan kerajaan-kerajaan besar Islam. Reputasi sebagai destinasi dagang dunia menemukan masa kejayaannya di periode ini. Nusantara menjadi spot penting dalam peta perdagangan dunia. Banyak kapal dagang asing yang datang membeli kekayaan alam gugusan pulau ini. Islamisasi yang tadinya merupakan produk dialog antara orang Arab dan pribumi, menjadi pintu gerbang bagi munculnya pengaruh Islam dalam kerajaan Nusantara. Oleh sebab banyaknya kerajaan Islam yang pernah bertahta di negeri ini, agar lebih fokus maka akan dibahas secara satu per satu seperti di bawah ini:

1. Kerajaan Perlak
Munculnya kerajaan ini dalam sejarah Nusantara merupakan reaksi dari ramainya kapal-kapal dagang Timur Tengah yang bertransaksi di bandar-bandar sekitar Selat Malaka. Mereka melewati pesisir barat Sumatra, masuk ke selat Sunda melalui Singapura menuju Kanton (China). Pembukaan jalur baru ini membawa keuntungan bagi perkembangan Perlak. Memasuki abad ke-8, Perlak sudah dikenal oleh dunia internasional sebagai bandar dagang yang aman dan ramai. Di bandar ini, para saudagar Islam bukan hanya melakukan kegiatan jual beli, tetapi juga menjalin dialog intensif. Komunikasi serta percampuran budaya yang kian intens antara penduduk setempat dengan pedagang Timur Tengah turut mempermudah pendirian kerajaan Perlak. Raja pertamanya bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, seorang keturunan Arab Quraisy. Ia memerintah 1161-1186 dan bergelar Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah.
Kemajuan Perlak mulai terasa ketika menginjak masa pemerintahan raja kelima, yakni Sultan Mahdum Alaiddin Abdul Kadir Syah (memerintah 1239-1243). Di masa ini regulasi kerajaan mengalami amandemen. Guna menyokong peran kerajaan mengupayakan kesejahteraan yang lebih efektif, ditetapkanlah suatu kebijakan mengangkat Mufti Besar sebagai pendamping raja. Selain itu reorganisasi manajemen kekayaan negara diadakan dengan pendirian lembaga perbendaharaan dan baitul mal. Mulai masa ini pula, dalam memimpin kerajaan, raja dibantu oleh Jawatan Kadhi Besar.
Perkembangan Islam baru meluas dan menguat di seluruh Aceh dengan pusatnya di Perlak, ketika kerajaan dipimpin oleh raja keenam bergelar Sultan Mahdum Alaiddin Amin Syah bin Malik Abdul Kadir (memerintah 1243-1267). Kekerabatan antarkerajaan Muslim mulai terjalin dengan baik di masa ini. Sang Raja memiliki dua anak perempuan yang dipersunting oleh dua raja besar; 1) Putri Ganggang Sari menikah dengan Sultan Malikussaleh, Raja Samudra Pasai pertama; 2) Putri Ratna Kemala menikah dengan Raja Iskandar Syah dari Tumasik (leluhur raja-raja Malaka).
Selain itu, intensitas perdagangan Perlak juga mengalami kenaikan. Sultan membuka spot perdagangan baru yakni Pelabuhan Basma yang terletak di antara Kuala Perlak dan Kuala Jambo Air. Dengan kata lain, letaknya di tengah dua aliran sungai. Di masa ini pula dibangun lembaga pendidikan terkemuka bernama Dayah Cot Kala di Bajeun.2 Salah satu guru besarnya bernama Teungku Muhammad Amin atau yang lebih dikenal dengan sebutan Teungku Cot Kala.

2. Kerajaan Linge
Kerajaan ini merupakan satu diantara kerajaan yang belum banyak diketahui umum. Jika sebelumnya, ketika membaca sejarah Aceh yang dikenal hanya kerajaan Perlak, Samudra Pasai dan Aceh Darussalam, maka seyogyanya kerajaan ini
diperkenalkan sebagai bentuk pembaruan sejarah. Kerajaan ini merupakan bentuk dinamika dakwah di pedalaman Aceh. Selain itu, hal yang bisa ditelisik lainnya adalah adanya kesinambungan kekerabatan antarkerajaan di Aceh. Meurah Ishak adalah Pengeran Perlak yang mendirikan kerajaan Linge. Keturunannya yang bernama Adi Genali adalah ayah Meurah Johan yang kelak mendirikan kerajaan Aceh yang dikemudian hari berganti menjadi Aceh Darussalam.
Kerajaan Lingge di dataran tinggi Gaoyo (sekarang Aceh Tengah) semakin berkembang, ketika diperintah oleh Adi Genali raja ke 4 yang dinobatkan tahun 1025. Seiring dengan semakin sejahteranya kehidupan masyarakatnya, Adi Genali membentuk Sarak Opat dan mendirikan kerajaan-kerajaan kecil (satelit) di daerah Seurule, Samar Kilang dan di pinggiran Danau Laut Tawar dan Gayo Lues. Raja Adi Genali kemudian mempersunting seorang putri kerajaan Johor dan dikaruniai 4 orang anak: Johansyah, Joharsyah, Meurah Lingge, dan Jampuk Lingge.

3. Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Samudra Pasai merupakan gabungan dari dua kerajaan, yakni Samudra dan Pasai. Kerajaan ini berada di wilayah yang kini masuk dalam wilayah Lhokseumawe, Aceh Utara. Diperkirakan kemunculan kerajaan ini adalah sekitar abad 13. Berdirinya kerajaan ini tidak terlepas dari keberadaan pedagang Muslim yang awalnya bertransaksi di pesisir yang sudah ada sejak abad 7.
Bukti berdirinya kerajaan ini tidak terlepas dari penemuan nisan kubur di wilayah Samudra Pasai. Dari nisan ini, diperoleh informasi mengenai raja pertama Samudra Pasai yang meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696 H, diperkirakan bertepatan dengan angka tahun masehi 1297.
Munculnya Samudra Pasai ke panggung politik Asia Tenggara erat kaitannya dengan kondisi politik Sriwijaya yang ketika mendekati abad 13 sudah mulai melemah pengaruhnya. Daerah-daerah yang semula berada dalam kuasanya, perlahan mulai memisahkan diri. Situasi tersebut dimanfaatkan oleh para pedagang Muslim, tidak hanya untuk membentuk kampung niaga, namun juga menyelenggrakan pemerintahan yakni dengan mengangkat Meurah Silu, kepala Gampong Samudra, menjadi raja pertama Samudra Pasai dengan gelar Sultan Malikussaleh.
Dikabarkan pada masa kepemimpinan Sultan Malikussaleh pernah datang rombongan utusan Syarif Mekkah yang dipimpin Syekh Ismail al-Zarfy. Ia menyebut Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam yang telah memiliki berbagai lembaga kenegaraan yang teratur, disamping pula angkatan laut dan darat yang kuat. Beberapa lembaga terkait juga disebutkannya, seperti:
(a). Lembaga Kabinet, yang menjadi ketuanya adalah Sri Kaya Khiatuddin, (b). Lembaga Mahkamah Agung, yang menjadi Mufti Besarnya (Syaikhul Islam) bernama Syekh Ali bin Ali al-Makarany. (c). Lembaga Kementerian Luar Negeri yang menjadi menterinya adalah Bawa Kaya Ali Hisamuddin al-Malabary. Wilayah kerajaan ini semakin meluas, manakala Sultan Malikussahir, raja kedua (memerintah 1297-1326), memasukkan kerajaan Perlak sebagai bawahan Samudra Pasai. Ketika tampuk pemerintahan berada di tangan Sultan Ahmad Malikuzzahir, pernah datang seorang pengembara Muslim Marokko bernama Ibnu Batuttah mengunjungi Pasai. Ia berangkat dari kerajaan Delhi menuju Tiongkok pada tahun 1345. Di tengah perjalanan inilah setelah mengunjungi Sri Lanka, ia mendatangi Pasai. Ia menceritakan kebaikan raja dan melihat percampuran budaya Persia dan Gujarat dalam Istana Pasai.

4. Kerajaan Aceh Darussalam
          Kerajaan Aceh Darussalam merupakan kerajaan yang berdiri di Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sekarang. Aceh Darussalam dapat tumbuh besar dikarenakan letak geografisnya yang strategis, yakni di bibir pantai utara Aceh yang menjadi jalur dagang internasional. Selain itu, kerajaan ini juga dikenal karena daerah kekuasaannya yang amat luas, hampir meliputi seluruh Sumatra dan sebagian Semenanjung Melayu. 
          Banyak peristiwa besar yang terjadi dalam bentangan kisah kerajaan ini. Aceh menjadi pesaing terkuat Portugis yang telah menguasai Malaka pada 1511. Portugis mengalami kesulitan untuk mengembangkan sayap pengaruhnya karena selalu mendapat ancaman dari Aceh Darussalam.
         Iskandar Muda (1602-1635) menjadi raja terbesar kerajaan ini. keahliannya memimpin negeri membuat rakyat Aceh makmur sejahtera. Perdagangan internasional yang tertata baik membawa pengaruh bagi pembangungan infrastruktur Aceh Darussalam, salah satu yang paling menonjol adalah aspek pendidikan. Pada masanya, Aceh dikenal sebagai salah satu pusat keilmuan internasional. Dalam Bustanussalatin dijelaskan banyak ulama Timur Tengah yang datang untuk mengajar di Aceh. Pelajar yang ada di kerajaan ini, bukan hanya dari Aceh dan sekitarnya, melainkan ada pula yang dari Patani, Padang dan Jawa.
        Munculnya Aceh sebagai pusat intelektual regional maupun internasional tidak terlepas dari peran ulamanya. Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Keduanya merupakan sosok sufi yang banyak mempunyai pengikut. Puisi-puisi sufi Hamzah Fansuri memiliki kandungan spiritual yang tinggi sehingga ia termasuk dalam penyair terbesar Nusantara. Syamsuddin as-Sumatrani dikenal sebagai penasehat kerajaan semasa Iskandar Muda. Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf Singkel merupakan sosok ulama yang memiliki pengaruh yang besar pula bagi perkembangan Aceh pasca Iskandar Muda. Julukan kiblat intelektual dunia amat berkaitan dengan peran serta ulama tersebut. Kaderisasi ulama di Aceh tetap berkesinambungan sampai masa kini.
         Di masa Iskandar Muda, banyak hal-hal populis yang mendapat perhatian serius pihak kerajaan. Pernah ada beberapa kebijakan unik yang berlaku di masa ini. Sebagaimana diketahui, penghinatan kepada kerajaan adalah kesalahan terbesar yang wajib dijatuhi hukuman berat. Sang raja memiliki cara unik dalam mengeliminir upaya pejabat kerajaan yang berseberangan dengan pandangannya. Begitu mengetahui ada yang seperti demikian, selama tiga hari sekali orang itu akan dipanggi untuk bertugas sebagai “penjaga malam" (peronda) dengan tanpa membawa senjata. Hukuman serupa juga dijatuhkan kepada pencuri harta rampasan perang.
       Perdagangan Aceh, termasuk yang terbaik di Nusantara. Tenggelamnya wibawa Malaka yang dikuasai Portugis memiliki berkah tersendiri bagi melebarnya pasar-pasar di pesisir. Barang-barang dagangan banyak dipasok dari wilayah kerajaan. Pejabat kerajaan memiliki langkah tersendiri, guna menjaga agar distribusi barang jangan sampai terputus yang mengakibatkan kekosongan stok, utamanya bagi komoditas unggulan seperti rempah-rempah.
     Di masa Iskandar Muda, petugas kerajaan sering mengadakan tinjauan lapangan untuk memastikan agar kebutuhan barang dagang pokok dapat terus diproduksi. Secara berkala mereka mendatangi para petani dan melakukan sistem bagi hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Tidak berhenti sampai di situ, pihak kerajaan juga mengatur barang tersebut hingga ke pasar internasional di pesisir pantai Aceh. 
         Sebagai contoh, ketika panen beras datang, petugas kerajaan mengawasinya dengan ketat. Hasil penen kemudian digudangkan dan disimpan sampai akhir musim panen. Setelah persediaan beras disishkan untuk konsumsi kerajaan dan rakyat, barulah sisanya dilempar ke pasar untuk dijual. Ketika musim paceklik tiba, Iskandar Muda melakukan monopoli beras. Regulasi beras ini efektif menjadikan Aceh sebagai salah satu lumbung padi terkemuka di zamannya. Beras menjadi komoditas lain yang laku di luar wilayah. 
          Penghasilan lain juga didapatkan dari pajak maritim. Agustin de Beaulieu, seorang anggota armada dagang Prancis yang pernah mengunjungi Aceh pada 1620-1621, menceritakan tentang pajak kelautan ini. Bagian terbesar dari berbagai pajak perniagaan masuk ke kas kerajaan dengan legalisasi cap raja atau bukti pembayaran pajak. Pajak yang masuk sekitar 50 – 60 real ketika waktu keluar pajaknya harus dibayar separuhnya. Pajak yang terbesar didapat dari saudagar Inggris dan Belanda.
            Berbagai bentuk model perpajakan diatur dalam kitab undang-undang Adat Aceh. Dalam kitab ini juga dibukukan mengenai peraturan bahwa orang asing yang meninggal di Aceh dan tidak mempunyai ahli waris, maka kekayaannya jatuh ke tangan kerajaan. Bentuk penghasilan lain juga didapat melalui peraturan Hak Tawan Karang. Hak ini terjadi apabila ditemukan kapal orang asing yang karam atau masih dapat diselamtkan ke darat, barang-barangnya menjadi milik kerajaan. Hibah dari pedagang asing yang akan berniaga di Aceh bagi raja juga merupakan pendapatan besar lainya. Hibah ini biasanya berupa emas dan barang berharga lainnya.
5. Kerajaan Palembang
Munculnya kerajaan Palembang tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan diaspora Adipati Majapahit bernama Ario Damar ke Palembang pada 1447. Awalnya, ia adalah penganut Hindu, namun beberapa waktu kemudian ia memutuskan menjadi Muslim dan namanya berganti menjadi Ario Abdillah atau Ario Dillah dengan gelar Panembahan Palembang. Proses menjadi Muslim yang relatif singkat itu menunjukkan sudah ada pemukiman orang Muslim di Palembang.
Suatu ketika, Ario Abdillah mendapat anugrah istri dari Kertabumi, Raja Majapahit, bernama Putri Campa. Pada tahun 1435 ia melahirkan anak yang diberi nama Raden Patah, raja pertama Demak
Hubungan Palembang terbangun dengan baik dengan Majapahit dan berlanjut terus hingga terjadi perombakan tata kekuasaan di Jawa. Ketika Demak yang menjadi kerajaan utama Islam di Jawa bahkan ketika digantikan Pajang, Palembang masih menjadi negara bagian dari Jawa. Kerjasama kedua pemerintahan mengalami kelonggaran ketika Mataram menjadi penguasa Islam di Jawa selanjutnya. Ketika Palembang di bawah kepemimpinan Pangeran Madi Ing Soko bergelar Pangeran Ratu Sultan Jamaluddin Amangkurat I yang memerintah pada 1587-1622, Palembang menjadi daerah protektorat kerajaan Mataram.
Ketika pengaruh Mataram atas Palembang agak memudar, pada 1653, Pangeran Ario Kesumo Abdul Rahim memproklamirkan Kesultanan Palembang Darussalam. Daerah kekuasaan kerajaan ini mencakup daerah-daerah sebagian Lampung Utara hingga Krui, Pulau Bangka Belitung dan eks Keresidenan Palembang. Sultan Palembang pertama ini memerintah hingga 1707.
Palembang mencapai masa kejayaannya ketika menginjak paruh kedua abad 18. Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin II memerintah secara bijaksana dan membuka pasaran timah yang luas, sehingga keutungannya digunakan untuk membangun kerajaan. Sumber daya timah yang melimpah menemukan pasaran yang tepat di Palembang. Pelabuhan di sana sudah menjadi tujuan saudagar antarpulau dan antarbenua. Jalur perdagangan ke Jawa, Riau, Malaka, Siam dan China sejak lama sudah terbangun dimanfaatkan untuk menyejahterakan rakyat
Pola terbentuknya Palembang hampir mirip dengan Demak, yakni kelanjutan dari dinasti atau kerajaan Hindu-Budha yang berjaya sebelumnya. Sriwijaya telah memiliki daerah pengaruh yang sedemikian luas di kawasan Sumatra Selatan. Palembang kemudian melajutkan kejayaan tersebut. Ini merupakan suatu pelajaran berharga bagi negara ini. para leluhur mengajarkan untuk mengupayakan stabilitas negara ketika masa peralihan kekuasaan.

6. Kerajaan Jambi
Pada abad 11, Jambi pernah menjadi kerajaan bahari terbesar di Nusantara, yaitu tempat berpijak bagi kerajaan Sriwijaya, sebelum dipindahkan ke Palembang. Setelah kerajaan tersebut surut, Jambi mengalami kehilangan pamor sehingga keadaannya dilupakan sejarah. Memasuki abad 16, terjadi pemusatan beberapa bandar besar di Nusantara, yakni Aceh, Johor, Pelembang, tak terkecuali Jambi. Membludaknya gelombang kedatangan pedagang asing membuat perekonomian Jambi kembali berdenyut dan menapaki masa keemasannya.
Selain mendapat keuntungan sebagai pelabuhan trasit, penjualan lada juga termasuk penyumbang perbendaharaan kerajaan. Lada tersebut dipasok dari daerah pedalaman, yakni Minangkabau dan didistribusikan ke pasar pelabuhan melalui jalur sungai Batanghari. Komoditas rempah ini menjadi elemen tunggal penggerak roda niaga Jambi. Tanpa lada, dapat dipastikan pelabuhan di sana sepi pengunjung, karena tidak ada lagi barang bernilai yang menjadi substitusinya (penggantinya).
Kerajaan Jambi pernah menjadi vassal kerajaan Mataram. Kedudukan ini di kemudian hari sering digunakan sebagai tameng yang menghalau Palembang maupun Banten yang berupaya memperluas kekuasaan dengan menudundukkan Jambi. Mengetahui hal tersebut, Palembang pun sungkan untuk melancarkan pelebaran pengaruhnya, mengingat Palembang masih menaruh hormat kepada Mataram.
Sistem pemerintahan di kerajaan Jambi tergolong unik. Jalannya pemerintahan dipegang oleh raja “yang tua” yang lazim disebut Sultan dan raja “yag muda” atau Pangeran Ratu (putra mahkota). Masing-masing dari mereka memiliki basis pendukung kekuasaannya tersendiri dan diperkenankan membuat tanda kebesaran yang satu sama lain berbeda. Terbelahnya kekuasaan inilah yang membuat Jambi berbeda dengan kerajaan lain. Otoritas kerajaan tidaklah tertalu otoriter mengingat kompromi antardua raja kerapkali terjadi. Hal ini amat berbeda dengan Aceh dan Mataram ayang keputusan tunggal melulu berada di tangan rajanya. Fungsi dua raja ini semata-mata

bukanlah menandakan dua kepemimpinan yang berbeda, namun justru dimaknai sebagai bentuk integritas Jambi.
Perekonomian di Jambi lebih banyak didominasi oleh peran para saudagar asing. Di antara mereka ada yang diplot sebagai pejabat syahbandar yang diberi mandat untuk mengorganisasikan sistem pelayaran dan perdagangan yang baik. Batanghari menjadi penyokong utama lancarnya distribusi barang dari pedalaman ke pesisir. Laiknya beberapa kerajaan di Kalimantan, sungai berperan besar sebagai jalur tak tergantikan dalam menjaga agar stok barang tetap tersedia.
Optimalisasi peran sungai agaknya menjadi perhatian di masa kini. Memori masa lalu sebagai salah satu kampiun perdagangan dunia, bukan hanya disematkan pada daerah pesisir semata, namun melihat pula pada peran sungainya. Merupakan suatu langkah menguntungkan jika potensi sungai negeri ini kembali dibangkitkan sehingga diharapkan menjadi alternatif pendapatan negara. Implikasi dari modernisasi peran sungai salah satunya adalah mendayagunakan peran para petani pedalaman.

7. Kerajaan Islam di Riau

Dalam Suma Oriental yang ditulis oleh Tome Pires disebutkan ada tiga kerajaan Islam bernama Siak, Kampar dan Indragiri, yang sekarang masuk dalam wilayah Riau. Belum dapat dipastikan, sejak kapan ketiga kerajaan ini mulai menganut Islam, namun diberitakan, sudah ada pedagang-pedagang Islam dari Arab dan daerah Timur Tengah lainnya, memegang peran penting dalam perdagangan dan pelayaran di perairan Malaka pada abad 7 dan 8 Masehi.
Berdasarkan informasi Tome Pires, Kerajaan Siak, Kampar dan Indragiri memiliki relasi niaga yang kuat dengan bandar Malaka, bahkan mengirimkan upeti ke kerajaan itu. Ketiga kerajaan ini memang diakui sebagai vassal kerajaan Malaka. Keadaan ini terjadi ketika Malaka diperintah oleh Sultan Mansur Syah (w.1477). Bahkan, pada era kepemerintahan anaknya, Sultan Alauddin Riayat Syah (w.1488) sebagian pulau di Selat Malaka, termasuk Lingga, Riau berada dibawah kekuasaan Malaka.
Ketiga kerajaan ini memiliki hasil alam yang melimpah. Tome Pires menyebutkan beberapa komoditas negeri-negeri itu antara lain adalah Siak menghasilkan padi, madu, lilin, rotan, bahan-bahan apotek dan emas. Kampar menjadi distributor emas, lilin, madu, biji-bijian dan kayu gaharu. Sedangkan Indragiri memiliki hasil alam serupa dengan Kampar, namun emasnya didapatkan dari Minangkabau.
Meskipun peran serta pengaruh ketiga kerajaan ini tidaklah sebesar Malaka dan Aceh Darussalam, keberadaan mereka justru amat penting sebagai lumbung hasil alam yang menarik para saudagar asing. Sebagaimana disebutkan oleh Slamet Muljana, kerajaan Malaka sendiri bukanlah kerajaan yang kaya dari hasil alamnya. Kerajaan ini hanya memfasilitasi dan memanjakan penjual dan pembeli dengan membangun pusat perkulakan yang memadai, sedangkan komoditasnya berasal dari negeri-negeri lain. Lada ungulan disana berasal dari Banten, beras dari Jawa, sedangkan komoditas penting lainnya didapatkan dari Sumatra Timur.
Kerjasama ketiga kerajaan Riau dengan Malaka tersebut merupakan gambaran tentang pentingnya mengkonsentrasikan beberapa provinsi maupun daerah sebagai lumbung komoditas alam serta hasil bumi tertentu. Memang, hal itu sudah ada di masa kini, namun penanganannya belumlah maksimal. Wawasan kesejarahan ini diharapkan mampu membentuk paradigma berpikir ekonomi yang lebih partisipatif terhadap pertumbuhan bangsa.

8. Kerajaan Demak

Demak merupakan pewaris terdepan dari kejayaan Majapahit dan menjadi sentral penyebaran Islam awal di pulau Jawa. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Patah sekitar abad 15 dibantu oleh beberapa orang ulama yang kemudian dikenal sebagai Wali Songo. Pola dakwah mereka yang akomodatif dengan tradisi, serta memberikan solusi bagi persoalan-persoalan aktual masyarakat kala itu, menyebabkan dakwah mereka kian meluas, yang berarti pula ikut melebarkan pengaruh Demak di pedalaman Jawa. Wawasan terbuka (inklusif) dalam syiar Islam memang menjadi strategi jitu kesuksesan dakwah para wali.
Banyak produk budaya hasil pembauran Islam dan Jawa yang semula dijadikan alat dakwah, kini menjadi kekayaan kebudayaan bangsa ini. salah satunya adalah Gapura. Bangunan kembar ada di sisi kiri kanan jalan, merupakan salah satu buah kecerdasan Sunan Kalijaga, salah satu anggota Wali Songo. Gapura berasal dari bahasa Arab “ghafura” yang berarti “ampunan”. Awalnya, bangunan ini dibangun sebagai pintu pertunjukan wayang. Seorang yang akan menonton pertujukkan wayang, harapanya setelah melewati bangunan ini lalu mendapat ampunan Tuhan. dengan cara simpatik ini, orang menjadi tidak takut dan semakin mantab menjadi Muslim.
Ekonomi kerajaan banyak disokong dari aspek kemaritiman. Hal ini terjadi setelah Trenggono, raja Demak kedua, melakukan serangkaian penguatan pengaruh politik di Jawa. Upaya ini membawa angin segar bagi perluasan dakwah Islam bahkan hingga menyentuh sebrang lautan, yakni sampai ke Kalimantan Selatan. Perlahan wilayah pantai Jawa berada dibawah kontrol Demak. Tercatat beberapa pelabuhan besar seperti Sunda Kelapa, Cirebon, Gresik dan daerah sekitar sungai Serayu menyatakan kesetiaan pada Demak.
Salah satu aspek yang menonjol dari kerajaan ini adalah di ranah dakwah Islamnya. Besarnya kerajaan ini bergantung pada luasnya dakwah para wali. Akulturasi budaya yang kerap digunakan dalam dakwah mencerminkan bahwa Islam dapat menjadi agama dominan di negeri ini adalah dilakukan dengan jalan yang damai, penuh harmoni dan jauh dari kekerasan seperti yang belakangan terjadi. Strategi dakwah Walisongo terbukti efektif mengajak penduduk Jawa untuk kembali bangkit dan berkarya berpayungkan pemerintahan dan agama baru.

9. Kerajaan Pajang

Kerajaan Pajang didirikan oleh Jaka Tingkir, menantu Sultan Demak yang terakhir (Sultan Trenggono). Jaka Tingkir dinobatkan menjadi Sultan Pajang bergelar Adiwijaya. Ia memperluas pengaruh ke beberapa daerah sekitarnya: Jipang, Demak, dan daerah pesisir utara Jawa seperti Jepara dan Pati dan ke arah barat sampai Banyumas.

Kendati kiprah Kerajaan Pajang dalam bentangan sejarah Jawa tergolong singkat, namun keberadaannya amat penting sebagai stabilisator bagi kekuatan-kekuatan yang bertikai. Ketika elite istana terlibat persengketaan suatu masalah, Jaka Tingkir muncul untuk mengurai dan meredam peristiwa tersebut. Dengan kelihaian serta kecerdasannya, ia mampu membuka belenggu lingkaran kekuasaan yang semula didominasi oleh silang sengkarut ambisi pewaris tahta. Sosok Joko Tingkir menunjukkan bahwa ketika istana mengalami kebuntuan, rakyat akan selalu siap menampilkan sosok alternatif guna menyelamatkan pemerintahan.
Perpindahan kekuasaan dari Demak ke Pajang hingga Mataram diliputi oleh pergeseran pusat pemerintahan dari daerah pinggir pantai ke pedalaman, yang ikut pula menggantikan perspektif maritim menjadi agraris.

10. Kerajaan Mataram
Berdirinya kerajaan Mataram tidak bisa dilepaskan dari peristiwa keterlibatan Ki Gede Pemanahan membantu Sultan Adiwijaya, Raja Pajang, menumpas pasukan pemberontak yang dipimpin Aria Penangsang dari Jipang. Sebagai hadiah, Sultan memberikan daerah Mataram sebagai daerah yang dipimpinnya.
Pada 1577, Ki Gede Pemanahan menempati keraton barunya di Mataram. Kemudian, ia digantikan oleh putranya Senopati pada 1584, yang penobatannya direstui Sultan Pajang. Ia merupakan sosok pemimpin yang agresif dalam menegakkan kedaulatannya. Pajang dan Demak dikuasainya pada 1588, menyusul kemudian Madiun (1590), Jepara (1599) dan (1619).
Raja besar lainnya yang melanjutkan apa yang dilakukan oleh Senapati adalah Sultan Agung (1613-1646). Seperti Senapati, Sultan Agung juga mewarisi keberanian untuk melanjutkan perluasan wilayah Mataram Wirasaba dan Lasem didudukinya, masing-masing pada 1615 dan 1616, menyusul kemudian Pasuruan (1617), Tuban (`1619) dan Madura (1624). Surabaya yang menjadi musuh bebuyutan Mataram ditundukannya pada 1625. Selajutnya, Giri (1636) dan Blambangan (1639). Prestasi ini seakan menggenapi apa yang sebelumnya dilakukan Senapati. Mataram masa ini sebagai penguasa utama Pulau Jawa, kendati bagian Barat belum banyak ditundukkan.
Berbeda dengan kerajaan Islam Jawa pada umumnya yang kotarajanya bertempat di pesisir pantai, Mataram memilih tempat yang agak ke dalam, yakni di sekitar Yogyakarta. Perubahan tata ruang ini, tentu saja berpengaruh besar bagi perpolitikan Jawa. Di masa pemerintahan Sultan Agung, legitimasi terpusat di pedalaman seimbang dengan administrasi desentralistik. Wibawa istana tetap dapat mengontrol kuasa-kuasa daerah. Ini merupakan bentuk warisan berharga, betapa jejaring ini menimbulkan kekuatan yang besar. Untuk kerajaan yang berpusat di pedalaman, ini merupakan suatu strategi yang jitu untuk tetap menjaga stabilitas wilayah kerajaan (mancanegara).
Mataram banyak mengajarkan negeri ini untuk selalu sigap mempersiapkan negeri dalam mengantisipasi bahaya disintegrasi. Upaya yang digagas Mataram adalah suatu awal untuk mewujudkan Jawa yang bersatu serta bersama menciptakan kesejahteraan. Daya tahan Mataram yang notabene awalnya hanya tanah perdikan, seakan mengingatkan bahwa kekerdilan serta keterbatasan yang dewasa ini dialamatkan ke negeri ini kemudian lahir dalam wujud ketidakpercayaan bernegara, merupakan sesuatu yang harus dijauhi.

11. Kerajaan Cirebon
Awalnya, Cirebon merupakan daerah bawahan Kerajaan Sunda Pajajaran dan menjadi salah satu pelabuhan kerajaan tersebut. ketika Tome Pires mengunjungi pelabuhan ini sekitar tahun 1513, diberitakan bahwa Cirebon sudah menjadi wilayah vassal Demak. Pemuka di Cirebon bernama Lebe Usa yang merupakan bawahan Pate Rodin (Raden Patah). Komoditas utama Cirebon adalah beras dan bahan makanan lainnya.
Merujuk pada Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Cerbon yang ditulis pada 1720, diperkirakan kehadiran Islam erat kaitannya dengan kedatangan Syarif Hidayatullah pada 1470 dan mensyiarkan Islam di Gunung Sembung dibantu oleh Haji Abdullah Iman (Pengeran Cakrabuana), pamannya, yang telah menetap di Cirebon sebelumnya. Syarif Hidayatullah kemudian menikah dengan Pakungwati, putri pamannya. Menginjak tahun 1479, ia menggantikan mertunya sebagai penguasa Cirebon.
Untuk memperkuat posisinya, ia mendirikan keraton yang diberi nama Pakungwati, letaknya di sebelah timur Keraton Kasepuhan kini. Nama Syarif Hidayatullah belakangan lebih dikenal sebagai Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Jati, salah seorang anggota Wali Songo. Ia juga mendapat gelar sebagai Pandita-Ratu, mengingat perannya selain sebagai ulama yang merangkap sebagai pemimpin Cirebon. Mulai saat itu, pengiriman upeti ke Pakuan Pajajaran dihentikan.
Di masa kepemimpinannya pengajaran Islam semakin diperluas. Untuk menunjang dakwah di pusat kekuasaan serta mewadahi gairah umat dalam menjalankan ritual keagamaan, dibangunlah Masjid Agung Sang Ciptarasa di sayap barat alun-alun keraton Pakungwati. Dakwah Islam pun mulai digelar dan diintensifkan ke wilayah yang lebih jauh antara lain ke Kuningan, Telaga, Galuh (sekitar 1528-1530), dan Banten antara 1525-1526 dibantu putranya Maulana Hasanuddin. Menginjak tahun 1527, ia merestui Fadhillah Khan, yang tak lain adalah menantunya namun mengabdi di Demak, untuk menyerbu Sunda Kalapa yang masih dikuasai Kerajaan Sunda yang sejak tahun 1522 telah menjalin kerjasama dengan Portugis.
Sejarah berdirinya Cirebon, laiknya sejarah pendirian Demak dan Banten adalah suatu fase penguatan Islam awal di tanah Jawa. Spirit keislaman di masa kerajaan-kerajaan itu amatlah kental dan dengan kharisma seorang tokoh dapat dibentuk sebagai formula perubahan tatanan sosial. Tidak mudah kiranya merubah suatu tradisi dan keberaturan yang telah lama berurat akar. Tersebarnya Islam di kemudian hari menjadi bukti, bahwa upaya penguatan Islam dilakukan secara ramah, partisipatif dan simpatik menuai hasil yang baik, tanpa harus mengupayakan perebutan kekuasaan. Spirit keislaman telah ditempa menjadi suatu suguhan yang menjanjikan perubahan sosial dan renovasi atas tatanan lama yang telah macet.

12. Kerajaan Banten
Banten merupakan kerajaan yang berdiri berkat dakwah Sunan Gunung Jati di ujung barat pantai utara Jawa pada sekitar 1525. Di sana, selain mengajarkan Islam, Sunan Gunung Jati melatih penduduk setempat untuk berdagang.
Raja Pajajaran memberi keluasan aktivitas dakwah dan raja pun tertarik untuk mengenal Islam. Guna mengintensifkan syiar Islam, pada tahun 1527, Sunan Gunung Jati menetap di pelabuhan Sunda. Dari sini perluasan agama semakin menyebar di pelabuhan Jawa Barat lainnya termasuk beberapa wilayah Pajajaran. Ketika Sunan
Gunung Jati memutuskan kembali ke Cirebon, estafet dakwahnya diteruskan oleh anaknnya, Maulana Hasanuddin, yang menikah dengan putri Demak kemudian diangkat menjadi Panembahan Banten pada 1552. Di masanya, Islam semakin luas tersebar hingga ke Lampung dan Sumatra Selatan.
Relasi bisnis dan persahabatan Banten menjangkau kerajaan-kerajaan besar di Nusantara seperti Cirebon, Lampung, Goa, Ternate dan Aceh. Disamping itu, hubungan dagang dengan dunia internasional juga disambungkan, seperti dengan Persia (Iran), Hindusatan, Arab, Inggris, Prancis, Denmark, Jepang, Pegu (Myanmar), Filipina, Cina dan sebagainya. keunggulan Banten dari segi perdagangan tidak hanya tercatat dalam harian Belanda (dagregisters), tetapi ditemukan dalam pecahan keramik dan benda lainnya yang berasal dari Cina, Jepang maupun Eropa.
Kerajaan Banten dibawah Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1676) melakukan perombakan besar di bidang politik, sosio-budaya dan ekonomi. Ia sosok yang visioner dalam pembangunan kerajaan. Keuntungan kerajaan digunakan untuk membangun keraton di Tirtayasa, membuat jalan dari Pontang ke Tirtayasa-bahkan membuat persawahan di sepanjang jalan tersebut serta membangun pemukiman di sebelah utara Untung Jawa.

13. Kerajaan Pontianak
Kerajaan Pontianak didirikan oleh pendakwah Arab yang terhitung masih keluarga Sayid, bernama Syarif Abdurrahman al-Qadri. Ia adalah putra dari ulama dari Hadramaut bernama Habib Husein al-Qadri. Syarif Abdurrahman merupakan pribadi yang luwes bergaul dengan raja-raja lainnya. Terbukti, ketika penobatannya menjadi Sultan Pontianak pertama pada tahun 1778, Raja Haji dari Riau menjadi pemimpin prosesi tersebut. walaupun baru pada 1778 ia ditasbihkan menjadi raja, namun sebenarnya sudah sejak 1771 ia memimpin Kerajaan Pontianak hingga tahun 1808.
Awalnya, ia banyak berkecimpung dalam dunia dakwah sebagaimana leluhurnya, namun ketika melihat peluang terbuka, ia merintis membangun kerajaan. Ia merintis kerajaan dimulai dengan membangun pemukiman di daerah pertemuan antara Sungai Landak dan Sungai Kapuas pada tanggal 23 Oktober 1771. Di tempat itu didirikan Masjid Jami’ Syarif Abdurrahman al-Qadri dan Istana al-Qadri.
Setelah masa Syarif Abdurrahman al-Qadri, raja-raja yang memerintah Pontianak adalah: Syarif Kasim al-Qadri (1808-1819), Syarif Osman al-Qadri (1819-1855), Syarif Hamid al-Qadri (1855-1872), Syarif Yusuf al-Qadri (1872-1895), Syarif Muhammad al-Qadri (1895-1944), Syarif Thaha al-Qadri (1944-1945) dan Syarif Hamid al-Qadri II (1945-1950).
Kerajaan Pontianak merupakan salah satu pencapaian penting orang Arab di Nusantara. Untuk kesekian kalinya dibuktikan, orang Arab sejatinya merupakan etnis yang turut pula mengisi lembar sejarah bangsa. Orang Arab menunjukkan, kehadiran mereka di Nusantara bukan hanya didorong oleh kepentingan dakwah dan perniagaan, namun juga menjurus ke arah strategis, yakni ikut membangun dakwah Islam di pedalaman Kalimantan, melalui hadirnya kerajaan. Kasus ini menunjukkan bahwa suksesnya dakwah di suatu kawasan hendaknya turut didukung pula oleh penguasa.


14. Kerajaan Banjar
Terbentuknya Kerajaan Banjar merupakan suatu keunikan tersendiri. Pola terciptanya kerajaan berangkat dari persengketaan elite kerajaan Banjarmasin pra-Islam pada tahun 1526 antara Pangeran Tumenggung dan Pangeran Samudra.
Pangeran Samudra yang dibantu pasukan Kesultanan Demak berhasil keluar sebagai pemenang. Ia menjadi Raja Banjarmasin Muslim pertama. Pada 1612 ibukota kerajaan pindah dari Banjarmasin ke Martapura terjadi ketika raja kedua, Sultan Rahmatullah, bertahta. Dalam perjalanannya, kerajaan ini pun sempat berada dalam masa ketegangan ketika VOC membantu Sultan Tamjidillah I (berkuasa 1745-1778) merebut tahta dari Sultan Kuning yang masih kecil. mengijak 1747, Tamjidillah menandatangani kontrak dagang dengan VOC.
Struktur pemerintahan Banjar dipengaruhi model penyelenggaraan kerajaan Demak. Meskipun begitu, raja-raja Banjar tidaklah seabsolut raja-raja Jawa. Umumnya, ukuran menjadi Raja Banjar adalah kekayaannya. Otoritas raja pun tidak seluas seperti raja Jawa. Raja yang berkuasa mendapat kontrol dari dewan kerajaan yang berisi bangsawan, keluarga raja serta pejabat birokrasi tinggi yang tergabung dalam Dewan Mahkota.
Lada menjadi komoditas penting di Banjarmasin pada abad 16 dan 17. Penanaman lada yang luas amat mungkin terjadi, mengingat banyak lahan tidur yang belum digarap oleh rakyat. Mereka bebas menanam sebanyak mungkin lada asalkan membayar pajak pada kerajaan. Puncak kemakmuran lada terjadi pada abad 18, di mana orang Tiongkok menjadi pelanggan utamanya. Selain itu, profesi lain yang menjanjikan di kerajaan ini adalah kerajinan kendi dan pertukangan. Luasnya perhutanan membuat negeri ini kaya dengan kayu, sehingga membuat bisnis pengolahannya menjadi sesuatu yang menguntungkan.
Berdirinya kerajaan Banjar Islam ikut memberi nuansa baru bagi kehidupan sosio-budaya disana. Pola yang terdapat disini agak mirip dengan kasus runtuhnya Majapahit dan terbentuknya Demak. Unsur Islam perlahan mengadakan perombakan besar-besaran dan menggantikan tradisi Hindu. Kendati terjadi perebutan tahta antara penguasa Hindu dan Islam, namun fenomena lain terjadi di tataran bawah. Islam menyebar ke lingkungan masyarakat dengan cara yang damai dan berpadu dengan warisan-warisan lama.
Banyak pelajaran yang dipetik dari proses pendirian kerajaan Banjar Islam. Pertikaian faksi politik kerajaan yang berkesudahan dengan menguatnya pengaruh Islam di Banjar tidak serta merta membawa kerusakan di bidang sosio-budaya. Antara politik dan budaya sejatinya merupakan dua tanah yang berbeda. Jika politik lebih banyak berbicara kompetisi untuk berkuasa, maka budaya melulu membicarakan keharmonisan. Bercampurnya Islam dalam tinggalan ajaran Hindu, merupakan strategi akomodatif yang belakangan menjadi faktor pemompa tersiarnya agama baru ini hingga belakangan menjadi agama dominan dalam masyarakat Banjar.

15. Kerajaan Makassar (Goa-Talo)
Kerajaan Makassar sesungguhnya merupakan gabungan dari dua kerajaan, yakni Goa dan Tallo. Dua kerajaan ini telah mentradisikan hubungan yang baik, sehingga belakangan, nama kedua kerajaan ini melebur menjadi kerajaan Makassar. Nama Makassar diambil dari nama ibukota Goa yang di masa kini telah berganti nama menjadi Ujung Pandang.
Menurut catatan, masuknya pengaruh Islam ke kerajaan terjadi ini pada tahun 1602 atau 1603. Hal ini ditandai ketika Raja Goa bernama Karaeng Toninggalo




menerima tiga ulama asal Minangkabau bernama Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro dan Datuk Patiamang. Meskipun raja Goa baru masuk Islam pada awal abad 17, sudah banyak diberitakan tentang aktivitas perdagangan orang Islam di Goa jauh sebelum itu. Bahkan, ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511, banyak saudagar Islam yang berpindah niaga ke negeri Nusantara lainnya, salah satunya ke Makassar.
Satu hal yang menonjol dari orang Makassar dan orang Bugis, tetangganya yang juga mendirikan kerajaan Wajo, Soppeng Luwu dan Sindereng, adalah perspektif kemaritiman mereka yang kuat. Dua bangsa ini dikenal sebagai para pelaut ulung yang keberadaannya tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Dari mereka dapat dipelajari tentang pentingnya pemanfaatan kekayaan laut guna mencapai kemaslahatan bersama. Sepenuhnya disadari, di negeri ini bentangan air adalah lebih besar daripada bentangan darat. Sudah sepatutnya masyarakat masa kini memanfaatkan potensi serta ketahanan laut yang semaksimal mungkin, seperti Makassar yang Bugis yang berjaya di ranah kelautannya.
Hal tersebut bukanlah tanpa sebab, pengaruh dari posisi geografis kerajaan adalah katalisatornya. Letak kerajaan Goa-Tallo yang terhampar di semenanjung barat daya pulau Sulawesi amat strategis sebagai tempat transaksi rempah-rempah. Kerajaan ini sebenarnya tidak memiliki komoditas lain yang diperdagangkan, kecuali beras. Jadi, pasar di sana amat bergantung dari pasokan pedagang-pedagang kepulauan, sedangkan pihak kerajaan hanya memfasilitasinya. Selain itu, pelabuhan di sana juga menjadi bandar transit bagi nelayan kepulauan Maluku yang mengisi perbekalan mereka untuk melanjutkan pelayaran. Sebagian orang Maluku inilah yang membawa rempah-rempah dari daerahnya kemudian dipasarkan di Goa-Tallo.
Barang dagangan ternyata bukan hanya berasal dari pasokan daerah lain. Terkadang, upeti dari kerajaan bawahan juga dijadikan komoditas dagang yang menguntungkan. Upeti itu berupa hasil alam berupa kayu cendana, kayu merah dan belerang. Sistem barter masih digunakan dalam transaki ekonomi. Pedagang dari Jawa, Bugis dan Melayu membawa barang-barang unggulan dari daerahnya yang kemudian ditukarkan dengan rempah-rempah.

16. Kerajaan Buton
Kerajaan Buton terletak di kawasan yang sekarang dikenal sebagai Sulawesi Tenggara. Sebagian wilayahnya masih termasuk ujung bawah Sulawesi, yakni Poleang dan Rumbia. Sedangkan sebagian yang lain, terhampar di gugus pulau mencakup Pulau Buton Muna (pulau terbesar pertama) dan Pulau Wuna. Selain itu terdapat pula pulau-pulau lainnya seperti Pulau Kabaena serta kumpulan pulau yang disebut Kepulauan Tukang Besi. Termasuk pula dalam kekuasaan Buton adalah pulau-pulau kecil seperti: Tikola, Tobea Besar, Tobea Kecil, Mangkasar, Batauga, Kadatuang, Masirieng, Siompo. Kepulauan Tukang Besi terdiri dari pulau: Wangi-Wangi atau Wanci-Wanci, Kaledupa, Tomea dan Binongko.
Kerajaan ini didirikan oleh pemuka masyarakat lokal Buton bernama Betoambari. Ketika ia pergi ke Kamaru yang terletak di timur Buton, ia menikah dengan Putri Kamaru dan bertambah lagi wilayah kekuasaan Buton. Di masa ini, Islam belum dianut oleh elite kerajaan Buton. Baru ketika bertahta keturunan Betoambari ke empat, bernama Marhum, sebagai Raja Buton, agama Islam mulai tersebar di Buton. Gelar “Sultan” baru digunakan ketika Lakilaponto bertahta pada 1491-1537 dengan
gelar Sultan Qaimuddin (peletak agama). Di masanyalah hubungan Buton dan Muna terajut. Ia juga dikenal sebagai raja yang membawahi dua kerajaan itu.
Terdapat kesulitan tersendiri dalam memetakan etnisitas orang Buton. Penduduk Buton dapat diklasifikasi dalam lima kelompok besar: orang Buton yang mendiami Pulau Buton, orang Muna yang mendiami Pulau Muna, orang Maronene yang mendiami Poleang dan Rumbia dan orang Kabaena yang tinggal di Pulau Kabaena. Di perairan Buton, juga banyak tersebar sekawanan kelompok Suku Bajau. Kompleksnya komposisi masyarakat di sana seakan menjadi bukti bahwa ternyata suatu kerajaan bisa eksis di atas keragaman. Kurang lebih sama seperti Indonesia di masa kini.
Berdirinya Kerajaan Buton tidak terlepas dari realitas geografisnya yang menjadi tempat aktivitas pelayaran dan perdagangan. Masyarakat yang majemuk, sebagaimaa telah disebutkan, tercipta dari suatu momen pertemuan. Untuk kasus Buton, mereka dipertemukan dalam bingkai kepentingan ekonomi. Kesempatan berniaga yang semakin luas terjalin berimplikasi pada tumbuhnya nuansa pergaulan antarmanusia seperti menguatnya kepemerintahan sederhana (chiefdom), kemudian menjadi kerajaan (kingdom) lalu di masa setelahnya menjadi state (negara). Wawasan bahari yang telah menjadi ciri khas di kerajaan ini, menemukan suatu hasil uji, betapa potensi kelautan dapat digunakan sebagai ajang temu budaya atau temu ekonomi yang dapat dilanjutkan ke tahap penyelenggaraan sistem pemerintahan.

17. Kerajaan Ternate
Islam secara resmi masuk ke Kepulauan Maluku pada abad 9 M, dibawa oleh para pedagang Arab, Persia dan Melayu pada rentang abad ke 5–11 M. Ternate merupakan satu di antara empat kerajaan yang terkenal di Maluku. Yang lain adalah kerajaan Tidore, Bacan dan Jailolo. Ternate dikenal sebagai salah satu tujuan belanja para saudagar asing adalah karena di wilayahnya tumbuh semerbak tumbuhan cengkeh yang menjadi satu diantara rempah-rempah penting yang dikapalkan ke pasar dunia.
Perdagangan lintas benua di Ternate membawa serta para saudagar Arab untuk memperkenalkan agama Islam di tengah penduduk pribumi. Perlahan namun pasti, Islam mulai dianut orang banyak. Para pendakwah Islam juga tak jemu mengadakan pertemuan dengan penguasa setempat. Lewat dakwah simpatik, seorang Kolani (penguasa pra-Islam Ternate) bernama Gapi Baguna menerima ajaran Islam Datuk Maulana Husin. Raja Ternate itu kemudian masuk Islam dan berganti nama menjadi Marhum.
Terdapat kesamaan dari sisi pendapatan ekonomi dari kerajaan-kerajaan Maluku, yakni dari penjualan rempah-rempah. Keuntungan dari hasil perdagangan sebagian digunakan membangun fasilitas umum, seperti masjid yang megah dan unik serta madrasah. Oleh sebab banyaknya masjid yang pembangunannya disponsori kerajaan, membuat hubungan rakyat dan penguasa amatlah dekat. Tak jarang dua golongan ini terlibat dalam suatu momen perayaan yang membaur tanpa ada sekat-sekat pembeda strata sosial yang tajam. Dalam satu kesempatan, gubernur Portugis bernama De Mesquita pernah menyaksikan ketika prosesi pelantikan Baabullah menjadi raja ke 4 Ternate, rakyat banyak yang bersorak-sorai merayakan pengangkatan tersebut.


18. Kerajaan Tidore
Kerajaan Tidore merupakan kerajaan kedua yang diislamkan setelah Ternate. Sama seperti kerajaan tetangganya, Tidore dikenal para pelaut asing sebagai penghasil rempah unggulan. Cengkeh menjadi primadona yang dikapalkan oleh kapal dagang asing ke negeri mereka. Penghasilan dari keuntungan penjualan sebagian dugunakan untuk membangun fasilitas masyarakat.
Adalah Kalano Ciriati, Raja Tidore yang kemudian masuk Islam dipandu oleh para pedagang Arab. Setelah menjadi Muslim, ia dan putranya kemudian berganti nama menjadi Sultan Jamaluddin dan Mansur. Nama Mansur digunakan sebagai bentuk pengabadian bahwa sebelumnya pernah ada seorang ulama Arab yang menyebarkan Islam di Tidore. Kebersislaman mereka belakangan juga diikuti oleh keluarga kerajaan dan masyarakat luas.
Demi menguatnya dakwah Islam, kalangan istana menyeponsori pembangunan fasilitas keagamaan seperti masjid dan madrasah. Ulama-ulama pun ditempatkan di sana guna memandu keimanan masyarakat serta memberikan pengajaran agama.
Upaya melebarkan jelajah dakwah Islam mendapat tantangan dari para misonaris Kristen Portugis dan Spanyol. Bangsa asing itu juga melakukann pemaksaan dominasi pembelian cengkeh yang mengancam eksistensi pasar pribumi. Ketegangan tersebut di kemudian hari memicu peperangan panjang. Portugis bukan lagi memandang pribumi Muslim sebagai mitra dalam berdagang, melainkan sebagai musuh yang harus ditumpas. Selama beberapa periode raja-raja Tidore disibukkan dengan penghentian serangan-serangan Portugis yang berencana meguasai Tidore. Tidore menjadi salah satu benteng umat Islam di kawasan Indonesia Timur yang membendung pengaruh Kristenisasi asing.

19. Kerajaan di Nusa Tenggara
Kehadiran Islam di Nusa Tenggara, diantaranya Lombok, diperkirakan sejak abad ke 16. Tokoh penyebar Islam awal di kepulauan ini adalah Sunan Prapen (w. 1605), putra Sunan Giri. Berbeda dengan Lombok, di Sumbawa Islam diperkenalkan oleh para pendakwah dari Makassar antara tahun 1504-1550.
Dari Lombok ajaran Islam menyebar ke Pejanggik, Parwa, Bayan dan tempat-tempat lainnya hingga seluruh Lombok memeluk Islam. Dari Lombok, diceritakan bahwa Sunan Prapen melanjutkan syiarnya ke Sumbawa. Kerajaan Islam Lombok yang beribukota di Selaparang dengan rajanya yang bernama Prabu Rangkesari. Di masanya, Selaparang berada pada periode emasnya, hingga mampu menjadi penguasa utama di Lombok. Relasi luar negeri dihubungkan dengan negeri-negeri lain, utamanya Demak. Banyak pula pedagang-pedagang luar negeri yang berdatangan ke Lombok.
Tatkala VOC berupaya mendominasi jalur dagang di belahan timur Nusantara, kerajaan Goa, yang sebelumnya terlibat ketegangan dengan VOC, mengambil langkah menutup jalur niaga ke Lombok dan Sumbawa dan belakangan memasukkan kedua daerah itu ke dalam pengaruhnya. Kerajaan-kerajaan yang ada di Sumbawa barat mengakui kekusaan Goa pada 1618, Bima pada 1633, Selaparang pada 1640, serta daerah-daerah sekitarnya, sehingga pada abad 17 seluruh kerajaan Islam Lombok masuk dalam kekuasaan Goa. Hubungan antara kerajaan Goa dan Lombok semakin harmonis ketika kedua kerajaan berbesanan. Pasca ditandatanganinya Perjanjian Bongaya antara VOC dam Goa, kerajaan-kerajaan di Nusa Tenggara memasuki masa kolonialisme Belanda.

Selain Lombok dan Sumbawa, adalah Kerajaan Bima, yang menjadi salah satu kerajaan lain yang eksis di Nusan Tenggara. Raja pertamanya yang masuk Islam bernama Ruma Ma Bata Wadu yang bergelar Sultan Bima I atau Sultan Abdul Kadir (memerintah 1611-1640). Raja ini merupakan menantu raja Goa dan baru masuk Islam di akhir masa pemerintahannya.25 Kerajaan ini terlibat aktif dalam peperangan panjang melawan upaya kolonisasi VOC. Perang panjang itu membuat kerajaan melemah dan akhirnya tunduk pada VOC. Saat VOC ingin memperbaharui kontraknya dengan Bima pada 1668, Raja Bima kala itu, Tureli Nggampo menolaknya.
Beberapa kerajaan kecil tetangganya juga gigih mempertahankan wibawanya dari cengkeraman VOC. Menginjak 1675, Raja Tambora yang bernama Kelongkong bersama staf kerajaannya diwajibkan menyerahkan pusaka kerajaan berupa keris-keris keramat kepada seorang perwira Belanda bernama Holsteijn. Terjadi peristiwa yang menghebohkan pada tahun 1691, yakni ketika permaisuri kerajaan Dompu terbunuh, Sultan Bima kala itu ditangkap dan diasingkan ke Makassar. Di sana ia dipenjara sampai ajal menjemputnya.
Di masa setelahnya, yakni selama abad 18, baik Bima, Lombok, Sumbawa dan lainnya semakin gencar melawan penjajah. Mereka yang dianggap sebagai biang keladi perang ditangkap dan diasingkan Belanda.
Ditinjau dari sudut pandang ekonomi, gugus pulau Nusa Tenggara dan sekitarnya menyimpan gelaran hasil alam yang tak kalah bernilai tinggi dengan yang ada di belahan Nusantara lainnya. Timor misalnya, tanahnya ditumbuhi kayu cendana yang menjadi komoditas ekspor di Cina. Oleh sebab melimpahnya komoditas tersebut, ada pepatah yang menyebutkan bahwa “Tuhan telah menciptakan Timor untuk kayu cendana, Banda untuk pala, sedangkan pulau-pulau Maluku untuk cengkeh.”
Sumbawa adalah penghasil dyewood atau kayu brazil. Pulau Lombok bersama Bali, adalah salah satu lumbung padi terkemuka Nusantara. Dua pulau ini juga menghasilkan bahan-bahan makanan yang biasa dikonsumsi para pelaut ketika berlayar. Flores atau Solor merupakan penghasil belerang. Budak juga menjadi komoditas lain yang laku keras di pasaran. Tingginya jumlah budak di gugus kepulauan ini adalah dampak dari peperangan antarkerajaan atau antarsuku. Mereka yang kalah harus merelakan penduduknya dijual sebagai budak.
Pengetahuan mengenai kerajaan-kerajaan kecil seperti ini amat relevan seiring dengan semakin mengglobalnya informasi, agaknya perlu diketengahkan sebagai pembaharuan informasi dalam sejarah. Nuansa baru tampilan kerajaan kecil diharapkan mampu memberikan suatu lecutan semangat bahwa kecil tubuh bukan berarti kecil semangat. Peserta didik diharapkan mampu menangkap filosofi bahwa negara yang sekarang menjadi besar adalah yang telah melewati fase-fase sulit dalam perkembangannya.

III. PENUTUP
Kerajaan-kerajaan besar Islam Nusantara memiliki kekhasan tersendiri yang dapat ditampilkan. Ditinjau dari posisi geografis keberadaannya saja, akan banyak sesuatu yang diunduh. Perspektif ini hendaknya mulai dikedepankan agar nilai guna belajar sejarah menemukan kontekstualitasnya. Variasi materi menjadi formula lebih agar pengajaran sejarah kian menarik.
Sebagian kerajaan di atas memang belum menjangkau keseluruhan jumlah kerajaan Islam Nusantara. Namun paling tidak, cukup mewakili masing-masing daerah Indonesia dalam konteks kekinian. Ternyata, banyak peristiwa masa lalu yang berpola sama dengan peristiwa masa sekarang. Pola mengaitkan masa silam dengan masa kini dan masa depan menjadi sesuatu yang enting dilakuan agar peserta didik dapat belajar berpikir kritis.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, ed, Sejarah Ummat Islam di Indonesia (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, tanpa tahun).
______________dkk, ed, Indonesia dalam Arus Sejarah, jilid 3 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012).
Effendi, Chairil, ed, Sejarah Penyebaran dan Pengaruh Budaya Melayu di Kalimantan (Jakarta: Direktorat Nilai Sejarah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2011).
Gadjahnata, K.H.O., ed, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatra Selatan (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986) .
Harun, Yahya, Kerajaan Islam di Nusantara Abad XVI Sampai XVII (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995) .
Hasjmy, A., Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (t.tp: Almaarif, 1963).
_________, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah (Jakarta: Penerbit Beuna, 1983) .
Latief, H. Ar., Pelangi Kehidupan Gayo Alas (Bandung: Kurnia Bupa, tanpa tahun).
Muljana, Slamet, Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981).
Purwadi dkk, Makrifat Sejati Sunan Kalijaga; Mengungkap Intisari Ajaran Islam Kejawen (Yogyakarta: Media Abadi, 2005).
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995).
Tjandrasasmita, Uka, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi (Kudus: Penerbit Menara Kudus, 2000).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006).
Zainuddin, H.M., Tarich Atjeh dan Nusantara, Djilid I (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961).
Zuhdi, Susanto, Sejarah Buton yang Terabaikan; Labu Rope Labu Wana (Jakarta: Rajawali Pers, 2010). 44


1 komentar:

  1. Best VR Sports Games (2021) | VIRTUALODL.cc
    Best VR Sports Games (2021) · 1. The best youtube to mp3 Climb 2 · 2. Surfer 2 · 3. VR Sports · 4. Golf · 5. Dodgeball · 6. Vr · 7. Walkabout Mini Golf · 8. Virtual

    BalasHapus