DI MASA SILAM
Prof. Dr. M. Dien Madjid, M.A
I. PENDAHULUAN
Pengajaran sejarah merupakan hal yang vital
dalam paradigma kebangsaan. Sejarah bukan hanya membincangkan tentang masa lalu
an sich, tapi juga sesuatu yang menciptakan masa kini dan masa depan.
Internalisasi masa silam dalam paradigma pendidikan nasional sudah tentu
merupakan inisiasi strategis untuk mencetak pribadi intelek yang memahami
kekinian dengan perspektif kelampauan. Pekerjaan ini sangat penting dalam
rangka menggugah kesadaran nasionalisme dan kecintaan akan Tanah Air kepada
generasi muda.
Sejarah merupakan dialog yang tak kunjung
usai. Akan selalu ada topik baru yang ditampilkan dari masa silam. Kiranya
sudah bukan zamannya, apabila pengajaran sejarah di sekolah masih mengajak
siswanya “bertamasya ke masa silam” dengan mengabaikan korelasinya dengan masa
sekarang. Seiring laju dunia keilmuan yang kian berkembang, pengajaran sejarah
pun seyogyanya dapat menyematkan sudut pandang baru agar sejarah tidak lagi
menjadi mata pelajaran yang menjemukan.
Memang, ketika mengajarkan sejarah ke
peserta didik, narasi masa lalu menjadi penjelasan utamanya. Seiring
berjalannya waktu, kebosanan siswa sedikit terjembatani dengan adanya multimedia.
Ilustrasi bergambar agaknya cukup menarik diperhatikan. Namun begitu, dari segi
konten, materi sejarah agaknya belum banyak berubah. Masih didominasi oleh cara
pandang masa lalu. Seakan, sejarah adalah sesuatu yang sudah lewat, hanya bisa
dikenang.
Kenyataan tersebut sebenarnya bertolak
belakang dengan esensi pengajaran sejarah sebenarnya. Adagium “sejarah adalah
cerminan masa depan” agaknya perlu ditinjau ulang. Jangan lagi pola
pengajarannya membawa siswa ke masa lalu, tapi mulai ditekankan pada nilai guna
sejarah. Salah satu yang relevan adalah menghadirkan pola pengajaran “ke
belakang” dan “ke depan” atau mengajarkan sejarah sebagai penopang realitas
kekinian. Tentu akan banyak aspek baru yang didapatkan dari formula ini.
Masa ketika Indonesia memasuki periode
kerajaan-kerajaan besar adalah abad emas yang patut dibanggakan. Banyak aspek
kemajuan yang belum diungkap di tataran pendidikan formal. Seiring perjalanan
waktu, cukup banyak memori kolektif bangsa yang justru di masa kini menjadi isu
yang banyak diperbincangkan. Sebagai contoh, konsep ekonomi maritim global,
ekonomi agraris, ketahanan negara serta kemajuan taraf intelektual, menjadi
beberapa tema pokok yang dahulu pernah berkembang di Nusantara di bawah
kerajaan-kerajaan besar. Penekanan kekhasan suatu kerajaan merupakan modal
penting dalam mewujudkan pengajaran sejarah yang kontekstual dengan kekinian.
II. PEMBAHASAN
Indonesia pernah menjadi mercusuar peradaban
ketika tanah dan airnya berada di masa kepemimpinan kerajaan-kerajaan besar
Islam. Reputasi sebagai destinasi dagang dunia menemukan masa kejayaannya di
periode ini. Nusantara menjadi spot penting dalam peta perdagangan dunia.
Banyak kapal dagang asing yang datang membeli kekayaan alam gugusan pulau ini.
Islamisasi yang tadinya merupakan produk dialog antara orang Arab dan pribumi,
menjadi pintu gerbang bagi munculnya pengaruh Islam dalam kerajaan Nusantara. Oleh
sebab banyaknya kerajaan Islam yang pernah bertahta di negeri ini, agar lebih
fokus maka akan dibahas secara satu per satu seperti di bawah ini:
1. Kerajaan Perlak
Munculnya
kerajaan ini dalam sejarah Nusantara merupakan reaksi dari ramainya kapal-kapal
dagang Timur Tengah yang bertransaksi di bandar-bandar sekitar Selat Malaka.
Mereka melewati pesisir barat Sumatra, masuk ke selat Sunda melalui Singapura
menuju Kanton (China). Pembukaan jalur baru ini membawa keuntungan bagi
perkembangan Perlak. Memasuki abad ke-8, Perlak sudah dikenal oleh dunia
internasional sebagai bandar dagang yang aman dan ramai. Di bandar ini, para
saudagar Islam bukan hanya melakukan kegiatan jual beli, tetapi juga menjalin
dialog intensif. Komunikasi serta percampuran budaya yang kian intens antara
penduduk setempat dengan pedagang Timur Tengah turut mempermudah pendirian
kerajaan Perlak. Raja pertamanya bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, seorang
keturunan Arab Quraisy. Ia memerintah 1161-1186 dan bergelar Sultan Alaiddin
Sayid Maulana Abdul Aziz Syah.
Kemajuan
Perlak mulai terasa ketika menginjak masa pemerintahan raja kelima, yakni
Sultan Mahdum Alaiddin Abdul Kadir Syah (memerintah 1239-1243). Di masa ini
regulasi kerajaan mengalami amandemen. Guna menyokong peran kerajaan
mengupayakan kesejahteraan yang lebih efektif, ditetapkanlah suatu kebijakan
mengangkat Mufti Besar sebagai pendamping raja. Selain itu reorganisasi
manajemen kekayaan negara diadakan dengan pendirian lembaga perbendaharaan dan
baitul mal. Mulai masa ini pula, dalam memimpin kerajaan, raja dibantu oleh
Jawatan Kadhi Besar.
Perkembangan
Islam baru meluas dan menguat di seluruh Aceh dengan pusatnya di Perlak, ketika
kerajaan dipimpin oleh raja keenam bergelar Sultan Mahdum Alaiddin Amin Syah
bin Malik Abdul Kadir (memerintah 1243-1267). Kekerabatan antarkerajaan Muslim
mulai terjalin dengan baik di masa ini. Sang Raja memiliki dua anak perempuan
yang dipersunting oleh dua raja besar; 1) Putri Ganggang Sari menikah dengan
Sultan Malikussaleh, Raja Samudra Pasai pertama; 2) Putri Ratna Kemala menikah
dengan Raja Iskandar Syah dari Tumasik (leluhur raja-raja Malaka).
Selain itu,
intensitas perdagangan Perlak juga mengalami kenaikan. Sultan membuka spot
perdagangan baru yakni Pelabuhan Basma yang terletak di antara Kuala Perlak dan
Kuala Jambo Air. Dengan kata lain, letaknya di tengah dua aliran sungai. Di
masa ini pula dibangun lembaga pendidikan terkemuka bernama Dayah Cot Kala di
Bajeun.2 Salah satu guru besarnya bernama Teungku Muhammad Amin atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Teungku Cot Kala.
2. Kerajaan Linge
Kerajaan ini
merupakan satu diantara kerajaan yang belum banyak diketahui umum. Jika
sebelumnya, ketika membaca sejarah Aceh yang dikenal hanya kerajaan Perlak,
Samudra Pasai dan Aceh Darussalam, maka seyogyanya kerajaan ini
diperkenalkan
sebagai bentuk pembaruan sejarah. Kerajaan ini merupakan bentuk dinamika dakwah
di pedalaman Aceh. Selain itu, hal yang bisa ditelisik lainnya adalah adanya
kesinambungan kekerabatan antarkerajaan di Aceh. Meurah Ishak adalah Pengeran
Perlak yang mendirikan kerajaan Linge. Keturunannya yang bernama Adi Genali
adalah ayah Meurah Johan yang kelak mendirikan kerajaan Aceh yang dikemudian
hari berganti menjadi Aceh Darussalam.
Kerajaan Lingge di dataran tinggi
Gaoyo (sekarang Aceh Tengah) semakin berkembang, ketika diperintah oleh Adi
Genali raja ke 4 yang dinobatkan tahun 1025. Seiring dengan semakin
sejahteranya kehidupan masyarakatnya, Adi Genali membentuk Sarak Opat dan
mendirikan kerajaan-kerajaan kecil (satelit) di daerah Seurule, Samar Kilang
dan di pinggiran Danau Laut Tawar dan Gayo Lues. Raja Adi Genali kemudian
mempersunting seorang putri kerajaan Johor dan dikaruniai 4 orang anak:
Johansyah, Joharsyah, Meurah Lingge, dan Jampuk Lingge.
3. Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan
Samudra Pasai merupakan gabungan dari dua kerajaan, yakni Samudra dan Pasai.
Kerajaan ini berada di wilayah yang kini masuk dalam wilayah Lhokseumawe, Aceh
Utara. Diperkirakan kemunculan kerajaan ini adalah sekitar abad 13. Berdirinya
kerajaan ini tidak terlepas dari keberadaan pedagang Muslim yang awalnya
bertransaksi di pesisir yang sudah ada sejak abad 7.
Bukti
berdirinya kerajaan ini tidak terlepas dari penemuan nisan kubur di wilayah
Samudra Pasai. Dari nisan ini, diperoleh informasi mengenai raja pertama
Samudra Pasai yang meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696 H, diperkirakan
bertepatan dengan angka tahun masehi 1297.
Munculnya
Samudra Pasai ke panggung politik Asia Tenggara erat kaitannya dengan kondisi
politik Sriwijaya yang ketika mendekati abad 13 sudah mulai melemah
pengaruhnya. Daerah-daerah yang semula berada dalam kuasanya, perlahan mulai
memisahkan diri. Situasi tersebut dimanfaatkan oleh para pedagang Muslim, tidak
hanya untuk membentuk kampung niaga, namun juga menyelenggrakan pemerintahan
yakni dengan mengangkat Meurah Silu, kepala Gampong Samudra, menjadi raja
pertama Samudra Pasai dengan gelar Sultan Malikussaleh.
Dikabarkan
pada masa kepemimpinan Sultan Malikussaleh pernah datang rombongan utusan
Syarif Mekkah yang dipimpin Syekh Ismail al-Zarfy. Ia menyebut Samudra Pasai
sebagai kerajaan Islam yang telah memiliki berbagai lembaga kenegaraan yang
teratur, disamping pula angkatan laut dan darat yang kuat. Beberapa lembaga terkait
juga disebutkannya, seperti:
(a). Lembaga
Kabinet, yang menjadi ketuanya adalah Sri Kaya Khiatuddin, (b). Lembaga
Mahkamah Agung, yang menjadi Mufti Besarnya (Syaikhul Islam) bernama Syekh Ali
bin Ali al-Makarany. (c). Lembaga
Kementerian Luar Negeri yang menjadi menterinya adalah Bawa Kaya Ali Hisamuddin
al-Malabary. Wilayah
kerajaan ini semakin meluas, manakala Sultan Malikussahir, raja kedua
(memerintah 1297-1326), memasukkan kerajaan Perlak sebagai bawahan Samudra
Pasai. Ketika tampuk pemerintahan berada di tangan Sultan Ahmad Malikuzzahir, pernah
datang seorang pengembara Muslim Marokko bernama Ibnu Batuttah mengunjungi
Pasai. Ia berangkat dari kerajaan Delhi menuju Tiongkok pada tahun 1345. Di
tengah perjalanan inilah setelah mengunjungi Sri Lanka, ia mendatangi Pasai. Ia
menceritakan kebaikan raja dan melihat percampuran budaya Persia dan Gujarat
dalam Istana Pasai.
4. Kerajaan Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh Darussalam merupakan kerajaan yang berdiri di Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sekarang. Aceh Darussalam dapat tumbuh besar dikarenakan letak geografisnya yang strategis, yakni di bibir pantai utara Aceh yang menjadi jalur dagang internasional. Selain itu, kerajaan ini juga dikenal karena daerah kekuasaannya yang amat luas, hampir meliputi seluruh Sumatra dan sebagian Semenanjung Melayu.
Banyak peristiwa besar yang terjadi dalam bentangan kisah kerajaan ini. Aceh menjadi pesaing terkuat Portugis yang telah menguasai Malaka pada 1511. Portugis mengalami kesulitan untuk mengembangkan sayap pengaruhnya karena selalu mendapat ancaman dari Aceh Darussalam.
Iskandar Muda (1602-1635) menjadi raja terbesar kerajaan ini. keahliannya memimpin negeri membuat rakyat Aceh makmur sejahtera. Perdagangan internasional yang tertata baik membawa pengaruh bagi pembangungan infrastruktur Aceh Darussalam, salah satu yang paling menonjol adalah aspek pendidikan. Pada masanya, Aceh dikenal sebagai salah satu pusat keilmuan internasional. Dalam Bustanussalatin dijelaskan banyak ulama Timur Tengah yang datang untuk mengajar di Aceh. Pelajar yang ada di kerajaan ini, bukan hanya dari Aceh dan sekitarnya, melainkan ada pula yang dari Patani, Padang dan Jawa.
Munculnya Aceh sebagai pusat intelektual regional maupun internasional tidak terlepas dari peran ulamanya. Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Keduanya merupakan sosok sufi yang banyak mempunyai pengikut. Puisi-puisi sufi Hamzah Fansuri memiliki kandungan spiritual yang tinggi sehingga ia termasuk dalam penyair terbesar Nusantara. Syamsuddin as-Sumatrani dikenal sebagai penasehat kerajaan semasa Iskandar Muda. Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf Singkel merupakan sosok ulama yang memiliki pengaruh yang besar pula bagi perkembangan Aceh pasca Iskandar Muda. Julukan kiblat intelektual dunia amat berkaitan dengan peran serta ulama tersebut. Kaderisasi ulama di Aceh tetap berkesinambungan sampai masa kini.
Di masa Iskandar Muda, banyak hal-hal populis yang mendapat perhatian serius pihak kerajaan. Pernah ada beberapa kebijakan unik yang berlaku di masa ini. Sebagaimana diketahui, penghinatan kepada kerajaan adalah kesalahan terbesar yang wajib dijatuhi hukuman berat. Sang raja memiliki cara unik dalam mengeliminir upaya pejabat kerajaan yang berseberangan dengan pandangannya. Begitu mengetahui ada yang seperti demikian, selama tiga hari sekali orang itu akan dipanggi untuk bertugas sebagai “penjaga malam" (peronda) dengan tanpa membawa senjata. Hukuman serupa juga dijatuhkan kepada pencuri harta rampasan perang.
Perdagangan Aceh, termasuk yang terbaik di Nusantara. Tenggelamnya wibawa Malaka yang dikuasai Portugis memiliki berkah tersendiri bagi melebarnya pasar-pasar di pesisir. Barang-barang dagangan banyak dipasok dari wilayah kerajaan. Pejabat kerajaan memiliki langkah tersendiri, guna menjaga agar distribusi barang jangan sampai terputus yang mengakibatkan kekosongan stok, utamanya bagi komoditas unggulan seperti rempah-rempah.
Di masa
Iskandar Muda, petugas kerajaan sering mengadakan tinjauan lapangan untuk
memastikan agar kebutuhan barang dagang pokok dapat terus diproduksi. Secara
berkala mereka mendatangi para petani dan melakukan sistem bagi hasil yang
menguntungkan kedua belah pihak. Tidak berhenti sampai di situ, pihak kerajaan
juga mengatur barang tersebut hingga ke pasar internasional di pesisir pantai
Aceh.
Sebagai
contoh, ketika panen beras datang, petugas kerajaan mengawasinya dengan ketat.
Hasil penen kemudian digudangkan dan disimpan sampai akhir musim panen. Setelah
persediaan beras disishkan untuk konsumsi kerajaan dan rakyat, barulah sisanya
dilempar ke pasar untuk dijual. Ketika musim paceklik tiba, Iskandar Muda
melakukan monopoli beras. Regulasi beras ini efektif menjadikan Aceh sebagai
salah satu lumbung padi terkemuka di zamannya. Beras menjadi komoditas lain
yang laku di luar wilayah.
Penghasilan
lain juga didapatkan dari pajak maritim. Agustin de Beaulieu, seorang anggota
armada dagang Prancis yang pernah mengunjungi Aceh pada 1620-1621, menceritakan
tentang pajak kelautan ini. Bagian terbesar dari berbagai pajak perniagaan
masuk ke kas kerajaan dengan legalisasi cap raja atau bukti pembayaran pajak.
Pajak yang masuk sekitar 50 – 60 real ketika waktu keluar pajaknya harus
dibayar separuhnya. Pajak yang terbesar didapat dari saudagar Inggris dan
Belanda.
Berbagai
bentuk model perpajakan diatur dalam kitab undang-undang Adat Aceh.
Dalam kitab ini juga dibukukan mengenai peraturan bahwa orang asing yang
meninggal di Aceh dan tidak mempunyai ahli waris, maka kekayaannya jatuh ke
tangan kerajaan. Bentuk penghasilan lain juga didapat melalui peraturan Hak
Tawan Karang. Hak ini terjadi apabila ditemukan kapal orang asing yang
karam atau masih dapat diselamtkan ke darat, barang-barangnya menjadi milik
kerajaan. Hibah dari pedagang asing yang akan berniaga di Aceh bagi raja juga
merupakan pendapatan besar lainya. Hibah ini biasanya berupa emas dan barang
berharga lainnya.
5. Kerajaan Palembang
Munculnya
kerajaan Palembang tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan diaspora Adipati
Majapahit bernama Ario Damar ke Palembang pada 1447. Awalnya, ia adalah
penganut Hindu, namun beberapa waktu kemudian ia memutuskan menjadi Muslim dan
namanya berganti menjadi Ario Abdillah atau Ario Dillah dengan gelar Panembahan
Palembang. Proses menjadi Muslim yang relatif singkat itu menunjukkan sudah ada
pemukiman orang Muslim di Palembang.
Suatu ketika,
Ario Abdillah mendapat anugrah istri dari Kertabumi, Raja Majapahit, bernama
Putri Campa. Pada tahun 1435 ia melahirkan anak yang diberi nama Raden Patah,
raja pertama Demak
Hubungan
Palembang terbangun dengan baik dengan Majapahit dan berlanjut terus hingga
terjadi perombakan tata kekuasaan di Jawa. Ketika Demak yang menjadi kerajaan
utama Islam di Jawa bahkan ketika digantikan Pajang, Palembang masih menjadi
negara bagian dari Jawa. Kerjasama kedua pemerintahan mengalami kelonggaran
ketika Mataram menjadi penguasa Islam di Jawa selanjutnya. Ketika Palembang di
bawah kepemimpinan Pangeran Madi Ing Soko bergelar Pangeran Ratu Sultan
Jamaluddin Amangkurat I yang memerintah pada 1587-1622, Palembang menjadi
daerah protektorat kerajaan Mataram.
Ketika pengaruh Mataram atas Palembang agak memudar,
pada 1653, Pangeran Ario Kesumo Abdul Rahim memproklamirkan Kesultanan
Palembang Darussalam. Daerah kekuasaan kerajaan ini mencakup daerah-daerah
sebagian Lampung Utara hingga Krui, Pulau Bangka Belitung dan eks Keresidenan
Palembang. Sultan Palembang pertama ini memerintah hingga 1707.
Palembang
mencapai masa kejayaannya ketika menginjak paruh kedua abad 18. Sultan
Susuhunan Mahmud Badaruddin II memerintah secara bijaksana dan membuka pasaran
timah yang luas, sehingga keutungannya digunakan untuk membangun kerajaan.
Sumber daya timah yang melimpah menemukan pasaran yang tepat di Palembang.
Pelabuhan di sana sudah menjadi tujuan saudagar antarpulau dan antarbenua.
Jalur perdagangan ke Jawa, Riau, Malaka, Siam dan China sejak lama sudah
terbangun dimanfaatkan untuk menyejahterakan rakyat
Pola
terbentuknya Palembang hampir mirip dengan Demak, yakni kelanjutan dari dinasti
atau kerajaan Hindu-Budha yang berjaya sebelumnya. Sriwijaya telah memiliki
daerah pengaruh yang sedemikian luas di kawasan Sumatra Selatan. Palembang
kemudian melajutkan kejayaan tersebut. Ini merupakan suatu pelajaran berharga
bagi negara ini. para leluhur mengajarkan untuk mengupayakan stabilitas negara
ketika masa peralihan kekuasaan.
6. Kerajaan Jambi
Pada abad 11,
Jambi pernah menjadi kerajaan bahari terbesar di Nusantara, yaitu tempat
berpijak bagi kerajaan Sriwijaya, sebelum dipindahkan ke Palembang. Setelah
kerajaan tersebut surut, Jambi mengalami kehilangan pamor sehingga keadaannya
dilupakan sejarah. Memasuki abad 16, terjadi pemusatan beberapa bandar besar di
Nusantara, yakni Aceh, Johor, Pelembang, tak terkecuali Jambi. Membludaknya
gelombang kedatangan pedagang asing membuat perekonomian Jambi kembali
berdenyut dan menapaki masa keemasannya.
Selain
mendapat keuntungan sebagai pelabuhan trasit, penjualan lada juga termasuk
penyumbang perbendaharaan kerajaan. Lada tersebut dipasok dari daerah
pedalaman, yakni Minangkabau dan didistribusikan ke pasar pelabuhan melalui
jalur sungai Batanghari. Komoditas rempah ini menjadi elemen tunggal penggerak
roda niaga Jambi. Tanpa lada, dapat dipastikan pelabuhan di sana sepi
pengunjung, karena tidak ada lagi barang bernilai yang menjadi substitusinya
(penggantinya).
Kerajaan Jambi pernah menjadi vassal
kerajaan Mataram. Kedudukan ini di kemudian hari sering digunakan sebagai
tameng yang menghalau Palembang maupun Banten yang berupaya memperluas
kekuasaan dengan menudundukkan Jambi. Mengetahui hal tersebut, Palembang pun
sungkan untuk melancarkan pelebaran pengaruhnya, mengingat Palembang masih
menaruh hormat kepada Mataram.
Sistem
pemerintahan di kerajaan Jambi tergolong unik. Jalannya pemerintahan dipegang
oleh raja “yang tua” yang lazim disebut Sultan dan raja “yag muda” atau
Pangeran Ratu (putra mahkota). Masing-masing dari mereka memiliki basis
pendukung kekuasaannya tersendiri dan diperkenankan membuat tanda kebesaran
yang satu sama lain berbeda. Terbelahnya kekuasaan inilah yang membuat Jambi
berbeda dengan kerajaan lain. Otoritas kerajaan tidaklah tertalu otoriter
mengingat kompromi antardua raja kerapkali terjadi. Hal ini amat berbeda dengan
Aceh dan Mataram ayang keputusan tunggal melulu berada di tangan rajanya.
Fungsi dua raja ini semata-mata
bukanlah
menandakan dua kepemimpinan yang berbeda, namun justru dimaknai sebagai bentuk
integritas Jambi.
Perekonomian
di Jambi lebih banyak didominasi oleh peran para saudagar asing. Di antara
mereka ada yang diplot sebagai pejabat syahbandar yang diberi mandat untuk
mengorganisasikan sistem pelayaran dan perdagangan yang baik. Batanghari
menjadi penyokong utama lancarnya distribusi barang dari pedalaman ke pesisir.
Laiknya beberapa kerajaan di Kalimantan, sungai berperan besar sebagai jalur
tak tergantikan dalam menjaga agar stok barang tetap tersedia.
Optimalisasi
peran sungai agaknya menjadi perhatian di masa kini. Memori masa lalu sebagai
salah satu kampiun perdagangan dunia, bukan hanya disematkan pada daerah
pesisir semata, namun melihat pula pada peran sungainya. Merupakan suatu
langkah menguntungkan jika potensi sungai negeri ini kembali dibangkitkan
sehingga diharapkan menjadi alternatif pendapatan negara. Implikasi dari
modernisasi peran sungai salah satunya adalah mendayagunakan peran para petani
pedalaman.
7. Kerajaan Islam di Riau
Dalam Suma
Oriental yang ditulis oleh Tome Pires disebutkan ada tiga kerajaan Islam
bernama Siak, Kampar dan Indragiri, yang sekarang masuk dalam wilayah Riau.
Belum dapat dipastikan, sejak kapan ketiga kerajaan ini mulai menganut Islam,
namun diberitakan, sudah ada pedagang-pedagang Islam dari Arab dan daerah Timur
Tengah lainnya, memegang peran penting dalam perdagangan dan pelayaran di
perairan Malaka pada abad 7 dan 8 Masehi.
Berdasarkan
informasi Tome Pires, Kerajaan Siak, Kampar dan Indragiri memiliki relasi niaga
yang kuat dengan bandar Malaka, bahkan mengirimkan upeti ke kerajaan itu.
Ketiga kerajaan ini memang diakui sebagai vassal kerajaan Malaka. Keadaan ini
terjadi ketika Malaka diperintah oleh Sultan Mansur Syah (w.1477). Bahkan, pada
era kepemerintahan anaknya, Sultan Alauddin Riayat Syah (w.1488) sebagian pulau
di Selat Malaka, termasuk Lingga, Riau berada dibawah kekuasaan Malaka.
Ketiga
kerajaan ini memiliki hasil alam yang melimpah. Tome Pires menyebutkan beberapa
komoditas negeri-negeri itu antara lain adalah Siak menghasilkan padi, madu,
lilin, rotan, bahan-bahan apotek dan emas. Kampar menjadi distributor emas,
lilin, madu, biji-bijian dan kayu gaharu. Sedangkan Indragiri memiliki hasil
alam serupa dengan Kampar, namun emasnya didapatkan dari Minangkabau.
Meskipun
peran serta pengaruh ketiga kerajaan ini tidaklah sebesar Malaka dan Aceh
Darussalam, keberadaan mereka justru amat penting sebagai lumbung hasil alam
yang menarik para saudagar asing. Sebagaimana disebutkan oleh Slamet Muljana,
kerajaan Malaka sendiri bukanlah kerajaan yang kaya dari hasil alamnya. Kerajaan
ini hanya memfasilitasi dan memanjakan penjual dan pembeli dengan membangun
pusat perkulakan yang memadai, sedangkan komoditasnya berasal dari
negeri-negeri lain. Lada ungulan disana berasal dari Banten, beras dari Jawa,
sedangkan komoditas penting lainnya didapatkan dari Sumatra Timur.
Kerjasama ketiga kerajaan Riau dengan Malaka tersebut
merupakan gambaran tentang pentingnya mengkonsentrasikan beberapa provinsi
maupun daerah sebagai lumbung komoditas alam serta hasil bumi tertentu. Memang,
hal itu sudah ada di masa kini, namun penanganannya belumlah maksimal. Wawasan
kesejarahan ini diharapkan mampu membentuk paradigma berpikir ekonomi yang
lebih partisipatif terhadap pertumbuhan bangsa.
8. Kerajaan Demak
Demak
merupakan pewaris terdepan dari kejayaan Majapahit dan menjadi sentral
penyebaran Islam awal di pulau Jawa. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Patah
sekitar abad 15 dibantu oleh beberapa orang ulama yang kemudian dikenal sebagai
Wali Songo. Pola dakwah mereka yang akomodatif dengan tradisi, serta memberikan
solusi bagi persoalan-persoalan aktual masyarakat kala itu, menyebabkan dakwah
mereka kian meluas, yang berarti pula ikut melebarkan pengaruh Demak di
pedalaman Jawa. Wawasan terbuka (inklusif) dalam syiar Islam memang menjadi
strategi jitu kesuksesan dakwah para wali.
Banyak produk
budaya hasil pembauran Islam dan Jawa yang semula dijadikan alat dakwah, kini
menjadi kekayaan kebudayaan bangsa ini. salah satunya adalah Gapura. Bangunan
kembar ada di sisi kiri kanan jalan, merupakan salah satu buah kecerdasan Sunan
Kalijaga, salah satu anggota Wali Songo. Gapura berasal dari bahasa Arab
“ghafura” yang berarti “ampunan”. Awalnya, bangunan ini dibangun sebagai pintu
pertunjukan wayang. Seorang yang akan menonton pertujukkan wayang, harapanya
setelah melewati bangunan ini lalu mendapat ampunan Tuhan. dengan cara simpatik
ini, orang menjadi tidak takut dan semakin mantab menjadi Muslim.
Ekonomi
kerajaan banyak disokong dari aspek kemaritiman. Hal ini terjadi setelah
Trenggono, raja Demak kedua, melakukan serangkaian penguatan pengaruh politik
di Jawa. Upaya ini membawa angin segar bagi perluasan dakwah Islam bahkan
hingga menyentuh sebrang lautan, yakni sampai ke Kalimantan Selatan. Perlahan
wilayah pantai Jawa berada dibawah kontrol Demak. Tercatat beberapa pelabuhan
besar seperti Sunda Kelapa, Cirebon, Gresik dan daerah sekitar sungai Serayu
menyatakan kesetiaan pada Demak.
Salah satu
aspek yang menonjol dari kerajaan ini adalah di ranah dakwah Islamnya. Besarnya
kerajaan ini bergantung pada luasnya dakwah para wali. Akulturasi budaya yang
kerap digunakan dalam dakwah mencerminkan bahwa Islam dapat menjadi agama
dominan di negeri ini adalah dilakukan dengan jalan yang damai, penuh harmoni
dan jauh dari kekerasan seperti yang belakangan terjadi. Strategi dakwah
Walisongo terbukti efektif mengajak penduduk Jawa untuk kembali bangkit dan
berkarya berpayungkan pemerintahan dan agama baru.
9. Kerajaan Pajang
Kerajaan
Pajang didirikan oleh Jaka Tingkir, menantu Sultan Demak yang terakhir (Sultan
Trenggono). Jaka Tingkir dinobatkan menjadi Sultan Pajang bergelar Adiwijaya.
Ia memperluas pengaruh ke beberapa daerah sekitarnya: Jipang, Demak, dan daerah
pesisir utara Jawa seperti Jepara dan Pati dan ke arah barat sampai Banyumas.
Kendati kiprah Kerajaan Pajang dalam bentangan sejarah
Jawa tergolong singkat, namun keberadaannya amat penting sebagai stabilisator
bagi kekuatan-kekuatan yang bertikai. Ketika elite istana terlibat
persengketaan suatu masalah, Jaka Tingkir muncul untuk mengurai dan meredam
peristiwa tersebut. Dengan kelihaian serta kecerdasannya, ia mampu membuka
belenggu lingkaran kekuasaan yang semula didominasi oleh silang sengkarut
ambisi pewaris tahta. Sosok Joko Tingkir menunjukkan bahwa ketika istana
mengalami kebuntuan, rakyat akan selalu siap menampilkan sosok alternatif guna
menyelamatkan pemerintahan.
Perpindahan
kekuasaan dari Demak ke Pajang hingga Mataram diliputi oleh pergeseran pusat
pemerintahan dari daerah pinggir pantai ke pedalaman, yang ikut pula menggantikan
perspektif maritim menjadi agraris.
10. Kerajaan Mataram
Berdirinya
kerajaan Mataram tidak bisa dilepaskan dari peristiwa keterlibatan Ki Gede
Pemanahan membantu Sultan Adiwijaya, Raja Pajang, menumpas pasukan pemberontak
yang dipimpin Aria Penangsang dari Jipang. Sebagai hadiah, Sultan memberikan
daerah Mataram sebagai daerah yang dipimpinnya.
Pada 1577, Ki
Gede Pemanahan menempati keraton barunya di Mataram. Kemudian, ia digantikan
oleh putranya Senopati pada 1584, yang penobatannya direstui Sultan Pajang. Ia
merupakan sosok pemimpin yang agresif dalam menegakkan kedaulatannya. Pajang
dan Demak dikuasainya pada 1588, menyusul kemudian Madiun (1590), Jepara (1599)
dan (1619).
Raja besar
lainnya yang melanjutkan apa yang dilakukan oleh Senapati adalah Sultan Agung
(1613-1646). Seperti Senapati, Sultan Agung juga mewarisi keberanian untuk
melanjutkan perluasan wilayah Mataram Wirasaba dan Lasem didudukinya,
masing-masing pada 1615 dan 1616, menyusul kemudian Pasuruan (1617), Tuban
(`1619) dan Madura (1624). Surabaya yang menjadi musuh bebuyutan Mataram
ditundukannya pada 1625. Selajutnya, Giri (1636) dan Blambangan (1639).
Prestasi ini seakan menggenapi apa yang sebelumnya dilakukan Senapati. Mataram
masa ini sebagai penguasa utama Pulau Jawa, kendati bagian Barat belum banyak
ditundukkan.
Berbeda
dengan kerajaan Islam Jawa pada umumnya yang kotarajanya bertempat di pesisir
pantai, Mataram memilih tempat yang agak ke dalam, yakni di sekitar Yogyakarta.
Perubahan tata ruang ini, tentu saja berpengaruh besar bagi perpolitikan Jawa.
Di masa pemerintahan Sultan Agung, legitimasi terpusat di pedalaman seimbang
dengan administrasi desentralistik. Wibawa istana tetap dapat mengontrol
kuasa-kuasa daerah. Ini merupakan bentuk warisan berharga, betapa jejaring ini
menimbulkan kekuatan yang besar. Untuk kerajaan yang berpusat di pedalaman, ini
merupakan suatu strategi yang jitu untuk tetap menjaga stabilitas wilayah
kerajaan (mancanegara).
Mataram
banyak mengajarkan negeri ini untuk selalu sigap mempersiapkan negeri dalam
mengantisipasi bahaya disintegrasi. Upaya yang digagas Mataram adalah suatu
awal untuk mewujudkan Jawa yang bersatu serta bersama menciptakan
kesejahteraan. Daya tahan Mataram yang notabene awalnya hanya tanah
perdikan, seakan mengingatkan bahwa kekerdilan serta keterbatasan yang dewasa
ini dialamatkan ke negeri ini kemudian lahir dalam wujud ketidakpercayaan
bernegara, merupakan sesuatu yang harus dijauhi.
11. Kerajaan Cirebon
Awalnya,
Cirebon merupakan daerah bawahan Kerajaan Sunda Pajajaran dan menjadi salah
satu pelabuhan kerajaan tersebut. ketika Tome Pires mengunjungi pelabuhan ini
sekitar tahun 1513, diberitakan bahwa Cirebon sudah menjadi wilayah vassal Demak.
Pemuka di Cirebon bernama Lebe Usa yang merupakan bawahan Pate Rodin (Raden
Patah). Komoditas utama Cirebon adalah beras dan bahan makanan lainnya.
Merujuk pada Purwaka
Caruban Nagari karya Pangeran Arya Cerbon yang ditulis pada 1720,
diperkirakan kehadiran Islam erat kaitannya dengan kedatangan Syarif
Hidayatullah pada 1470 dan mensyiarkan Islam di Gunung Sembung dibantu oleh
Haji Abdullah Iman (Pengeran Cakrabuana), pamannya, yang telah menetap di
Cirebon sebelumnya. Syarif Hidayatullah kemudian menikah dengan Pakungwati,
putri pamannya. Menginjak tahun 1479, ia menggantikan mertunya sebagai penguasa
Cirebon.
Untuk
memperkuat posisinya, ia mendirikan keraton yang diberi nama Pakungwati,
letaknya di sebelah timur Keraton Kasepuhan kini. Nama Syarif Hidayatullah
belakangan lebih dikenal sebagai Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Jati, salah
seorang anggota Wali Songo. Ia juga mendapat gelar sebagai Pandita-Ratu,
mengingat perannya selain sebagai ulama yang merangkap sebagai pemimpin
Cirebon. Mulai saat itu, pengiriman upeti ke Pakuan Pajajaran dihentikan.
Di masa
kepemimpinannya pengajaran Islam semakin diperluas. Untuk menunjang dakwah di
pusat kekuasaan serta mewadahi gairah umat dalam menjalankan ritual keagamaan,
dibangunlah Masjid Agung Sang Ciptarasa di sayap barat alun-alun keraton
Pakungwati. Dakwah Islam pun mulai digelar dan diintensifkan ke wilayah yang
lebih jauh antara lain ke Kuningan, Telaga, Galuh (sekitar 1528-1530), dan
Banten antara 1525-1526 dibantu putranya Maulana Hasanuddin. Menginjak tahun
1527, ia merestui Fadhillah Khan, yang tak lain adalah menantunya namun
mengabdi di Demak, untuk menyerbu Sunda Kalapa yang masih dikuasai Kerajaan
Sunda yang sejak tahun 1522 telah menjalin kerjasama dengan Portugis.
Sejarah
berdirinya Cirebon, laiknya sejarah pendirian Demak dan Banten adalah suatu
fase penguatan Islam awal di tanah Jawa. Spirit keislaman di masa
kerajaan-kerajaan itu amatlah kental dan dengan kharisma seorang tokoh dapat
dibentuk sebagai formula perubahan tatanan sosial. Tidak mudah kiranya merubah
suatu tradisi dan keberaturan yang telah lama berurat akar. Tersebarnya Islam
di kemudian hari menjadi bukti, bahwa upaya penguatan Islam dilakukan secara
ramah, partisipatif dan simpatik menuai hasil yang baik, tanpa harus
mengupayakan perebutan kekuasaan. Spirit keislaman telah ditempa menjadi suatu
suguhan yang menjanjikan perubahan sosial dan renovasi atas tatanan lama yang
telah macet.
12. Kerajaan Banten
Banten
merupakan kerajaan yang berdiri berkat dakwah Sunan Gunung Jati di ujung barat
pantai utara Jawa pada sekitar 1525. Di sana, selain mengajarkan Islam, Sunan
Gunung Jati melatih penduduk setempat untuk berdagang.
Raja
Pajajaran memberi keluasan aktivitas dakwah dan raja pun tertarik untuk
mengenal Islam. Guna mengintensifkan syiar Islam, pada tahun 1527, Sunan Gunung
Jati menetap di pelabuhan Sunda. Dari sini perluasan agama semakin menyebar di
pelabuhan Jawa Barat lainnya termasuk beberapa wilayah Pajajaran. Ketika Sunan
Gunung
Jati memutuskan kembali ke Cirebon, estafet dakwahnya diteruskan oleh anaknnya,
Maulana Hasanuddin, yang menikah dengan putri Demak kemudian diangkat menjadi
Panembahan Banten pada 1552. Di masanya, Islam semakin luas tersebar hingga ke
Lampung dan Sumatra Selatan.
Relasi bisnis
dan persahabatan Banten menjangkau kerajaan-kerajaan besar di Nusantara seperti
Cirebon, Lampung, Goa, Ternate dan Aceh. Disamping itu, hubungan dagang dengan
dunia internasional juga disambungkan, seperti dengan Persia (Iran),
Hindusatan, Arab, Inggris, Prancis, Denmark, Jepang, Pegu (Myanmar), Filipina,
Cina dan sebagainya. keunggulan Banten dari segi perdagangan tidak hanya
tercatat dalam harian Belanda (dagregisters), tetapi ditemukan dalam
pecahan keramik dan benda lainnya yang berasal dari Cina, Jepang maupun Eropa.
Kerajaan Banten dibawah Sultan
Ageng Tirtayasa (1651-1676) melakukan perombakan besar di bidang politik,
sosio-budaya dan ekonomi. Ia sosok yang visioner dalam pembangunan kerajaan.
Keuntungan kerajaan digunakan untuk membangun keraton di Tirtayasa, membuat
jalan dari Pontang ke Tirtayasa-bahkan membuat persawahan di sepanjang jalan
tersebut serta membangun pemukiman di sebelah utara Untung Jawa.
13. Kerajaan Pontianak
Kerajaan
Pontianak didirikan oleh pendakwah Arab yang terhitung masih keluarga Sayid,
bernama Syarif Abdurrahman al-Qadri. Ia adalah putra dari ulama dari Hadramaut
bernama Habib Husein al-Qadri. Syarif Abdurrahman merupakan pribadi yang luwes
bergaul dengan raja-raja lainnya. Terbukti, ketika penobatannya menjadi Sultan
Pontianak pertama pada tahun 1778, Raja Haji dari Riau menjadi pemimpin prosesi
tersebut. walaupun baru pada 1778 ia ditasbihkan menjadi raja, namun sebenarnya
sudah sejak 1771 ia memimpin Kerajaan Pontianak hingga tahun 1808.
Awalnya, ia
banyak berkecimpung dalam dunia dakwah sebagaimana leluhurnya, namun ketika
melihat peluang terbuka, ia merintis membangun kerajaan. Ia merintis kerajaan
dimulai dengan membangun pemukiman di daerah pertemuan antara Sungai Landak dan
Sungai Kapuas pada tanggal 23 Oktober 1771. Di tempat itu didirikan Masjid
Jami’ Syarif Abdurrahman al-Qadri dan Istana al-Qadri.
Setelah masa
Syarif Abdurrahman al-Qadri, raja-raja yang memerintah Pontianak adalah: Syarif
Kasim al-Qadri (1808-1819), Syarif Osman al-Qadri (1819-1855), Syarif Hamid
al-Qadri (1855-1872), Syarif Yusuf al-Qadri (1872-1895), Syarif Muhammad
al-Qadri (1895-1944), Syarif Thaha al-Qadri (1944-1945) dan Syarif Hamid
al-Qadri II (1945-1950).
Kerajaan
Pontianak merupakan salah satu pencapaian penting orang Arab di Nusantara.
Untuk kesekian kalinya dibuktikan, orang Arab sejatinya merupakan etnis yang
turut pula mengisi lembar sejarah bangsa. Orang Arab menunjukkan, kehadiran
mereka di Nusantara bukan hanya didorong oleh kepentingan dakwah dan perniagaan,
namun juga menjurus ke arah strategis, yakni ikut membangun dakwah Islam di
pedalaman Kalimantan, melalui hadirnya kerajaan. Kasus ini menunjukkan bahwa
suksesnya dakwah di suatu kawasan hendaknya turut didukung pula oleh penguasa.
14. Kerajaan Banjar
Terbentuknya
Kerajaan Banjar merupakan suatu keunikan tersendiri. Pola terciptanya kerajaan
berangkat dari persengketaan elite kerajaan Banjarmasin pra-Islam pada tahun
1526 antara Pangeran Tumenggung dan Pangeran Samudra.
Pangeran
Samudra yang dibantu pasukan Kesultanan Demak berhasil keluar sebagai pemenang.
Ia menjadi Raja Banjarmasin Muslim pertama. Pada 1612 ibukota kerajaan pindah
dari Banjarmasin ke Martapura terjadi ketika raja kedua, Sultan Rahmatullah,
bertahta. Dalam perjalanannya, kerajaan ini pun sempat berada dalam masa
ketegangan ketika VOC membantu Sultan Tamjidillah I (berkuasa 1745-1778)
merebut tahta dari Sultan Kuning yang masih kecil. mengijak 1747, Tamjidillah
menandatangani kontrak dagang dengan VOC.
Struktur
pemerintahan Banjar dipengaruhi model penyelenggaraan kerajaan Demak. Meskipun
begitu, raja-raja Banjar tidaklah seabsolut raja-raja Jawa. Umumnya, ukuran
menjadi Raja Banjar adalah kekayaannya. Otoritas raja pun tidak seluas seperti
raja Jawa. Raja yang berkuasa mendapat kontrol dari dewan kerajaan yang berisi
bangsawan, keluarga raja serta pejabat birokrasi tinggi yang tergabung dalam
Dewan Mahkota.
Lada menjadi
komoditas penting di Banjarmasin pada abad 16 dan 17. Penanaman lada yang luas
amat mungkin terjadi, mengingat banyak lahan tidur yang belum digarap oleh
rakyat. Mereka bebas menanam sebanyak mungkin lada asalkan membayar pajak pada
kerajaan. Puncak kemakmuran lada terjadi pada abad 18, di mana orang Tiongkok
menjadi pelanggan utamanya. Selain itu, profesi lain yang menjanjikan di
kerajaan ini adalah kerajinan kendi dan pertukangan. Luasnya perhutanan membuat
negeri ini kaya dengan kayu, sehingga membuat bisnis pengolahannya menjadi
sesuatu yang menguntungkan.
Berdirinya
kerajaan Banjar Islam ikut memberi nuansa baru bagi kehidupan sosio-budaya
disana. Pola yang terdapat disini agak mirip dengan kasus runtuhnya Majapahit
dan terbentuknya Demak. Unsur Islam perlahan mengadakan perombakan
besar-besaran dan menggantikan tradisi Hindu. Kendati terjadi perebutan tahta
antara penguasa Hindu dan Islam, namun fenomena lain terjadi di tataran bawah.
Islam menyebar ke lingkungan masyarakat dengan cara yang damai dan berpadu
dengan warisan-warisan lama.
Banyak
pelajaran yang dipetik dari proses pendirian kerajaan Banjar Islam. Pertikaian
faksi politik kerajaan yang berkesudahan dengan menguatnya pengaruh Islam di
Banjar tidak serta merta membawa kerusakan di bidang sosio-budaya. Antara
politik dan budaya sejatinya merupakan dua tanah yang berbeda. Jika politik
lebih banyak berbicara kompetisi untuk berkuasa, maka budaya melulu
membicarakan keharmonisan. Bercampurnya Islam dalam tinggalan ajaran Hindu,
merupakan strategi akomodatif yang belakangan menjadi faktor pemompa tersiarnya
agama baru ini hingga belakangan menjadi agama dominan dalam masyarakat Banjar.
15. Kerajaan Makassar
(Goa-Talo)
Kerajaan
Makassar sesungguhnya merupakan gabungan dari dua kerajaan, yakni Goa dan
Tallo. Dua kerajaan ini telah mentradisikan hubungan yang baik, sehingga
belakangan, nama kedua kerajaan ini melebur menjadi kerajaan Makassar. Nama
Makassar diambil dari nama ibukota Goa yang di masa kini telah berganti nama
menjadi Ujung Pandang.
Menurut
catatan, masuknya pengaruh Islam ke kerajaan terjadi ini pada tahun 1602 atau 1603.
Hal ini ditandai ketika Raja Goa bernama Karaeng Toninggalo
menerima
tiga ulama asal Minangkabau bernama Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro dan Datuk
Patiamang. Meskipun raja Goa baru masuk Islam pada awal abad 17, sudah banyak
diberitakan tentang aktivitas perdagangan orang Islam di Goa jauh sebelum itu.
Bahkan, ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511, banyak saudagar Islam
yang berpindah niaga ke negeri Nusantara lainnya, salah satunya ke Makassar.
Satu hal yang menonjol dari orang Makassar dan orang
Bugis, tetangganya yang juga mendirikan kerajaan Wajo, Soppeng Luwu dan
Sindereng, adalah perspektif kemaritiman mereka yang kuat. Dua bangsa ini
dikenal sebagai para pelaut ulung yang keberadaannya tersebar hampir di seluruh
perairan Indonesia. Dari mereka dapat dipelajari tentang pentingnya pemanfaatan
kekayaan laut guna mencapai kemaslahatan bersama. Sepenuhnya disadari, di negeri
ini bentangan air adalah lebih besar daripada bentangan darat. Sudah sepatutnya
masyarakat masa kini memanfaatkan potensi serta ketahanan laut yang semaksimal
mungkin, seperti Makassar yang Bugis yang berjaya di ranah kelautannya.
Hal tersebut
bukanlah tanpa sebab, pengaruh dari posisi geografis kerajaan adalah
katalisatornya. Letak kerajaan Goa-Tallo yang terhampar di semenanjung barat
daya pulau Sulawesi amat strategis sebagai tempat transaksi rempah-rempah.
Kerajaan ini sebenarnya tidak memiliki komoditas lain yang diperdagangkan,
kecuali beras. Jadi, pasar di sana amat bergantung dari pasokan
pedagang-pedagang kepulauan, sedangkan pihak kerajaan hanya memfasilitasinya.
Selain itu, pelabuhan di sana juga menjadi bandar transit bagi nelayan
kepulauan Maluku yang mengisi perbekalan mereka untuk melanjutkan pelayaran.
Sebagian orang Maluku inilah yang membawa rempah-rempah dari daerahnya kemudian
dipasarkan di Goa-Tallo.
Barang
dagangan ternyata bukan hanya berasal dari pasokan daerah lain. Terkadang, upeti
dari kerajaan bawahan juga dijadikan komoditas dagang yang menguntungkan. Upeti
itu berupa hasil alam berupa kayu cendana, kayu merah dan belerang. Sistem
barter masih digunakan dalam transaki ekonomi. Pedagang dari Jawa, Bugis dan
Melayu membawa barang-barang unggulan dari daerahnya yang kemudian ditukarkan
dengan rempah-rempah.
16. Kerajaan Buton
Kerajaan
Buton terletak di kawasan yang sekarang dikenal sebagai Sulawesi Tenggara.
Sebagian wilayahnya masih termasuk ujung bawah Sulawesi, yakni Poleang dan
Rumbia. Sedangkan sebagian yang lain, terhampar di gugus pulau mencakup Pulau
Buton Muna (pulau terbesar pertama) dan Pulau Wuna. Selain itu terdapat pula
pulau-pulau lainnya seperti Pulau Kabaena serta kumpulan pulau yang disebut
Kepulauan Tukang Besi. Termasuk pula dalam kekuasaan Buton adalah pulau-pulau
kecil seperti: Tikola, Tobea Besar, Tobea Kecil, Mangkasar, Batauga, Kadatuang,
Masirieng, Siompo. Kepulauan Tukang Besi terdiri dari pulau: Wangi-Wangi atau
Wanci-Wanci, Kaledupa, Tomea dan Binongko.
Kerajaan ini
didirikan oleh pemuka masyarakat lokal Buton bernama Betoambari. Ketika ia
pergi ke Kamaru yang terletak di timur Buton, ia menikah dengan Putri Kamaru
dan bertambah lagi wilayah kekuasaan Buton. Di masa ini, Islam belum dianut
oleh elite kerajaan Buton. Baru ketika bertahta keturunan Betoambari ke empat,
bernama Marhum, sebagai Raja Buton, agama Islam mulai tersebar di Buton. Gelar
“Sultan” baru digunakan ketika Lakilaponto bertahta pada 1491-1537 dengan
gelar
Sultan Qaimuddin (peletak agama). Di masanyalah hubungan Buton dan Muna
terajut. Ia juga dikenal sebagai raja yang membawahi dua kerajaan itu.
Terdapat
kesulitan tersendiri dalam memetakan etnisitas orang Buton. Penduduk Buton
dapat diklasifikasi dalam lima kelompok besar: orang Buton yang mendiami Pulau
Buton, orang Muna yang mendiami Pulau Muna, orang Maronene yang mendiami
Poleang dan Rumbia dan orang Kabaena yang tinggal di Pulau Kabaena. Di perairan
Buton, juga banyak tersebar sekawanan kelompok Suku Bajau. Kompleksnya komposisi
masyarakat di sana seakan menjadi bukti bahwa ternyata suatu kerajaan bisa
eksis di atas keragaman. Kurang lebih sama seperti Indonesia di masa kini.
Berdirinya
Kerajaan Buton tidak terlepas dari realitas geografisnya yang menjadi tempat
aktivitas pelayaran dan perdagangan. Masyarakat yang majemuk, sebagaimaa telah
disebutkan, tercipta dari suatu momen pertemuan. Untuk kasus Buton, mereka
dipertemukan dalam bingkai kepentingan ekonomi. Kesempatan berniaga yang
semakin luas terjalin berimplikasi pada tumbuhnya nuansa pergaulan antarmanusia
seperti menguatnya kepemerintahan sederhana (chiefdom), kemudian menjadi
kerajaan (kingdom) lalu di masa setelahnya menjadi state (negara).
Wawasan bahari yang telah menjadi ciri khas di kerajaan ini, menemukan suatu
hasil uji, betapa potensi kelautan dapat digunakan sebagai ajang temu budaya
atau temu ekonomi yang dapat dilanjutkan ke tahap penyelenggaraan sistem
pemerintahan.
17. Kerajaan Ternate
Islam secara
resmi masuk ke Kepulauan Maluku pada abad 9 M, dibawa oleh para pedagang Arab,
Persia dan Melayu pada rentang abad ke 5–11 M. Ternate merupakan satu di antara
empat kerajaan yang terkenal di Maluku. Yang lain adalah kerajaan Tidore, Bacan
dan Jailolo. Ternate dikenal sebagai salah satu tujuan belanja para saudagar
asing adalah karena di wilayahnya tumbuh semerbak tumbuhan cengkeh yang menjadi
satu diantara rempah-rempah penting yang dikapalkan ke pasar dunia.
Perdagangan
lintas benua di Ternate membawa serta para saudagar Arab untuk memperkenalkan
agama Islam di tengah penduduk pribumi. Perlahan namun pasti, Islam mulai dianut
orang banyak. Para pendakwah Islam juga tak jemu mengadakan pertemuan dengan
penguasa setempat. Lewat dakwah simpatik, seorang Kolani (penguasa pra-Islam
Ternate) bernama Gapi Baguna menerima ajaran Islam Datuk Maulana Husin. Raja
Ternate itu kemudian masuk Islam dan berganti nama menjadi Marhum.
Terdapat
kesamaan dari sisi pendapatan ekonomi dari kerajaan-kerajaan Maluku, yakni dari
penjualan rempah-rempah. Keuntungan dari hasil perdagangan sebagian digunakan
membangun fasilitas umum, seperti masjid yang megah dan unik serta madrasah.
Oleh sebab banyaknya masjid yang pembangunannya disponsori kerajaan, membuat
hubungan rakyat dan penguasa amatlah dekat. Tak jarang dua golongan ini
terlibat dalam suatu momen perayaan yang membaur tanpa ada sekat-sekat pembeda
strata sosial yang tajam. Dalam satu kesempatan, gubernur Portugis bernama De
Mesquita pernah menyaksikan ketika prosesi pelantikan Baabullah menjadi raja ke
4 Ternate, rakyat banyak yang bersorak-sorai merayakan pengangkatan tersebut.
18. Kerajaan Tidore
Kerajaan
Tidore merupakan kerajaan kedua yang diislamkan setelah Ternate. Sama seperti
kerajaan tetangganya, Tidore dikenal para pelaut asing sebagai penghasil rempah
unggulan. Cengkeh menjadi primadona yang dikapalkan oleh kapal dagang asing ke
negeri mereka. Penghasilan dari keuntungan penjualan sebagian dugunakan untuk
membangun fasilitas masyarakat.
Adalah Kalano
Ciriati, Raja Tidore yang kemudian masuk Islam dipandu oleh para pedagang Arab.
Setelah menjadi Muslim, ia dan putranya kemudian berganti nama menjadi Sultan
Jamaluddin dan Mansur. Nama Mansur digunakan sebagai bentuk pengabadian bahwa
sebelumnya pernah ada seorang ulama Arab yang menyebarkan Islam di Tidore.
Kebersislaman mereka belakangan juga diikuti oleh keluarga kerajaan dan
masyarakat luas.
Demi
menguatnya dakwah Islam, kalangan istana menyeponsori pembangunan fasilitas
keagamaan seperti masjid dan madrasah. Ulama-ulama pun ditempatkan di sana guna
memandu keimanan masyarakat serta memberikan pengajaran agama.
Upaya melebarkan
jelajah dakwah Islam mendapat tantangan dari para misonaris Kristen Portugis
dan Spanyol. Bangsa asing itu juga melakukann pemaksaan dominasi pembelian
cengkeh yang mengancam eksistensi pasar pribumi. Ketegangan tersebut di
kemudian hari memicu peperangan panjang. Portugis bukan lagi memandang pribumi
Muslim sebagai mitra dalam berdagang, melainkan sebagai musuh yang harus
ditumpas. Selama beberapa periode raja-raja Tidore disibukkan dengan
penghentian serangan-serangan Portugis yang berencana meguasai Tidore. Tidore
menjadi salah satu benteng umat Islam di kawasan Indonesia Timur yang
membendung pengaruh Kristenisasi asing.
19. Kerajaan di Nusa Tenggara
Kehadiran
Islam di Nusa Tenggara, diantaranya Lombok, diperkirakan sejak abad ke 16.
Tokoh penyebar Islam awal di kepulauan ini adalah Sunan Prapen (w. 1605), putra
Sunan Giri. Berbeda dengan Lombok, di Sumbawa Islam diperkenalkan oleh para
pendakwah dari Makassar antara tahun 1504-1550.
Dari Lombok
ajaran Islam menyebar ke Pejanggik, Parwa, Bayan dan tempat-tempat lainnya
hingga seluruh Lombok memeluk Islam. Dari Lombok, diceritakan bahwa Sunan
Prapen melanjutkan syiarnya ke Sumbawa. Kerajaan Islam Lombok yang beribukota
di Selaparang dengan rajanya yang bernama Prabu Rangkesari. Di masanya,
Selaparang berada pada periode emasnya, hingga mampu menjadi penguasa utama di
Lombok. Relasi luar negeri dihubungkan dengan negeri-negeri lain, utamanya
Demak. Banyak pula pedagang-pedagang luar negeri yang berdatangan ke Lombok.
Tatkala VOC
berupaya mendominasi jalur dagang di belahan timur Nusantara, kerajaan Goa,
yang sebelumnya terlibat ketegangan dengan VOC, mengambil langkah menutup jalur
niaga ke Lombok dan Sumbawa dan belakangan memasukkan kedua daerah itu ke dalam
pengaruhnya. Kerajaan-kerajaan yang ada di Sumbawa barat mengakui kekusaan Goa
pada 1618, Bima pada 1633, Selaparang pada 1640, serta daerah-daerah
sekitarnya, sehingga pada abad 17 seluruh kerajaan Islam Lombok masuk dalam
kekuasaan Goa. Hubungan antara kerajaan Goa dan Lombok semakin harmonis ketika
kedua kerajaan berbesanan. Pasca ditandatanganinya Perjanjian Bongaya antara
VOC dam Goa, kerajaan-kerajaan di Nusa Tenggara memasuki masa kolonialisme
Belanda.
Selain
Lombok dan Sumbawa, adalah Kerajaan Bima, yang menjadi salah satu kerajaan lain
yang eksis di Nusan Tenggara. Raja pertamanya yang masuk Islam bernama Ruma Ma
Bata Wadu yang bergelar Sultan Bima I atau Sultan Abdul Kadir (memerintah
1611-1640). Raja ini merupakan menantu raja Goa dan baru masuk Islam di akhir
masa pemerintahannya.25 Kerajaan ini terlibat aktif dalam peperangan panjang
melawan upaya kolonisasi VOC. Perang panjang itu membuat kerajaan melemah dan
akhirnya tunduk pada VOC. Saat VOC ingin memperbaharui kontraknya dengan Bima
pada 1668, Raja Bima kala itu, Tureli Nggampo menolaknya.
Beberapa
kerajaan kecil tetangganya juga gigih mempertahankan wibawanya dari cengkeraman
VOC. Menginjak 1675, Raja Tambora yang bernama Kelongkong bersama staf
kerajaannya diwajibkan menyerahkan pusaka kerajaan berupa keris-keris keramat
kepada seorang perwira Belanda bernama Holsteijn. Terjadi peristiwa yang
menghebohkan pada tahun 1691, yakni ketika permaisuri kerajaan Dompu terbunuh,
Sultan Bima kala itu ditangkap dan diasingkan ke Makassar. Di sana ia dipenjara
sampai ajal menjemputnya.
Di masa
setelahnya, yakni selama abad 18, baik Bima, Lombok, Sumbawa dan lainnya
semakin gencar melawan penjajah. Mereka yang dianggap sebagai biang keladi
perang ditangkap dan diasingkan Belanda.
Ditinjau dari
sudut pandang ekonomi, gugus pulau Nusa Tenggara dan sekitarnya menyimpan
gelaran hasil alam yang tak kalah bernilai tinggi dengan yang ada di belahan
Nusantara lainnya. Timor misalnya, tanahnya ditumbuhi kayu cendana yang menjadi
komoditas ekspor di Cina. Oleh sebab melimpahnya komoditas tersebut, ada
pepatah yang menyebutkan bahwa “Tuhan telah menciptakan Timor untuk kayu
cendana, Banda untuk pala, sedangkan pulau-pulau Maluku untuk cengkeh.”
Sumbawa
adalah penghasil dyewood atau kayu brazil. Pulau Lombok bersama Bali,
adalah salah satu lumbung padi terkemuka Nusantara. Dua pulau ini juga
menghasilkan bahan-bahan makanan yang biasa dikonsumsi para pelaut ketika
berlayar. Flores atau Solor merupakan penghasil belerang. Budak juga menjadi
komoditas lain yang laku keras di pasaran. Tingginya jumlah budak di gugus kepulauan
ini adalah dampak dari peperangan antarkerajaan atau antarsuku. Mereka yang
kalah harus merelakan penduduknya dijual sebagai budak.
Pengetahuan
mengenai kerajaan-kerajaan kecil seperti ini amat relevan seiring dengan
semakin mengglobalnya informasi, agaknya perlu diketengahkan sebagai
pembaharuan informasi dalam sejarah. Nuansa baru tampilan kerajaan kecil
diharapkan mampu memberikan suatu lecutan semangat bahwa kecil tubuh bukan
berarti kecil semangat. Peserta didik diharapkan mampu menangkap filosofi bahwa
negara yang sekarang menjadi besar adalah yang telah melewati fase-fase sulit
dalam perkembangannya.
III. PENUTUP
Kerajaan-kerajaan
besar Islam Nusantara memiliki kekhasan tersendiri yang dapat ditampilkan.
Ditinjau dari posisi geografis keberadaannya saja, akan banyak sesuatu yang
diunduh. Perspektif ini hendaknya mulai dikedepankan agar nilai guna belajar
sejarah menemukan kontekstualitasnya. Variasi materi menjadi formula lebih agar
pengajaran sejarah kian menarik.
Sebagian kerajaan di atas memang belum menjangkau
keseluruhan jumlah kerajaan Islam Nusantara. Namun paling tidak, cukup mewakili
masing-masing daerah Indonesia dalam konteks kekinian. Ternyata, banyak
peristiwa masa lalu yang berpola sama dengan peristiwa masa sekarang. Pola
mengaitkan masa silam dengan masa kini dan masa depan menjadi sesuatu yang
enting dilakuan agar peserta didik dapat belajar berpikir kritis.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, ed, Sejarah
Ummat Islam di Indonesia (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, tanpa tahun).
______________dkk, ed, Indonesia
dalam Arus Sejarah, jilid 3 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2012).
Effendi, Chairil, ed, Sejarah
Penyebaran dan Pengaruh Budaya Melayu di Kalimantan (Jakarta: Direktorat
Nilai Sejarah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2011).
Gadjahnata, K.H.O., ed, Masuk
dan Berkembangnya Islam di Sumatra Selatan (Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1986) .
Harun, Yahya, Kerajaan
Islam di Nusantara Abad XVI Sampai XVII (Yogyakarta: Kurnia Kalam
Sejahtera, 1995) .
Hasjmy, A., Sejarah Masuk
dan Berkembangnya Islam di Indonesia (t.tp: Almaarif, 1963).
_________, Kebudayaan Aceh
dalam Sejarah (Jakarta: Penerbit Beuna, 1983) .
Latief, H. Ar., Pelangi
Kehidupan Gayo Alas (Bandung: Kurnia Bupa, tanpa tahun).
Muljana, Slamet, Kuntala,
Sriwijaya, dan Suwarnabhumi (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981).
Purwadi dkk, Makrifat
Sejati Sunan Kalijaga; Mengungkap Intisari Ajaran Islam Kejawen (Yogyakarta:
Media Abadi, 2005).
Ricklefs, M.C., Sejarah
Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995).
Tjandrasasmita, Uka, Pertumbuhan
dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII
Masehi (Kudus: Penerbit Menara Kudus, 2000).
Yatim, Badri, Sejarah
Peradaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006).
Zainuddin, H.M., Tarich
Atjeh dan Nusantara, Djilid I (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961).
Zuhdi, Susanto, Sejarah
Buton yang Terabaikan; Labu Rope Labu Wana (Jakarta: Rajawali Pers, 2010). 44
Best VR Sports Games (2021) | VIRTUALODL.cc
BalasHapusBest VR Sports Games (2021) · 1. The best youtube to mp3 Climb 2 · 2. Surfer 2 · 3. VR Sports · 4. Golf · 5. Dodgeball · 6. Vr · 7. Walkabout Mini Golf · 8. Virtual