KERAJAAN-KERAJAAN
BESAR INDONESIA PADA
MASA KEKUASAAN HINDU-BUDDHA
Dr.
Hasan Djafar
I. PENDAHULUAN
Pada masa akhir Zaman Prasejarah, khususnya
pada Masa Perundagian, sebagian masyarakat prasejarah di Indonesia telah
memiliki kemampuan tinggi dalam pencapaian budaya. Seperti dikemukakan seorang
ahli arkeologi bangsa Belanda, J.L.A. Brandes (1889) bahwa nenek moyang bangsa
Indonesia sebelum dipengaruhi kebudayaan India telah memiliki 10 butir
kemampuan budaya. Kesepuluh butir kemampuan budaya itu adalah: (1) wayang, (2)
gamelan, (3) metrum, (4) seni batik, (5) mengolah logam, (6) sistem mata uang,
(7) pelayaran, (8) perbintangan, (9) penanaman padi dengan pengairan, dan (10)
sistem organisasi pemerintahan.
Dengan kemampuan budaya (local genius)
seperti itu mereka dapat memanfaatkan masuknya unsur-unsur kebudayaan India
yang datang sejak awal tarikh Masehi. Di lingkungan masyarakat pada masa akhir
prasejarah, sedikitnya terdapat dua jenis kepemimpinan yang mempunyai peranan
penting dalam penataan kehidupan masyarakat, yaitu kepemimpinan yang berkaitan
dengan religi, dan kepemimpinan sekuler yang berkaitan dengan masalah kekuasaan
dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya kedua tokoh ini
agaknya yang berperan dalam pengambilan nilai-nilai budaya luar melalui proses
akulturasi, khususnya konsep kepemimpinan kekuasaan dan religi yang baru untuk
diterapkan pada status dan peranan lama dalam kehidupan baru mereka.
Sistem kemasyarakatan dari India telah
menumbuhkan suatu bentuk kelembagaan yang baru, yaitu bentuk institusi
kekuasaan atau pemerintahan berupa kerajaan dengan sistem birokrasinya. Berdasarkan
bukti-bukti arkeologi dan sejarah yang ada, bentuk kerajaan ini mempunyai
landasan yang bersifat keagamaan yang bercorak Hindu dan Budha.
Kerajaan-kerajaan ini telah muncul sejak awal abad ke-5 hingga menjelang akhir
abad ke-16.
Pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu
dan Budha itulah dilakukan pembangunan candi-candi dan pembuatan arca-arca
kedewataan sebagai sarana peribadatan. Pada masa itu pula kita mulai dikenal
tradisi bertulis yang menandai dimulainya “Zaman Sejarah”. Tradisi bertulis
dari Masa Hindu-Buddha ini mewariskan tinggalan budaya berupa prasasti dan
naskah-naskah kuna.
II. KERAJAAN-KERAJAAN HINDU-BUDHA
1. Kerajaan-kerajaan Tertua
Kerajaan-kerajan yang dianggap sebagai kerajaan
tertua dari masa Hindu-Budha adalah kerajaan Kutai di Kalimantan Timur dan
kerajaan Tarumanagara di daerah bagian barat Pulau Jawa. Sebenarnya pada masa
yang relatif bersamaan, di beberapa tempat telah ada pula bukti-bukti pengaruh
kebudayaan India itu dalam bentuk fisik berupa tinggalan-tinggalan arkeologi.
Namun dari tinggalan-tinggalan arkeologi.
tersebut belum dapat
dipastikan adanya sistem kemasyarakatan berbentuk institusi kerajaan baik Hindu
mau pun Budha seperti yang ada di Kotakapur, Pulau Bangka.
1.1. Kerajaan Kutai
Di daerah Kutai, Kalimantan
Timur ditemukan tujuh prasasti yang dipahatkan pada tugu atau tiang batu yang
disebut yupa. Prasasti ini dituliskan dengan aksara Palawa dan berbahasa
Sanskerta. Berdasarkan bentuk aksaranya, prasasti ini berasal dari awal abad
ke-5, yaitu sekitar tahun 425 Masehi.
Secara keseluruhan isi
prasasti tersebut menyebutkan seorang raja bernama Mulawarman, anak Aswawarman
dan cucu Sri Maharaja Kundungga, yang memerintahkan penyelenggaraan upacara
keagamaan bercorak Hindu. Pada upacara tersebut raja telah memberikan sedekah
untuk para Brahmana.
Sampai kapan kerajaan Hindu di
daerah Kutai ini berkembang tidak dapat kita ketahui dengan pasti karena
ketiadaan sumber-sumbernya. Namun demikian dari masa-masa yang lebih muda, kita
mendapatkan tinggalan-tinggalan arkeologi berupa arca-arca Hindu di gua Gunung
Kombeng yang diperkirakan berasal dari abad ke-9/ke-9, dan arca Budha perunggu
yang memperlihatkan gaya seni Gandhara di Kotabangun, Kalimantan Timur.
1.2. Kerajaan Tarumangara
Tidak berselang lama setelah
munculnya kerajaan Hindu di daerah Kutai, di Jawa bagian Barat, terdapat pula
sebuah kerajaan Hindu. Kerajaan ini meninggalkan tujuh buah prasasti batu,
yaitu:
1. Prasasti Tugu (ditemukan di
desa Tugu dekat Tanjung Priuk, Jakarta),
2. Prasasti Pasir Awi,
3. Prasasti Ciaruteun,
4. Prasasti Kebonkopi,
5. Prasasti Jambu,
6. Prasasti Muara Cianten
(dari daerah Bogor)
7. Prasasti Cidanghyang (dari
daerah Banten).
Namun, dari ketujuh buah
prasasti tersebut hanya lima yang dapat di baca karena dua di antara yaitu
prasasti Muara Cianten dan prasasti Pasir Awi tidak dipahatkan berupa tulisan
melainkan berupa “gambar”.
Lima prasasti yang dapat
dibaca dipahatkan dengan aksara Palawa dan berbahasa Sanskerta. Berdasarkan bentuk
aksaranya prasasti-prasasti tersebut dibuat sekitar pertengahan abad ke-5
Masehi (± 450 Masehi). Dari prasasti-prasasti tersebut dapat diketahui adanya
sebuah kerajaan bernama Tarumangara dengan rajanya yang bernama Purnawarman
yang beragama Hindu.
Dalam prasasti Tugu disebutkan
adanya pembuatan kanal untuk mengalirkan air dari sungai Candrabhaga dan sungai
Gomati ke laut pada masa pemerintahan raja Purnawarman. Diduga kanal-kanal ini
dibuat untuk keperluan irigasi pertanian dan penanggulangan banjir pada waktu
musim hujan.
Di desa Cibuaya daerah
Karawang ditemukan dua buah arca batu utuh dan sebuah pecahan arca batu yang
menggambarkan tokoh Dewa Wisnu. Berdasarkan gaya seni arcanya, dapat diketahui
bahwa arca-arca tersebut berasal dari masa abad ke-7 dan ke-9.
Tidak jauh dari tempat temuan
arca, terdapat pula sisa-sisa reruntuhan dari sebuah kompleks percandian bata
berlatar agama Hindu. Salah satu reruntuhan candi ini masih tampak di permukaan
tanah dengan sebuah lingga batu terletak di bagian
tengahnya. Sisa-sisa candi
lainnya sudah hampir habis, hanya tinggal bagian pondasinya saja yang masih
terpendam di bawah permukaan tanah sawah.
Pada tahun 1984 di Batujaya,
Karawang, sekitar 20 km di sebelah barat dari Cibuaya, ditemukan pula sebuah
kawasan situs arkeologi seluas 5 km² yang merupakan situs-situs dari masa akhir
Prasejarah hingga masa kerajaan Tarumanagara. Di kawasan situs Batujaya yang
terletak di daerah aliran Citarum ini telah ditemukan lebih dari 30 reruntuhan
percandian bata yang berlatarkan agama Budha Mahayana. Sebagian besar dari
situs-situs ini telah digali (diekskavasi), dan dua di antara candi-candi yang
ditemukan sudah dipugar kembali. Pada reruntuhan bangunan candi ini ditemukan
prasasti-prasasti beraksara Palawa dan berbahasa Sanskerta yang digoreskan pada
bata, lempengan emas, terakota, yang berisi ayat-ayat suci agama Buddha
Mahayana tentang ajaran karmma.
Berdasarkan bentuk aksaranya,
yaitu aksara Palawa yang lebih muda dari aksara Palawa yang digunakan pada
prasasti-prasasti Purnawarman, maka prasasti-prasasti Batujaya ini diperkiran
dari masa sekitar abad ke-7 dan ke-8. Selain itu ditemukan pula meterai-meterai
terakota yang bergambar relief Buddha dan sejumlah arca-arca kepala yang yang
terbuat dari bahan stuko (adukan semen kapur) yang menggambarkan tokoh-tokoh
kedewataan maupun kepala binatang seperti singha dan serigala. Melalui analisis
sisa arang (analisis C14) dari kulit padi yang terdapat sebagai campuran tanah
liat dalam pembuatan bata candi, diperoleh pertanggalan untuk kompleks
percandian Batujaya antara 680 hingga 900 Masehi. Kompleks percandian di
Batujaya ini mengenal penggunaan lepa stuko (wajralepa) sebagai pelapis
permukaan candi, dan penggunaan beton stuko untuk melapisi lantai bangunan
maupun halaman di sekeliling candi, dan konstruksi bagian atas candi yang
berbentuk stupa.
Berkembangnya agama Budha
Mahayana di Tarumanagara, yang semula beragama Hindu, agaknya disebabkan pula
karena invasi Sriwijaya ke Tarumanagara menjelang akhir abad ke-7. Pada bagian
akhir prasasti penaklukan Kotakapur, Bangka, oleh Sriwijaya dari tahun 608 Saka
(= 686 Masehi) dituliskan pula bahwa “Sriwijaya sangat berkeinginan untuk
menaklukkan Bhumijawa (= Tarumanagara) yang tidak tunduk kepada Sriwijaya”.
Kerajaan Sriwijaya pada waktu
itu dikenal sebagai kerajaan maritim yang berperan pula sebagai pusat penyiaran
agama Buddha Mahayana dan mempunyai hubungan erat dengan pusat penyiaran agama
Budha Mahayana di Nalanda, India. Invasi Sriwijaya ke Tarumanagara telah
membawa pengaruh dalam persebaran agama Budha Mahayana dan gaya kesenian dari
Nalanda yang diterapkan di kompleks percandian Batujaya.
2. Kerajaan-kerajaan di
Sumatra
2.1. Kerajaan Tulangbawang
Berita Tionghoa yang berasal
dari masa Kekaisaran Liu Sung (420-479) menyebutkan bahwa pada tahun 449 sebuah
kerajaan di Sumatra bagian selatan yang bernama P’u-huang atau P’o-huang
mengirimkan utusan dan persembahan ke Tionkok. Disebutkan pula bahwa
kerajaan P’o-huang menghasilkan lebih dari 41 jenis barang yang
didagangkan ke Tiongkok. Hubungan diplomatik antara P’o-huang dan
Tiongkok ini berlangsung terus hingga abad ke-6. 4
Berita Tionghoa lainnya dari
masa 976-983 masih menyebutkan adanya sebuah kerajaan bernama To-lang-p’o-huang.
Para akhli mengidentifikasikan P’o-huang atau To-lang-p’o-huang ini
dengan kerajaan Tulangbawang, yang diduga terletak di daerah Lampung. Di daerah
provinsi Lampung kini masih ada desa bernama Bawang (Umbul Bawang) dan bahkan
sebuah sungai yang bernama Tulangbawang. Tidak jauh dari desa Bawang pada tahun
1912 telah ditemukan prasasti batu Hujunglangit dari tahun 997, dan sekitar
tahun 2002 tidak jauh dari prasasti tersebut ditemukan pula tiga prasasti
lainnya.
2.2 Kerajaan Sriwijaya
Sejumlah prasasti yang
ditemukan di daerah Palembang, Karangbrahi (Jambi), Kotakapur (Bangka), dan
Lampung yang berasal dari masa sekitar pertengahan abad ke-7, memberitakan
kehadiran sebuah kerajaan bernama Sriwijaya. Prasasti-prasasti tersebut ditulis
dengan aksara Palawa dan berbahasa Malayu Kuna. Salah satu prasasti tersebut
yang ditemukan di Kedukanbukit, Palembang, menyebutkan tentang perjalanan untuk
mencapai kemenangan (mangalap siddhayatra) yang dilakukan oleh Dapunta
Hyang dengan berperahu pada tanggal 11 paro-terang (suklapaksa) bulan
Waisaka, tahun 604 Saka (= 23 April 682). Pada tanggal 7 paro-terang bulan
Jyestha (= 19 Mei 682) Dapunta Hyang berangkat dari Minanga membawa dua laksa
dan 200 peti perbekalan dengan perahu, dan 1312 tentara berjalan darat, datang
di suatu tempat bernama Mukha-Upang. Pada tanggal 5 paro-terang bulan
Asadha (= 16 Juni 682) sampailah di suatu tempat membuat kota (wanua).
Kerajaan Sriwijaya memperoleh kemenangan dan perjalanannya berhasil.
Berdasarkan isinya prasasti
Kedukanbukit memperingati usaha penaklukan daerah sekitar Palembang dan
pendirian sebuah ibukota baru Sriwijaya oleh Dapunta Hyang. Prasasti-prasasti
Sriwijaya yang lain umumnya merupakan prasasti permakluman tentang kemenangan
Sriwijaya atas daerah-daerah di bagian selatan Sumatra yang ditaklukkannya.
Hampir semua prasasti tersebut diahiri dengan kutukan-kutukan dan persumpahan
bagi siapa saja yang melakukan kejahatan dan tidak taat kepada perintah raja.
Mengenai tempat asal Sriwijaya
terdapat beberapa penafsiran yang dikemukakan oleh para ahli. Sebagian di
antaranya berpendapat bahwa kerajaan Sriwijaya berasal dari Minanga di daerah
Minangkabau, yaitu di dekat daerah pertemuan antara sungai Kampar Kiri dan
sungai Kampar Kanan. Dari tempat asalnya itu kemudian Sriwijaya mengadakan
penaklukan ke daerah selatan dan akhirnya mendirikan ibukota baru di daerah
Palembang.
Prasasti Sriwijaya yang berupa
fragmen dan prasasti-prasasti pendek, umumnya berisi keterangan tentang
perjalanan kemenangan (jaya siddhayatra) dan peperangan serta keterangan
mengenai ajaran agama Buddha Mahayana dan beberapa sekte agama Buddha. Sebuah
fragmen prasasti yang berasal dari Telagabatu, dekat Palembang menyebutkan pula
pendirian sebuah wihara.
Beralihnya pusat kekuasaan
Sriwijaya ke daerah pantai timur Sumatra bagian selatan itu agaknya berkaitan
dengan penguasaan daerah perdagangan dan jalur pelayaran melalui Selat Malaka
dan Selat Bangka. Prasasti Ligor, Malaysia, yang berangka tahun 775 menyebutkan
seorang raja Sriwijaya bernama Wisnu, dan pendirian sebuah bangunan suci untuk
pemujaan Padmapatni, Sakyamuni dan Wajrapani. Di Nalanda ditemukan pula sebuah
prasasti dari pertengahan abad ke-9 yang isinya menyebutkan tentang pendirian
sebuah wihara oleh Balaputradewa raja dari Suwarnabhumi (Sriwijaya). Prasasti
ini dikeluarkan oleh raja Dewapaladewa. 5
Berita-berita Tionghoa dari
abad ke-11 masih menunjukkan peranan kerajaan Sriwijaya sebagai pusat penyiaran
agama Buddha. Raja Sriwijaya pada waktu itu ialah Sri Culamaniwarman,
mengadakan persahabatan dengan kerajaan Cola. Dalam prasasti Leiden dari tahun
1005/1006 disebutkan raja Culamaniwarman dari Sriwijaya mendirikan sebuah
bangunan suci agama Buddha di Nagapattinam dengan bantuan raja Cola, Rajaraja
I. Bangunan ini dinamakan Culamaniwarmawihara. Hubungan dengan Cola ini
kemudian terputus karena pada tahun 1017 Rajendracoladewa mengadakan
penyerangan ke Sriwijaya. Penyerangan dari Cola ke Sriwijaya ini terjadi lagi
pada tahun 1025 seperti disebutkan dalam prasasti Tanjore dari Rajendracola
tahun 1030. Dalam penyerangan kedua ini raja Sriwijaya Sri Sanggramawijayottunggawarman
ditawan oleh bala tentara Cola.
Dalam sejarah Dinasti Sung
disebutkan bahwa pada tahun 1028 datang utusan dari Sriwijaya. Utusan dari
Sriwijaya yang tercatat dalam sejarah dinasti Sung yang terakhir ialah pada
tahun 1178. Untuk beberapa lamanya tidak ada catatan tentang utusan Sriwijaya
dalam kitab-kitab sejarah Tiongkok.
Sekitar permulaan abad ke-13
Sriwijaya (San-fo-tsi) muncul kembali sebagai kerajaan yang kuat dan
berkembang menjadi pusat perdagangan dan pelayaran. Namun berita Tionghoa dari
jaman dinasti Ming menyebutkan bahwa pada tahun 1376 kerajaan San-bo-tsai
(San-fo-tsi) ditaklukkan oleh kerajaan Jawa dan akhirnya runtuh. Dengan
keruntuhannya ini daerah-daerah yang tadinya berada dalam kekuasaan Sriwijaya
melepaskan diri.
2.3. Kerajaan Malayu
Berita Tionghoa dari sekitar
pertengahan abad abad ke-7 telah menyebutkan adanya kerajaan bernama Mo-lo-yue
yang telah mengirimkan utusannya ke Tiongkok. Menurut para ahli Mo-lo-yue
adalah Malayu, sebuah kerajaan yang berlokasi di daearah Jambi. Kerajaan
ini telah ada ketika Sriwijaya berdiri di daerah Palembang. Kerajaan Malayu ini
disebutkan pula dalam kisah perjalanan yang ditulis oleh pendeta Buddhis
Tionghoa, I-tsing. Dari Kanton menuju India pada tahun 671, ia singgah di Sriwijaya
selama 6 bulan untuk mempelajari bahasa Sanskerta. Setelah itu pergi ke Malayu
dan singgah selama dua bulan sebelum meneruskan perjalanannya menuju India.
I-tsing tinggal selama sepuluh tahun di pusat pendidikan tinggi agama Buddha di
Nalanda. Ketika kembali ke Tiongkok dari Nalanda pada tahun 685 ia singah di
Sriwijaya untuk menerjemahkan kitab-kitab suci agama Buddha. Setelah 4 tahun
tinggal di Sriwijaya, pada tahun 689 ia kembali ke Tiongkok untuk membawa 4
orang pembantunya menyelesaikan penerjemahan kitab suci agama Buddha. Ketika
I-tsing datang kembali ke Sriwijaya, Malayu telah diduduki oleh Sriwijaya. Ia
kembali ke negerinya pada tahun 695.
Dari pemberitaan I-tsing
tersebut dapat disimpulkan bahwa kerajaan Malayu antara tahun 689 hingga 690 dkuasai
Sriwijaya. Sejak masa itu kita tidak memperoleh pemberitaan tentang kerajaan
Malayu hingga sektar abad ke-13. Baru pada tahun 1286 terdapat pemberitaan
tentang kehadiran kerajaan Malayu di Sumatra bagian utara, yaitu dari kitab
Pararaton dan Nagarakertagama. Di dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa pada
tahun 1208 Saka atau 1286 Masehi raja Kertanagara dari Singhasari mengirimkan
sebuah ekspedisi perutusan ke Malayu (Pamalayu).
Ekspedisi ke Malayu ini
dimaksudkan untuk menjalin hubungan persahabatan dengan Malayu dalam rangka
membendung arus pengaruh ekspansi kerajaan Mongol dari Tiongkok yang
dilancarkan oleh Kubhilai Khan untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Asia
Tenggara. Untuk mempererat hubungan 6
persahabatan antara Singhasari
dan Malayu ini kemudian raja Kertanagara mengirimkan pula sebuah arca Buddha
Amoghapasa ke Malayu untuk ditempatkan di Dharmmasraya. Bagian alas arca
tersebut ditulisi prasasti beraksara Jawa Kuna dengan bahasa Malayu kuna dan
Sanskerta. Isinya menyebutkan bahwa pada tahun 1208 Saka (= 1286 Masehi) sebuah
arca Amoghapsa dengan empatbelas pengiringnya dan saptaratna dibawa dari
Bhumijawa ke Suwarnabhumi untuk ditempatkan di Dharmmasraya sebagai punya Sri
Wiswarupakumara. Pengiriman arca tersebut diiringi oleh empat pembesar
kerajaan. Selanjutnya disebutkan pula seluruh rakyat Malayu sangat bersuka cita
terutama rajanya Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa. Di bagian
belakang arca ini kemudian pada tahun 1347 dituliskan sebuah prasasti beraksara
Jawa Kuna dan berbahasa Sanskerta dari Sri Maharaja Srimat Sri Udaya
Adityawarman. Prasasti ini menyebutkan pula beberapa hal di antaranya tentang
penyelengaraan upacara yang bercorak tantrik, pendirian arca Buddha dengan nama
Gaganaganja dan pemujaan kepada Jina.
Prasasti-prasasti kerajaan
Malayu yang ditemukan tersebar di Sumatra Barat pada pertengahan abad ke-14
menyebutkan adityawarman memerintah di Kanakamedini (Pulau Emas). Nama
Adityawarman disebutkan pula pada sebuah arca Manjusri dari Candi Jago, Jawa
Timur. Prasasti ini menyebutkan tentang penempatan arca Manjusri ditempat
pendharmaan Jina oleh Adityawarman. Adityawarman membangun pula sebuah candi
Buddha di Bumi Jawa dengan tujuan untuk memuliakan orang tua dan kerabatnya,
pada tahun 1265 Saka (= 1343/1344 Masehi). Ketika Adityawarman belum menjadi
raja di Malayu, ia menduduki jabatan sebgai Werdhamantri di Majapahit
dengan gelar Arya Dewaraja pu Aditya. Pada tahun 1347 setelah Adityawarman
berhasil menaklukkan daerah-daerah di sekitarnya ia mengangkat dirinya sebagai maharajadiraja
dengan delar Adityawarmmodaya Pratapaparakramarajendra Mauliwarmadewa. Ia
memerintah sampai tahun 1375 dan kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama
Ananggawarman. Sampai kapan Ananggawarman memerintah tidak dapat diketahui. Berita
Tionghoa menyebutkan hubungan terakhir dengan kerajaan Malayu pada tahun 1377.
Sejak itu tidak ada hubungan diplomatik antara kerajaan Malayu dengan Tiongkok.
Agaknya setelah itu kerajaan Malayu mengalami kemunduran, dan berakhit sekitar
akhir abad ke-14.
3. Kerajaan Mataram
3.1. Kerajaan Mataram di Jawa
Tengah: Dinasti Sailendra (Śailendrawangśa)
Sejak pertengahan abad ke-7 di
Jawa Tengah telah muncul sebuah kerajaan yang berlatarkan keagamaan Hindu dan
Buddha. Kerajaan ini diperintah oleh raja-raja dari dinasti Sailendra (Śailendrawangśa).
Di dalam prasasti Sojomerto dari daerah Batang, Pekalongan, yang berasal dari
pertengahan abad ke-7 disebutkan seorang tokoh bernama Dapunta Selendra yang
menganut agama Siwa.Tokoh ini dianaggap sebagai cikal-bakal pendiri dinasti (wangśakara)
Sailendra.
Dari sumber-sumber prasasti
diketahui bahwa kerajaan dinasti Sailendra itu bernama Mataram dan ibukotanya
disebut Medang, sedangkan sumber-sumber Tionghoa dari zaman dinasti T’ang
(618-906) menyebutnya Ho-ling yang berlangsung sampai tahun 818, dan
kemudian menyebutnya dengan nama She-p’o sampai tahun 856. Menurut
berita Tionghoa tersebut pada tahun 674 rakyat kerajaan tersebut menobatkan
seorang wanita bernama Simo (Hsi-imo) menjadi raja. 7
Pada masa pemerintahan Simo di
Holing telah ada seorang pendeta Buddha yang terkenal bernama Jnanabhadra yang
membantu pendeta Tionghoa bernama Hwi-ning menerjemahkakitab suci agama Buddha
dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Tionghoa. Siapa yang menggantika ratu
Simo tidak diketahui dengan pasti. Namun berdasarkan keterangan yang terdapat
dalam prasasti Canggal yang dikeluarkan oleh raja Sanjaya pada tahun 732,
menyebutkan raja Sanna yang kemudian digantikan oleh saudara perempuannya yang
bernama Sannaha. Pengganti Sannaha ialah anaknya yang bernama Sanjaya.
Sanjaya memerintah sejak tahun
717. Di dalam prasasti Mantyasih yang dikeluarkan oleh raja Dyah Balitung pada
tahun 907 Sanjaya disebutkan ralam urutan pertama raja-raja Mataram dengan nama
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Pada tahun 732 ia mendirikan sebuah bangunan
untuk pemujaan lingga di Gunung Wukir.
Selanjutnya Sanjaya digantikan
oleh anaknya, Rakai Panangkaran Dyah Sangkhara, pada tahun 746. Raja ini semula
menganut agama Hindu (Siwa) tetapi kemudian beralih menjadi penganut agama
Buddha. Dialah yang mendirikan bangunan suci agama Buddha untuk pemujaan Dewi
Tara (Tarābhāvanam) di Klasan pada tahun 778, candi Sewu (Mañjuśrigṛha)
pada tahun 782, dan candi Plaosan Lor yang melambangkan kesatuan kerajaan
Mataram. Ia pun membangun pula sebuah wihara di Bukit Ratu Baka yang diberi
nama Abhayagiriwihara yang diresmikan pada tahun 792.
Rakai Pangkaran digantikan
oleh anaknya, Samaratungga yang memerintah sekitar tahun 792-847. Samaratungga
mempunyai seorang anak perempuan bernama Pramodawarddhani, yang telah
mendirikan sebuah bangunan suci agama Buddha yang diberi nama Srimad
Wenuwana dan mentahbiskan arca Gananatha di dalamnya pada tahun 824,
seperti disebutkan di dalam prasasti Kayumwungan. Anaknya yang kedua yang lahir
dari permaisurinya yang lain bernama Balaputradewa.
Pramodawarddhani kemudian
dikawinkan dengan Rakai Pikatan, anak Rakai Patapan pu Palar yang menganut
agama Siwa. Setelah Samaratungga meninggal atau mengundurkan diri dari
pemerintahan, Rakai Patapan menggantikannya menjadi raja Mataram. Pada masa
pemerintahannya Rakai Pikatan mendirikan candi kerajaan yang berlatarkan agama
Siwa, yaitu percandian Lara Jonggrang (Śiwagrha), di Prambanan, seperti
disebutkan didalam prasasti Siwagrha tahun 856.
Rakai Pikatan digantikan oleh
anaknya, Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala pada tahun 856, dan berkedudukan di
ibukota Mdang di Mamratipura. Ia memerintah sampai tahun 883. Sebenarnya Rakai
Pikatan mempunyai seorang anak perempuan tertua, yaitu Rakai Gurunwangi Dyah
Saladu yang dijadikan putri mahkota. Tetapi ia baru menjadi raja setelah
adiknya, Rakai Kayuwangi. Rakai Gurunwangi disebutkan dalama prasasti
Munguantan tahun 887 sebagai Sri Maharaja. Sementara itu dari prasasti
Panunggalan tahun 896 kita mengenal seorang tokoh bernama Rakai Watuhumalang
dan dari prasasti Pohdulur tahun 890 kita mengenal pula tokoh yang bernama Sri
Maharaja Rake Limus Dyah Dewindra.
Raja Mataram selanjutnya ialah
rakai Watukura Dyah Balitung yang memerintah sekitar tahun 899-991. Pada masa
pemerintahannya ia meluaskan kekuasaannya sampai ke Jawa timur. Penggantinya
ialah Sri Daksottama Bahubajra Pratipaksasaya. Ia bukanlah anak Dyah Balitung.
Di dalam berita Tionghoa dari
zaman dinasti Sung ia disebut Ta-tso-kan-hiung. Untuk menunjukkan bahwa
ia adalah pewaris yang sah dari kerajaann Mataram, ia menghubungkan dirinya
dengan raja Sanjaya dan menggunakan tarikh 8
Sanjaya dalam prasastinya,
yaitu prasasti Tajigunung tahun 194 Sanjayawarsa (= 910 Masehi) dan prasasti
Timbananwungkal tahun 196 Sanjayawarsa (= 913 Masehi). Sampai kapan ia
memerintah tidak diketahui dengan pasti, tetapi prasastinya yang terakhir dari
masa pemerintahannya berasal dari tahun 915, yaitu prasasti Sugihmanek.
Pengganti Watukara Dyah
Balitung ialah Rakai Layang Dyah Tulodhong yang mengeluarkan prasastinya yang
pertama ialah prasasti Lintakan pada tahun 919. Sampai kapan Dyah Tulodhong
memerintah tidak diketahui. Dari Masa pemerintahan Dyah Tulodhong terdapat pula
sebuah prasasti yaitu prassti Wintangmas yang dikeluarkan oleh Rakryan Mapatih
i Hino Pu Ketuwijaya dari tahun 919. Berdasarkan gelar jabatannya ia adalah
orang kedua setelah raja, dan biasanya jabatan tersebut diduduki oleh putra
mahkota yang akan menjadi raja sebagai pewaris atas takhta kerajaan Mataram.
Namun kita tidak pernah menemukan prasasti lain yang dikeluarkan oleh Rakryan
Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya sampai munculnya prasasti Wulakan dari Sri
Maharaja Dyah Wawa tahun 928.
Dalam prasasti Wulakan tahun
928 muncul seorang raja yang bernama Rakai Sumba Dyah Wawa, yang menyebut
dirinya anak kryan landheyan sang lumah ring alas. Kryan Landheyan
adalah tokoh yang disebutkan dalam prasasti Wuatantija tahun 880 dengan nama
Rakryan Landheyan, yaitu adik ipar raja Rakai Kayuwangi. Jadi jelaslah bahwa
Dyah Wawa adalah anak Rakryan Landheyan, dan bukan anak Dyah Tulodhong raja
pendahulunya. Pergantian kekuasaan dari Dyah Tulodhong ke Dyah Wawa menimbulkan
berbagai dugaan, di antaranya kemungkinan adanya perebutan kekuasaan dari
tangan putra mahkota Rakryan Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya oleh Dyah Wawa.
Masa pemerintahan Rakai Sumba
Dyah Wawa berlangsung tidak lama. Masa pemerintahannya diduga berakhir karena
bencana alam yang sangat dahsyat akibat letusan gunung Merapi. Bencana alam ini
mungkin merusakkan ibukota Medang dan menghancurkan sebagian besar wilayah
Mataram sehingga dianggap sebagai pralaya.
Masa pemerintahan Dyah Wawa
agaknya berakhir pada tahun 928 atau awal tahun 929, karena tidak lama setelah
itu Sri Maharaja Rake Hino Pu Sindok tampil sebagai penguasa baru di kerajaan
Mataram seperti disebutkan dalam prasasti Gulung-gulung tahun 929. Pu Sindok
adalah orang yang memang mempunyai hak atas takhta kerajaan Mataram. Ketika
Rake Pangkaja Dyah Wawa menjadi raja Mataram, Pu Sindok berkedudukan sebagai
Rakryan Mapatih i Hino, suatu jabatan yang biasanya diduduki oleh putra mahkota
yang akan mewarisi takhta kerajaan.
3.2. Kerajaan Mataram di Jawa
Timur: Dinasti Isyana (Īśānawangśa)
Sejak masa pemerintahan Pu
Sindok pusat kerajaan Mataram telah dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Ia membangun kembali kerajaan Mataram dan mendirikan kedatonnya di ibukotanya
yang baru di Tamwlang, seperti disebutkan dalam prasasti Turyyan tahun 929.
Perpindahan ibukota dari Jawa Tengah ke Jawa T
imur itu dilakukan karena
keadaan ibukota dan wilayah kerajaan Mataram di Jawa Tengah mengalami
kehancuran (pralaya) akibat bencana alam dari letusan gunung Merapi yang
sangat dahsyat.
Sesuai dengan landasan
kosmogoni, maka kerajaan Mataram di Jawa Timur itu dianggap sebagai dunia baru
yang dibangun dengan ibukota dan kadaton baru, tempat pemujaan yang baru dan
diperintah oleh wangsa yang baru pula. Maka walaupun sebenarnya Pu Sindok masih
anggota wangsa Sailendra dan kerajaannya di 9
Jawa Timur itu masih kerajaan
Mataram, ia merupakan pendiri wangsa baru, yaitu wangsa Isyana (Īśānawangśa).
Dalam prasasti-prasastinya ia disebutkan bergelar Sri Maharaja Pu Sindok Sri
Isyanawikrama Dharmmottunggadewa yang memerintah pada tahun 929-948.
Pu Sindok digantikan oleh anak
perempuannya yang bernama Sri Isyana Tunggawijaya yang bersuamikan Sri
Lokapala. Sampai kapan ia memerintah tidak diketahui dengan pasti.
Sepeninggalnya ia digantikan oleh anaknya yang bernama Sri
Makutawangsawarddhana. Ia mempunyai seorang anak perempuan bernama Sri
Mahendradatta Gunapriyadharmmapatni yang bersuamikan Sri Dharmma Udayana,
seorang raja Bali, dan seorang anak laki-laki bernama Sri Dharmmawangsa Tguh.
Dari perkawinan Mahendradatta
dengan Udayana lahirlah di antaranya seorang anak bernama Airlangga. Sri
Makutawangsawarddhana kemudian digantikan oleh Sri Dharmmawangsa Tguh, yang
memerintah sekitar tahun 991-1017. Masa pemerintahannya berakhir dengan tragis,
mengalami keruntuhan karena serangan seorang raja bawahannya.
Di dalam prasasti Pucangan
dari raja Airlangga tahun 1041, disebutkan bahwa penyerangan itu dilakukan oleh
raja Wurawari dari Lwaram pada tahun 1017 tidak lama setelah perkawinan putri
Dharmmawangsa Tguh dengan Airlangga. Dalam serangan itu raja Dharmmawangsa Tguh
gugur bersama para pembesar kerajaan. Dharmmawangsa Airlangga bersama
pengiringnya dapat menyelamatkan diri dari serangan musuh dan mengungsi ke
hutan di lereng gunung di lingkungan para pertapa. Pada tahun 1019 ia direstui
oleh para pendeta Siwa, Buddha dan Mahabrahmana sebagai raja dengan gelar Rake
Halu Sri Lokeswara Dharmmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa.
Masa pemerintahan raja
Airlangga dipenuhi dengan peperangan menaklukkan kembali raja-raja bawahan.
Pada masa pemerintahannya raja Airlangga berusaha pula untuk meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, dengan membangun sarana keairan untuk
meningkatkan perekonomian di antaranya dengan membangun waduk, kanal, bendungan
dan tanggul. Dari permaisurinya Airlangga mempunyai empat orang anak. Anak yang
tertua seorang perempuan benama Sri Sanggramawijaya-uttunggadewi. Ia
ditahbiskan menjadi putri mahkota, namun kemudian melepaskan kedudukannya dan
memilih menjadi seorang pertapa (bhiksuni).
4. Kerajaan Janggala,
Pangjalu, dan Kadiri
4.2. Kerajaan Janggala dan
Pangjalu
Pada masa akhir pemerintahan
raja Airlangga muncul seorang tokoh bernama Samarawijaya yang diduga anak raja
Dharmmawangsa Tguh, yang rupanya dapat menyelamatkan diri ketika terjadi
serangan raja Wurawari. Ia menuntut haknya atas takhta kerajaan Matara dari
raja Airlangga. Untuk menghindari pertentangan keluarga, Airlangga kemudian
membagi kerajaannya menjadi dua bagian. Pembagian kerajaan Mataram menjadi dua
ini terjadi sekitar tahun 1042. Samarawijaya sebagai pewaris yang sah dari raja
Dharmmawangsa Tguh memperoleh sebagian kerajaan yang diberi nama Pangjalu
dengan ibukotanya Dahanapura. Sebagian daerah kerajaan lainnya yang dinamai
Janggala dengan ibukotanya Kahuripan diserahkan kepada anak-anak Airlangga.
Di dalam Kakawan
Nagarakertagama dari zaman Majapahit disebutkan pembagian kerajaan Airlangga
menjadi dua kerajaan ini dilakukan oleh Pu Bharada, 10
seorang pendeta Buddha
Mahayana aliran Tantra. Selain itu pembagian kerajaan tersebut disebutkan pula
dalam prasasti Turunhyang tahun 1044. Akan tetapi pembagian kerajaan Mataram
menjadi dua bagian ini tidak dapat menghindarkan terjadinya peperangan antara
kedua belah pihak yang ingin saling menguasai seluruh wilayah kerajaan.
Dari prasasti-prasasti yang berasal
dari masa sekitar pertengahan abad ke-11 kita mengenal nama raja-raja yang
memerintah di Pangjalu dan Janggala. Raja-raja tersebt adalah: Mapanji
Garasakan, raja Janggala, yang disebutkan dalam prasasti Turunhyang B tahun1044
dan prasasti Malenga tahun 1052; Mapanji Alanjung Ahyes yang berkuasa di
Pangjalu (1052-1059), yang disebutkan dalam prasasti Banjaran; dan Samarotsaha
yang berkuasa di Janggala sejak tahun 1059 seperti disebutkan dalam prasasti
Sumengka tahun 1059. Mapanji Garasakan dan Mapanji Alanjung Ahyes adalah
anak-anak raja Airlangga adik Sanggramawijaya, sedangkan Samarotsaha adalah
menantu raja Airlangga.
Setelah raja-raja tersebut
kita tidak mempunyai sumber-sumber sejarah yang dapat menjelaskan keadaan
sesudahnya di kedua kerajaan tersebut. Masa itu merupakan masa kegelapan
sejarah kerajaan-kerajaan Janggala dan Pangjalu.
3.2. Kerajaan Kadiri
Setelah kurang-lebih 60 tahun
lamanya masa kegelapan menyelimuti kerajaan bekas kekuasaan raja Airlangga yang
dibagi dua menjadi Janggala dan Pangjalu, akhirnya di Jawa Timur sejak tahun
1117 muncul sebuah kerajaan baru bernama Kadiri dengan ibukotanya Daha.
Kemunculan kerajaan baru ini diketahui dari prasasti Padlegan tahun 1117 yang
dikeluarkan oleh seorang raja yang menamakan dirinya Sri Maharaja Rakai Sirikan
Sri Bameswara Sakalabhuwanatustikarana Sarwwani-waryyawiryya Parakrama
Digjayottunggadewa.
Berdasarkan keterangan dalam
prasasti Padlegan diketahui bahwa rakyat desa Padlegan dengan perantaraan Sang
Juru Pangjalu, Mapanji Tutus ing Rat, memohon kepada Sri Maharaja agar desa
Padlegan ditetapkan sebagai sima swatantra. Karena rakyatnya telah
berjasa kepada raja dengan memperlihatkan kebaktiannya mempertaruhkan jiwa
raganya agar raja memperoleh kemenangan di dalam peperangan, maka permohonan
itu dikabulkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kerajaan Kadiri ini
merupakan kelanjutan dari kerajaan Pangjalu yang telah berhasil mengalahkan
kerajaan Janggala dan mempersatukannya kembali dalam kerajaan baru yang dinamai
Kadiri.
Dari prasasti-prasasti yang
berasal dari masa kerajaan Kadiri, kita mengetahui dalam masa perkembangannya
sekitar 45 tahun, dari tahun ±1117 hingga tahun 1222, kerajaan ini diperintah
oleh 7 orang raja. Ketujuh orang raja Kadiri tersebut ialah:
(1) Sri Maharaja Rakai Sirikan
Sri Bameswara (± 1117-1130).
(2) Sri Maharaja Sang Mapanji
Jayabhaya (± 1135-1157).
(3) Sri Maharaja Rakai Sirikan
Sri Sarwweswara(± 1159-1161).
(4) Sri Maharaja Rakai Hino
Sri Aryyeswara (± 1169-1171).
(5) Sri Maharaja Sri
Kroncaryyadipa(± 1181).
(6) Sri Maharaja Sri
Kameswara(± 1182-1185).
(7) Sri Maharaja Srengga
Kertajaya (± 1186-1222).
Di antara raja-raja tersebut
yang sangat dikenal selain raja Sri Bameswara, karena ia merupakan raja pertama
dari kerajaan Kadiri, ialah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya dan raja
terakhir yang bernama Sri Maharaja Srengga Kertajaya. Raja 11
Jayabhaya mengeluarkan pula
beberapa prasasti, di antaranya prasasti Hantang tahun 1135, yang merupakan
keputusan raja Jayabhaya tentang penetapan desa Hantang menjadi sima karena
jasa-jasa dan kesetiaannya kepada raja ketika adanya perang perebutan takhta.
Prasastinya beraksara Jawa Kuna kuadrat dan bercap kerajaan berupa Narasingha
dengan tulisan “Pangjalu Jayati”, yang artinya “Pangjalu Menang”.
Pada masa pemerintahan raja
Jayabhaya, pujangga bernama Mpu Sedah dan Mpu Panuluh telah menggubah sebuah
karya sastra berupa Kakawin Bharatayuddha, yang mengisahkan perang
saudara antara keluarga Kaurawa dan keluarga Pandawa memperebutkan kerajaan
Hastinapura. Raja Jayabhaya memerintah sekitar 20 tahun lamanya.
Raja terakhir yang memerintah
di kerajaan Kadiri ialah raja Srengga Kertajaya. Pertama kali namanya muncul
dalam prasasti Mrewak dari tahun 1186, sebagai Sri Maharaja Jayawarsa Digwijaya
Sastraprabhu. Di dalam kitab Pararaton raja Srengga Kertajaya dikenal
dengan nama Raja Dangdang Gendis. Pada masa akhir pemerintahannya ia berselisih
dengan para brahmana, sehingga banyak di antara mereka yang mengungsi dan minta
perlindungan ke Tumapel. Ketika itu Tumapel merupakan sebuah daerah keakuwuan
yang dipimpin oleh seorang akuwu yang ada dibawah kekuasaan kerajaan Kadiri.
Akuwu Tumapel pada waktu itu
ialah Ken Angrok, yang menggantikan akuwu sebelumnya yaitu Tunggul Ametung yang
terbunuh oleh siasat Ken Angrok. Setelah Tunggul Ametung terbunuh itulah Ken
Angrok kemudian menggatikannya menjadi akuwu Tumapel, dan memperistri jandanya
yang bernama Ken Dedes.
Dengan dukungan para brahmana
pada tahun 1222 Ken Angrok mengadakan penyerangan ke Daha melawan raja Srengga
Kertajaya. Dalam pertempuan dekat Ganter Ken Angrok mengalahkan raja Kertajaya
dan kemudian menguasai selurh kerajaan Kadiri.
4. Kerajaan Singhasari dan
Majapahit: Dinasti Rajasa (Rājasawangśa)
4.1. Kerajaan Singhasari
Pada tahun 1222 setelah Ken
Angrok mengalahkan raja Kadiri, ia dinobatkan sebagai raja dengan gelar Sri
Ranggah Rajasa Bhattara Sang Amurwwabhumi, berkedudukan di ibukotanya Tumapel
atau Kutaraja. Seluruh wilayah bekas kerajaan Kadiri menjadi wilayah
kekuasaannya dan disebut dengan nama kerajaan Singhasari. Kemunculan tokoh Ken
Angrok sebagai pendiri dan raja pertama Singhasari menandai pula lahirnya
sebuah dinasti baru, yaitu Dinasti Rajasa (Rājasawangśa) atau Dinasti
Girindra (Girīndrawangśa) yang menurunkan raja-raja yang memerintah di
Singhasari dan Majapahit hampir 300 tahun lamanya. Tentang asal-usul Ken Angrok
sejak dilahirkan di desa Pangkur, di sebelah timur gunung Kawi hingga menjadi
raja, diuraikan panjang-lebar di dalam kitab Pararaton atau Katuturan
ira Ken Angrok, sebuah kitab berbahasa Jawa Kuna yang ditulis pada akhir
abad ke-15 pada masa akhir Majapahit.
Masa pemerintahan Ken Angrok
hanya berlangsung lima tahun lamanya, tahun 1227 ia dibunuh oleh seorang pangalasan
atas suruhan Anusapati, anak tirinya yaitu anak Ken Dedes dari Tunggul
Ametung. Sepeninggalnya ia digantikan oleh Anusapati (1227-1248).
Berita pembunuhan Ken Angrok
atas suruhan Anusapati rupanya sampai pula kepada Panji Tohjaya, anak Ken
Angrok dari istrinya Ken Umang. Tohjaya 12
menuntut balas atas kematian
ayahnya, dan pada tahun 1248 Anusapati dibunuh oleh Tohjaya ketika keduanya
sedang menyabung ayam.
Sepeninggal Anusapati, Tohjaya
kemudian menjadi raja Singhasai menggantikan Anusapati. Namun, ia tidak lama
memerintah karena meninggal ketika terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh
orang-orang Rajasa dan orang-orang sinelir. Tohjaya kemudian digantikan oleh
Wisnuwarddhana, anak Anusapati. Ia memerintah selama 20 tahun (1248-1268). Pada
tahun 1254 ia menobatkan anaknya, Kertanagara, menjadi raja muda (yuwaraja atau
kumararaja) dan menempatkannya sebagai Raja Daerah di Daha. Dalam
prasasti Mula-Malurung yang dikeluarkan olehWisnuwarddhana tahun 1255, kerajaan
Singhasari terdiri dari sejumlah kerajaan daerah yang masing-masing diperintah
oleh seorang raja daerah. Dalam prasasti tersebut Wisnuwarddhana disebutkan
dengan nama Nararyya Sminingrat dan berkedudukan di ibukota Tumapel, kerajaan
daerah Daha diperintah oleh Kertanagara yang disebutkan dengan nama Nararyya
Murddhaja, sedangkan kerajaan daerah Gelang-gelang diperintah oleh Turuk Bali
bersama suaminya Jayakatwang.
Sepeningal Wisnuwarddhana,
pada tahun 1268 Kertanagara naik tahta menjadi raja Singhasari. Di bidang
politik raja Kertanagara terkenal sebagai seorang raja yang mempunyai gagasan
untuk memperluas cakrawala politiknya ke luar Jawa. Pada tahun 1275 ia
mengirimkan ekspedisi ke Malayu (Pamalayu) untuk menjalin hubungan
persahabatan dengan kerajaan Malayu. Hubungan persahabatn ini kemudian disusul
dengan pengiriman arca Amoghapasa pada tahun 1286 untuk ditempatkan di ibukota
Malayu, di Dharmasraya.
Dalam bidang keagamaan raja
Kertanagara dikenal sebagai seorang penganut agama Buddha Tantrayana dari
aliran Kala-Cakra (Siwa-Bhairawa). Pada tahun 1289 ia ditahbiskan sebagai Jina
dengan nama gelarnya Jnanasiwabajra. Arca pentahbisannya berupa arca Aksobhya
dikenal sebagai arca Joko Dolog. Di dalam prasasti Camundi tahun 1292
disebutkan bahwa Sri Maharaja mencapai kemenangan di segala penjuru.
Hubungan persahabatan yang
dijalin dengan kerajaan Malayu, serta perluasan pengaruh kekuasaan kerajaan
Singhasari ke luar Jawa, dimaksudkan untuk membendung pengaruh kekuatan kaisar
Mongol Khubilai Khan dari daratan Tiongkok yang ketika itu sudah bergerak ke
arah asia Tenggara. Pada tahun 1292 telah datang utusan Khubilai Khan yang
dipimpin oleh Meng-Chi menghadap raja Kertanagara untuk minta pengakuan tunduk
terhadap Khubilai Khan. Permintaan itu ditolak oleh raja Kertanagara, bahkan
salah seorang utusan Khubilai Khan yaitu Meng-Chi dilukai mukanya. Tindakan
raja Kertanagara ini menyebabkan kemarahan kaisar Khubilai Khan, dan pada awal
tahun 1292 berangkatlah armada Tionghoa ke Jawa untuk menghukum raja
Kertanagara.
Namun, sebelum armada Tionghoa
ini sampai di Jawa pada pertengahan tahun 1292, di Singhasari telah terjadi perubahan
politik. Ketika itu Jayakatwang seorang raja daerah dari Gelang-gelang
mengadakan penyerangan ke ibukota Singhasari. Salah seorang keponakan dan
menantu raja Kertanagara, yaitu Raden Wijaya, ditunjuk oleh raja Kertanagara
untuk memimpin pasukan Singhasari mengadakan perlawanan. Namun perlawanan ini
tidak berhasil, pasukan Raden Wijaya akhirnya terdesak dan raja Kertanagara
gugur bersama para pengiringnya di kadaton.
Setelah raja Kertanagara
gugur, Singhasari berada di bawah kekuasaan raja Jayakatwang dan berakhirlah
kerajaan Singhasari. Raden Wijaya bersama beberapa pengiringnya akhirnya
mengungsi ke Madura. Di Madura Raden Wijaya dan 13
pengiringnya diterima oleh
Arya Wiraraja, yang kemudian mengusahakan agar Raden Wijaya dapat diterima
mengabdi kepada raja Jayakatwang. Raden Wijaya kemudian memperoleh kepercayaan
dari raja Jayakatwang dan ketika ia minta daerah hutan Terik di tepi kali
Brantas untuk dibuka menjadi desa permukiman baru raja Jayakatwang
mengabulkannya.
Dengan bantuan orang-orang Madura
Raden Wijaya membuka daerah hutan Terik menjadi sebuah desa permukiman dengan
nama Majapahit. Di Majapahit yang baru dibuka ini Raden Wijaya mengadakan
persiapan sambil menunggu waktu yang tepat untuk merebut kembali kekuasaan dari
raja Jayakatwang.
5.2 Kerajaan Majapahit
Pada awal tahun 1293 datanglah
bala tentara Khubilai Khan di Jawa. Kedatangan pasukan Tionghoa ini
dimanfaatkan oleh Raden Wijaya. Ia mengirimkan utusan kepada pimpinan pasukan
Tionghoa untuk menyatakan kesedian tunduk terhadap kekuasaan Khubilai Khan dan
bersedia menggabungkan diri untuk bersama-sama menyerang Daha. Maksud Raden
Wijaya ini diterima oleh pimpinan pasukan Tionghoa.
Setelah segala persiapan
selesai, dimulailah penyerangan ke Daha. Penyerangan ini berhasil mengalahkan
raja Jayakatwang, dan Daha dapat dikuasai oleh pasukan Tionghoa. Namun setelah
kemenangan ini, dengan tipu muslihat akhirnya Raden Wijaya dengan pasukannya menyerang
pasukan Tionghoa yang ada di Daha dan Canggu. Dalam penyerangan ini lebih dari
3.000 orang pasukan Tionghoa dapat dibinasakan oleh pasukan Raden Wijaya. Sisa
pasukan Tionghoa akhirnya terpaksa lari meninggalkan pulau Jawa kembali ke
negerinya dengan banyak kehilangan pasukan.
Setelah Raden Wijaya berhasil
mengusir tentara Cina dan menguasai kembali Daha, ia dinobatkan menjadi raja
Majapahit dengan nama gelar penobatannya Sri Kertarajasa Jayawarddhana.
Penobatan ini berlangsung pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 Saka, yang
bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Tanggal penobatan ini dianggap pula
sebagai hari lahirnya Kerajaan Majapahit.
Orang-orang yang telah berjasa
dalam perjuangan mendirikan kerajaan Majapahit, memperoleh hadiah atau
kedudukan dalam pemerintahan. Wiraraja diangkat menjadi Mantri
Mahawiradikara, Pu Tambi diangkat menjadi Rakryan Mapatih, dan Pu
Sora (Lembu Sora) diangkat menjadi Rakryan Apatih di Daha. Akan tetapi
rupanya masih ada orang yang tidak puas dengan kedudukan itu. Hal inilah
agaknya yang menjadi benih timbulnya kekacauan atau pemberontakan yang terjadi
pada masa dasawarsa pertama sejarah kerajaan Majapahit. Pemberontakan itu di
antaranya ialah pemberontakan Rangga Lawe (paranggalawe) yang terjadi
pada tahun 1295, dan pemberontakan Sora (pasora) pada tahun 1298-1300.
Raja Kertarajasa didampingi
oleh keempat isterinya, keempat putri anak raja Kertanagara, yaitu Sri
Parameswari Dyah Dewi Tribhuwaneswari, Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita,
Sri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita, dan Sri Rajendradewi Dyah Dewi
Gayatri. Dari parameswari Tribhuwana, Kertarajasa memperoleh seorang anak
laki-laki bernama Jayanagara, yang diberi kedudukan sebagai putra mahkota. Dari
istrinya Gayatri ia memperoleh dua orang anak perempuan, yaitu yang sulung
bernama Tribhuwanottunggadewi Jayawisnu-warddhani yang menjadi raja daerah di
Jiwana (Bhre Kahuripan), dan yang bungsu bernama Rajadewi Maharajasa
yang menjadi raja daerah di Daha (Bhre Daha). 14
Raja Kertarajasa meninggal pada
tahun 1309 dan dicandikan di Simping dengan arca Siwa. Sebagai penggantinya
Jayanagara dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sri Sundarapandyadewa Adhi
Iswara Wikramottunggadewa. Masa pemerintahannya diguncang oleh serentetan
pemberontakan kelanjuta dari masa sebelumnya.
Pada tahun 1316 terjadi
pemberontakan Nambi (panambi) yang dapat dipadamkan pada tahun itu juga.
Pada tahun 1318 terjadi pemberontakan Semi (pasemi) yang disusul oleh
pemberontakan Kuti (pakuti) pada tahun 1319. Ketika terjadi pemberontakan
Kuti muncul seorang tokoh yang kemudian memegang peranan penting dalam sejarah
Majapahit, yaitu Gajah Mada. Ketika itu Gajah Mada sebagai anggota pasukan
pengawal raja, dengan siasatnya telah berhasil menyelamatkan raja pada
peristiwa di Badander, dan Kuti dapat dibunuh. Setelah peristiwa itu Gajah Mada
kemudian diangkat menjadi patih di Kahuripan, dan pada tahun 1321 kemudian
diangkat menjadi patih di Daha.
Raja Jayanagara meninggal pada
tahun 1328, dibunuh oleh Tanca. Sepeninggalnya ia digantikan oleh adiknya,
Tribhuwanot-tunggadewi Jayawisnuwarddhani.
Pada masa pemerintahan
Tribhuwanaottungga-dewi, pada tahun 1331 terjadi pemberontakan Sadeng dan Keta
yang dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Setelah peristiwa itu, pada tahun 1334
Gajah Mada diangkat sebagai Patih Hamangkubhumi.
Tribhuwanottunggadewi
memerintah selama 20 tahun, pada tahun 1350 ia mengundurkan diri dari
pemerintahan, dan pada tahun 1372 ia meninggal. Sebagai penggantinya pada tahun
1350 anaknya, Hayam Wuruk, naik takhta menjadi raja Majapahit bergelar Sri
Rajasanagara. Ia didampingi oleh Patih Hamangkubhumi Gajah Mada.
Masa pemerintahan raja Hayam
Wuruk dengan patih hamangkubhuminya Gajah Mada telah membawa kerajaan Majapahit
pada puncak kejayaannya. Pada masa itu kerajaan Majapahit sebagai sebuah
kerajaan adikuasa telah berhasil menjalin persatuan dengan daerah-daerah dan
kerajaan-kerajaan lain di Nusāntara (pulau-pulau lain, di luar pulau Jawa).
Menurut kitab Pararaton, pada
waktu Gajah Mada diangkat sebagai Patih Hamangkubhumi ia mengucapkan Sumpah
Palapa di hadapan Ratu Tribhuwanottunggadewi dan para pembesar kerajaan
Majapahit. Sumpah Palapa tersebut merupakan ‘program politik’ yang merupakan
ambisi Gajah Mada dalam rangka memperluas pengaruh kerajaan Majapahit di
Nusantara. Kebenaran Sumpah Palapa itu diragukan, karena penaklukan Nusantara
itu tidak pernah terjadi, dan Nusantara bukanlah wilayah kerajaan Majapahit.
Berdasarkan pemberitaan
sumber-sumber tertulis berupa karya sastra, seperti kitab Pararaton, dan
Kidung Sunda (Sundayana), pada masa keemasan Majapahit kita
mengenal adanya peristiwa yang disebut Pasunda-Bubat, yaitu sebuah
tragedi yang terjadi di Majapahit pada tahun 1357. Peristiwa ini tidak lain
adalah peperangan antara orang-orang Sunda dan Majapahit. Namun peristiwa ini
tidak dikemukakan di dalam Kakawin Nagarakertagama maupun prasasti-prasasti
dari masa Hayam Wuruk mau pun dari masa sesudahnya. Demikian pula
prasasti-prasasti dari masa kerajaan Sunda tidak ada satu pun yang menyebutkan
peristiwa tersebut.
Hubungan antara Majapahit dan
Nusantara ini tidak lain adalah hubungan regional untuk kepentingan bersama
dalam bentuk persahabatan. Pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk kemakmuran
kerajaan Majapahit makin meningkat. Pada masa itu arus pelayaran dan perdagangan
internasional sudah 15
melanda kawasan Nusantara.
Pusat-pusat perdagangan yang semula berada di pedalaman, kini telah tumbuh di
daerah pasisir. Beberapa pelabuhan seperti Lasem, Tuban, Sidayu, Gresik, dan
Surabhaya, telah tumbuh menjadi pelabuhan-pelabuhan yang ramai.
Majapahit jang semula
merupakan kerajaan agraris, kini mulai bergeser terlibat dalam arus perdagangan
internasional tersebut. sehingga berubah menjadi kerajaan agraris yang semi
komersial. Majapahit berkepentingan memiliki daerah pemasaran di luar
wilayahnya sendiri untuk produk agrarisnya yang melimpah.
Dari daerah-daerah di
Nusantara, Majapahit berkepentingan pula untuk memperoleh hasil-hasil lokal
yang dapat dijadikan komoditi perdagangan internasional. Pada masa itu
perdagangan di wilayah Nusantara telah dimonopoli oleh saudagar-saudagar dari
Majapahit. Mereka mengadakan hubungan perdagangan dengan Banda, Ternate, Ambon,
Banjarmasin, Malaka dan Filipina.
Kakawin Nāgarakĕrtāgama pada
pupuh 13-14 telah menyebutkan dengan rinci berbagai daerah di Nusāntara (Dwipāntara)
yang telah menjalin hubungan kerja sama dengan Majapahit. Oleh karena itulah
daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan di Nusantara tersebut dilindungi oleh Sri
Maharaja Majapahit (nahan lwir ning deśāntara kacaya de śrī narapati). Hubungan
kerjasama ini bahkan diperluas dengan kerajaan-kerajaan lain yang ada di
daratan Asia Tenggara, seperti dengan Syangka (Siam), Ayodhyapura (Ayuthya, di
Siam), Dharmanagari, Marutma (Martaban), Rajapura (Rajapuri), Singhanagari,
Campa, Kamboja, dan Yawana (Annam). Hubungan ini dijalin dalam bentuk kemitraan
yang saling menghormati dan berkedudukan sama (mitreka satata).
Daerah-daerah di Nusāntara dan
sekitarnya itu merupakan daerah-daerah merdeka yang memiliki kedaulatan, dan
bukanlah jajahan atau daerah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Majaphit sebagai
kerajaan adikuasa berkewajiban melindungi daerah-daerah itu demi kelangsungan
kerjasama regional yang saling menguntungkan, khususnya dalam menghadapi arus
pelayaran dan perdagangan dunia yang telah melanda kawasan Asia Tenggara pada
awaktu itu.
Pada tahun 1389 raja Hayam
Wuruk meninggal. Ia digantikan oleh Wikramawarddhana, menantunya yang
memperistri putri mahkota Kusuma-warddhani. Wikramawarddhana adalah anak
Rajasaduteswari, adik perempuan raja Hayam Wuruk. Pada tahun 1400
Wikramawarddhana mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai raja Majapahit dan
menyerahkan kepada anaknya, Suhita.
Pada tahun 1401 timbul
persengketaan antara Wikramawarddhana dengan Bhre Wirabhumi, anak Hayam Wuruk
dari istri selir. Persengketaan ini akhirnya menjadi perang saudara yang
dukenal sebagai parĕgrĕg yang berlangsung berlarut-larut. Pada tahun
1447 Suhita meninggal. Kedudukannya sebagai raja Majapahit digantikan oleh
adiknya, Dyah Kertawijaya yang memerintah sampai tahun 1451.
Kertawijaya meninggal pada
tahun 1453 dan digantikan oleh saudaranya, Rajasawarddhana yang memerintah
sampai saat meninggalnya pada tahun 1453. Sepeninggal Rajasa-warddhana, selama
tiga tahun terdapat kekosongan tanpa raja (interregnum). Baru pada tahun
1456 tampil seorang anak Dyah Kertawijaya yang bernama Dyah Suryawikrama
Girisawarddhana. Ia memerintah selama 10 tahun. Pada tahun 1466 ia meninggal
dan digantikan oleh anaknya, Bhre Pandan Salas yang bergelar Dyah Suraprabhawa
Sri Singhawikramawarddhana.
Di dalam prasasti Pamintihan
yang dikeluarkan pada tahun 1473, Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawardhana
disebutkan sebagai Sri Maharajadiraja “yang menjadi panji-panji atau pemimpin
keturunan Raja Gunung” (śrī giripati 16
prasūta bhūpati ketubhūta). Pada tahun 1468 ia menyingkir dari kadatonnya di Majapahit
karena serangan dari Bhre Kertabhumi.
Dyah Suraprabhawa kemudian
meneruskan pemerintahannya di Daha sampai saat ia meninggal pada tahun 1474.
Sepeninggalnya ia digantikan oleh anaknya, Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya.
Karena ibukota Majapahit diduduki oleh Bhre Kertabhumi, ia memerintah di
Keling. Pada tahun 1478 Ranawijaya mengadakan penyerangan ke Majapahit (yuddha
lawaning Majapahit) untuk merebut kembali haknya atas takhta kerajaan
majapahit dari tangan Bhre Kertabhumi.
Dalam penyerangan tersebut
Bhre Kertabhumi gugur di kadaton. Di dalam kitab Pararaton disebutkan Bhre
Kertabhumi gugur di kadaton pada tahun sunya-nora-yuganing-wong, 1400
Saka (= 1478 Masehi). Dyah Ranawijaya berhasil merebut kembali kekuasaan dari
tangan Bhre Kertabhumi, sehingga seluruh kekuasaan atas kerajaan Majapahit
berada di tangan Dyah Ranawijaya.
Dalam prasasti-prasastinya
yang dikeluarkan pada tahun 1486 ia disebutkan sebagai Paduka Sri Maharaja
Sri Wilwatiktapura Janggala-Kadiri Prabhunatha. Dengan demikian tidaklah
benar Majapahit itu runtuh karena serangan Demak pada tahun sirna-ilang-kertaning-bumi,
1400 Saka (= 1478 Masehi) seperti yang disebutkan dalam kitab Serat Kanda.
Tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi adalah tahun penyerangan Dyah Ranawijaya ke
Majapahit untuk merebut kembali tahta kerajaan Majapahit dari tangan Bhre
Kertabhumi yang telah merebutnya dari tangan Bhre Pandan Salas, ayah Dyah
Ranawijaya.
Girindrawarddhana Dyah
Ranawijaya adalah raja Majapahit terakhir, ia memerintah dari tahun 1474 sampai
tahun 1519. Pada masa pemerintahan Dyah Ranawijaya itulah Majapahit mengalami
keruntuhannya karena serangan dari kerajaan Islam Demak yang dipimpin oleh
Adipati Unus, anak Raden Patah, cucu Bhre Kertabhumi. Dengan berakhirnya masa
pemerintahan Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya maka berakhir pulalah kekuasaan
raja-raja Dinasti Rajasa (Rājasawangśa) atau Dinasti Girindra (Girīndrawangśa),
yang telah berkuasa di kerajaan Singhasari dan Majapahit selama hampir 300
tahun lamanya (1222-1519).
6. Kerajaan Sunda
Setelah kerajaan Tarumangara
runtuh diinvasi oleh Sriwijaya pada akhir abad ke-7, di Jawa Barat muncul
kerajaan Sunda. Carita Parahyangan, naskah Sunda Kuna yang berasal dari
abad ke-16, menghubungkan masa awal kerajaan di Jawa Barat ini dengan tokoh
Sanjaya yang menjadi raja di Mataram.
Menurut Carita Parahyangan,
Sanjaya adalah anak Sena, Sanna menurut prasasti Canggal, raja yang berkuasa di
Galuh. Pada suatu ketika terjadi perebutan kekuasaan antara Sena dan Rahyang
Purbasora, saudara seibu Sena. Sena kalah dalam perebutan kekuasaan tersebut,
dan dibuang bersama keluarganya ke daerah Gunung Merapi. Tetapi akhirnya
Sanjaya anak Sena berhasil merebut kembali kekuasaan ayahnya dari tangan Rahyang
Purbasora. Sanjaya kemudian menjadi raja di Galuh.
Carita Parahyangan menyebutkan
pula bahwa Sanjaya adalah menantu raja Sunda yang bergelar Tohaan (Yang
Dipertuan) di Sunda, yaitu Tarusbawa. Sanjaya kemudian menggantikan mertuanya
menjadi raja Sunda dengan tetap berkedudukan di Galuh. Setelah menjadi raja
selama sembilan tahun lamanya ia digantikan oleh anaknya, Rahyang Tamperan.
Bagaimana Sanjaya kemudian berpindah dari seorang raja di Sunda menjadi raja
Mataram tidak diketahui dengan jelas. 17
Prasasti Kebonkopi II dari
daerah Bogor, yang berbahasa Malayu Kuna dari tahun 854 Saka (932 Masehi)
berisi pernyataan tentang pengembalian kekuasaan kepada raja Sunda (Haji
Sunda) oleh seorang pejabat, Rakryan Juru Pangambat. Kekuasaan yang
dikembalikan itu ialah kekuasaan atas wilayah kerajaan Tarumanagara yang semula
dikuasai (diinvasi) oleh Sriwijaya sejak akhir abad ke-7.
Bagaimana perkembangan
kerajaan Sunda ini selanjutnya tidak diketahui dengan pasti, sampai munculnya
prasasti Sanghyang Tapak dari daerah Sukabumi, Jawa Barat. Prasasti dari tahun
1030 ini menyebutkan nama seorang haji i Sunda yang bernama Maharaja Sri
Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya. Kerajaannya disebut kerajaan
Sunda (prahajyan i Sunda).
Nama gelar raja Sunda ini sangat
mirip dengan nama gelar raja Airlangga di Jawa timur yang memerintah pada masa
yang sama pula. Selain menggunakan bahasa Jawa kuna, prasasti ini menggunakan
aksara kuadrat, yaitu sejenis aksara Jawa Kuna yang biasa digunakan pada
prasasti-prasasti Jaman Kadiri.
Letak ibukota kerajaan Sunda
sejak 932 sampai pada masa pemerintahan Jayabhupati tahun 1030, mungkin
terletak di daerah Bogor dan pada masa kemudianibukota ini bernama Pakuan
Pajajaran.
Untuk beberapa lama kita tidk
memperoleh berita tentang kerajaan Sunda yang berpusat di Bogor. Tetapi,
beberapa waktu kemuduan kita memperoleh berita mengenai kerjaan Sunda dari
sejumlah prasasti yang ditemukan di daerah Ciamis, yaitu di Kuta Kawali. Di
dalam prasasti Kawali yang berjumlah enam buah disebutkan pula seorang raja
bernama Parebu Raawastu yang bertakhta di Kawali dengan kadatonnya yang bernama
Surawisesa dan telah membuat parit pertahanan yang mengelilingi kota Kawali.
Di dalam kitab Carita
Parahyangan disebutkan terjadinya peristiwa perang Bubat pada tahun 1357, yang
menyebabkan gugurnya Prebu Maharaja Linggabuwana yang memerintah di Kawali
sejak tahun 1350. Dalam Carita parahyangan disebutkan pula bahwa Parebu
Maharaja masih mempunyai seorang putra bernama Parebu Raja Wastu. Ketika
peristiwa Bubat terjadi ia masih kecil, sehingga ketika Parebu Maharaja gugur
untuk sementara pemerintahan di kerajaan Sunda dipegang oleh pamanya, Hyang
Bunisora yang bertindak sebagai wali. Masa perwalian ini berlangsung pada tahun
1357-1371.
Prabu Raja Wastu tidak lain adalah
Rahyang Niskala Wastukancana yang disebutkan di dalam prasasti Batutulis dan
prasasti Kebantenan. Ia memerintah pada tahun 1571-1475. Penggantinya ialah
anaknya, Sri Baduga Maharaja, yang dinobatkan dengan nama Prebu Guru
Dewataprana, dan dinobatka kembali dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di
Pakuan Pajajaran Sri Sang ratu Dewata. Selain disebutkan dalam prasasti
Batutulis, namanya juga disebutkan dalam prasasti Kebantenan dan prasasti
Huludayeuh. Ia memerintah pada tahun1482-1521.
Di dalam prasasti Batutulis ia
disebutkan telah membuat parit sekeliling ibukota Pakuan, membuat tanda
peringatan berupa gugunungan, memperkeras jalan-jalan (ngabalay),
membuat hutan lindung (nyian samida) dan membuat sebuah telaga yang
dinamai Sang Hyang Talagawarna Mahawijaya. Penggantinya ialah raja Surawisesa
Jaya Perkosa yang memerintah pada tahun 1521-1535. Pada tahun 1533 ia
mengeluarkan prasasti Batutulis yang memperingati jasa-jasa ayahnya, Sri Baduda
Maharaja.
Hal yang penting dari masa
pemerintahannya ialah dilakukannya perjanjian dengan Portugis pada tanggal 21
Agustus 1522. Dalam perjanjian itu raja Surawisesa disebut dengan nama Samiam
(Ratu Sanghyang). Isi perjanjian itu intinya adalah pernyataan pihak
Portugis untuk membentu kerajaan Sunda jika sewaktu-waktu 18
kerajaan Sunda diserang oleh
kerajaan Islam. Sebagai imbalan, pihak Portugis dijinkan mendirikan benteng di
bandar Banten, dan diberi hak untuk memperoleh lada sebanyak 350 kuintal setiap
tahun.
Sepeninggal raja Surawisesa,
kerajaan Sunda berturut-turut diperintah oleh pengganti- penggantinya yaitu
raja Dewata Buwana (1535-1543), Ratu Saksi (1543-1551), Tohaan di Majaya yang
bernama Nilakendra (1551-1567), dan raja terakhir Ragamulya Suryakancana
(1569-1579). Kerajaan Sunda berakhir pada tahun 1579, dikalahkan oleh kerajaan
Banten. Dengan demikian berakhirlah kerajaan Sunda sebagai benteng terakhir
kekuasaan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha do Indonesia.
7. Kerajaan-kerajaan di Bali
(Balidwipa)
Kerajaan-kerajaan tertua di
Bali berasal dari masa sekitar abad ke-9. Sejumlash prasasti dari tahun 882-914
telah menyebutkan sebuah pusat kekuasaan (panglapuan) di Singhamandawa,
tetapi tidak menyebutkan nama rajanya. Nama raja Bali baru disebutkan dalam
prasasti Sanur yang berasal dari awal tahun 914. Rajanya bernama Sri Kesari
Warmadewa.
Dari sejumlah prasasti Bali
yang berasal dari tahun 915-942 diketahui di Bali memerintah seorang raja
bernama Sang Ratu Sri Ugrasena yang berkedudukan di Singhamandawa. Dari
prasasti Manikliu tahun 955 dikenal seorang raja yang lain bernama Sang Ratu
Sri Aji Tabanendra Warmadewa. Pengganti raja Tabanendra berturut-turut adalah
Sang Ratu Sri Candrabhayasingha Warmadewa dan Sang Ratu Sri Janasadhu
Warmadewa. Masa pemerintahan kedua orang ini tidak diketahui denga jelas karena
masing-masing hanya mengeluarkan satu prasasti. Raja Candrabhayasingha
mengeluarkan prasasti Tirta Empul tahun 960 dan raja Sri Janasadhu mengeluarkan
prasasti Sembiran tahun 975. Rupanya Sri Kesari Warmadewa merupakan pendiri
dinasi (wangsakara) Warmadewa.
Pada tahun 984 muncul seorang
raja bernama Sri Maharaja Sri Wijaya-mahadewi, dan pada tahun 989 muncul
pulaseorang raja bernama Sri Dharmma-Udayana Warmadewa yang memerintah bersama
permaisurinya Sang Ratu Luhur Sri Gunapriyadharmmapatni keturunan Mpu Sindok
dari Wangsa Isyana. Mereka memerintah sekitar tahun 989-1011.
Dari perkawinannya raja
Udayana dengan Gunapriyadharmmapatni lahirlah tiga orang anak, yaitu Airlangga,
Marakata dan Anakwungsu. Airlangga kemudian menjadi raja di Mataram di Jawa
Timur, sedangkan Marakata dan Anakwungsu menjadi raja di Bali.
Dari empat buah prasasti yang
berasal dari tahun 1022-1027 dapat diketahui raja yang memerintah di Bali pada
waktu itu ialah raja Marakata yang bergelar Paduka Haji Sri
Dharmmawangsa-warddhana Marakatapangkajastanottunggadewa. Dalam prasasti
Trunyan tahun 1050 sudahdisebutkan yang menjadi raja adalah Paduka Haji
Anakwungsu. Prasastinya yang terakhir berasal dari tahun 1088. Setelah itu
tampil seorang raja yang bergelar Paduka Sri Maharaja Sri Sakala-Indukirana
Isyanagunadharmmalaksmidhara Wijayottunggadewi, yang mengeluarkan prasasti
Sawan (Sukhapura II), pada tahun 1098.
Dari prasasti Air Tabar yang
berasal dari tahun 1115 kita mengenal seorang raja yang bergelar Sri Maharaja
Suradhipa. Nama raja ini dalam prasasti Sukhamerta (Angsri) tahun 1119
disebutkan pula bersama raja lain yang bernama Bhatara Sri Haji Uganendra
Dharmmadewa. Masa pemerintahan kedua raja ini tidak diketahui dengan pasti,
tetapi dari prasasti yang berasal dari tahun 1146 dan 1150 ada raja yang
bernama Paduka Sri Maharaja Sri Jayasakti. Rupanya ia kemudian digantikan 19
oleh Paduka Sri Maharaja Haji
Jayapangus karena namanya disebutkan dalam prasasti-prasasti yang
dikeluarkannya pada tahun 1178 dan 1181.
Raja Jayapangus digantikan oleh
Sri Maharaja Haji Ekajaya, yang memerintah bersama ibunya, Paduka Sri Maharaja
Sri Arjayya, seperti disebutkan dalam prasastinya yang berasal dari tahun 1200.
Empat tahun kemudian muncul seorang raja bernama Bhatara Guru Sri
Adikuntiketana seperti disebutkan dalam prasasti Bangli III dari tahun 1204.
Masa pemerintahannya tidak diketahui dengan jelas. Setelah itu terdapat masa
kegelapan yang cukup lama dalam sejarah Bali Kuna karena sedikitnya
sumber-sumber sejarah yang sapai kepada kita.
Pada tahun 1260 muncul seorang
raja bernama Paduka Bhatara Guru Parameswara Sri Hyang ning Hyang
Adidewalanchana, seperti disebutkan dalam prasasti Bulihan. Setelah itu baru
diketahui lagi seorang raja bernama Paduka Bhatra Guru (II) yang disebutkan
dalam prasasti Hyang Putih bersama-sama anaknya, Paduka Aji Sri Tarunajaya.
Dalam prasasti Tumbu dari
tahun 1325 disebutkan seorang raja bernama Paduka Sri Maharaja Sri Bhatara
Mahaguru Dharmmottungga Warmmadewa. Kemunculan raja ini menunjukkan kembalinya
dinasti Warmmadewa dalam masa pemerintahan raja-raja di Bali. Batara Mahaguru
mangkat pada tahun 1355 seperti disebutkan dalam prasasti Salumbung.yang
menyebutkan nama Paduka Bhatara Sri Walajaya Kertaningrat bersama ibunya,
Paduka Tara Sri Mahaguru. Dari prasasti Langgaran tahun 1338 disebutkan yang
menjadi raja adalah Paduka Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten. Ia adalah
raja Bali terakhir, sebab sejak tahun 1343 Bali ditaklukkan oleh Gajah Mada.
Sesudah penaklukkan Bali oleh
Gajah Mada, terdapat dua prasasti dari raja Majapahit yang ditemukan di Pulau
Bali. Prasasti-prasasti itu dalah Prasasti Her Abang II tahun 1384 yang
dikeluarkan oleh Paduka Sri Maharaja Parameswara Sri Wijayarajasa, dan prasasti
Tambelingan II tahun 1398 yang menyebutkan nama raja Pauka Bhatara Sri
Parameswara Sira Sang Mokta ring Wisnubhawana. Sejak Bali dikuasai oleh
keluarga raja-raja Majapahit pusat pemerintahan mula-mula di daerah Samprangan,
tetapi kemudian dipindahkan ke Gelgel dan Klungkung. Raja-raja di Klungkung
menganggap dirinya sebagai orang keturunan Majapahit (wong Majapahit).
III. ASPEK-ASPEK SOSIAL-BUDAYA
PADA MASA HINDU-BUDDHA
Pelayaran dan perdagangan
internasional di Jalur Sutera yang menghubungkan Tiongkok (Asia Timur) dengan
India (Asia Selatan) dan Dunia Arab (Asia Baratdaya) telah memengaruhi
perkembangan kehidupan sosial-budaya di Nusantara (Asia Tenggara) pada umumnya,
khususnya di Indonesia. Masuknya pengaruh kebudayaan India ke Indonesia telah
menimbulkan beberapa perubahan yang merupakan perkembangan baru dalam tatanan kehidupan
sosial-budaya bangsa Indonesia pada waktu itu. Perkembangan baru ini di
antaranya ialah diterimanya agama Hindu dan Buddha, sistem kemasyarakatan,
sistem tulisan dan kesenian, khususnya seni sastra, seni bangunan, dan seni
arca yang berlatarkan agama Hindu dan Buddha.
Namun kondisi perkembangan
kehidupan sosial-budaya masyarakat di berbagai daerah di Indonesia yang ada
pada masa akhir prasejarah, tidaklah sama. Keadaan seperti ini menyebabkan
tidak meratanya persebaran pengaruh datangnya 20
kebudayaan India itu di
berbagai daerah, dan menyebabkan pula perbedaan kemampuan dalam mengadaptasi
unsur-unsur kebudayaan luar.
Dalam membahas perkembangan
aspek-aspek kehidupan sosial-budaya kerajaan-kerajaan di Indonesia masa
Hindu-Buddha, kita tidak dapat menjelaskannya secara untuh pada setiap
kerajaan. Karena, tidak semua kerajaan-kerajaan itu memiliki masa perkembangan
yang sama, dan juga tidak semua memiliki kemampuan untuk mengembangkan
aspek-aspek kehidupan sosial-budaya secara maksimal dan berkelanjutan.
Di samping itu sumber-sumber
berupa tinggalan-tinggalan masa lampau dari kerajaan-kerajaan tersebut yang
sampai kepada kita sangat terbatas, baik kuantitasnya mau pun kualitasnya,
sehingga tidak semua kerajaan-kerajaan pada masa Hindu-Buddha itu dapat
diungkapkan aspek-aspek kehidupan sosial-budayanya secara utuh dan jelas.
Dengan demikian dalam membahas
perkembangan aspek-aspek kehidupan sosial-budaya itu kami dibatasi pada
perkembangan yang terdapat pada beberapa kerajaan tertentu saja, seperti yang
ada di kerajaan Mataram dan Kerajaan Majapahit karena sumber-sumbernya dpat
dikatakan cukup memadai. Pengetahuan tentang aspek-aspek kehidupan
sosial-budaya dari masa perkembangan keerajaan-kerajaan Hindu- Buddha tersebut
merupakan akar kebudayaan yang masih mewarnai corak kehidupan tradisional di
berbagai kelompok masyarakat di Indonesia.
BIBLIOGRAFI
[Daftar Pustaka Acuan untuk
Studi Pendalaman]
Abdullah, Taufik dan Adrian B.
Lapian (Editor Umum)
2013 Indonesia dalam Arus
Sejarah: Jilid 2. Kerajaan Hindu-Buddha. (Editor
Jilid: Edi Sedyawati dan Hasan
Djafar). Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve/
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI. Cetakan Pertama.
Bernet Kempers, A.J.
1959 Ancient Indonesian
Art. Amsterdam: C.P.J. Van der Peet.
Boechari
2013 Melacak Sejarah Kuno
Indonesia Lewat Prasasti. Kumpulan Tulisan Boechari.
Penyunting: Ninie Susanti,
Hasan Djafar dkk. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Cortesao, Armando
1944 The Suma Oriental of
Tome Pires: An Account of the East, from Red Sea to
Japan. Translated from Portuguese MS in Bibliothèque de la Chambre
des
députés Paris, and edited by
Armando Cortesão. London: Hakluyt Society.
Djafar, Hasan
2009 “Sistem Pengetahuan
Tradisional”, dalam Mohammad Iskandar (editor),
Sejarah Kebudayaan Indonesia:
Jilid 8. Sistem Pengetahuan, hlm. 7-46.
(Editor Umum: Mukhlis PaEni).
Jakarta: Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata.
2010 Kompleks Percandian
Batujaya: Rekonstruksi Sejarah Kebudayaan Daerah
Pantai Utara Jawa Barat. Bandung: Kiblat Buku Utama/École française
d’Extrême-Orient/Pusat
Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional/
Koninklijk Instituut voor
Taal-, Land- en Volkenkunde.
2013 Masa Akhir Majapahit:
Gîrindrawarddhana & Masalahnya. Depok:
Komunitas Bambu. Cetakan
kedua.
Groeneveldt, W.P.
1960 Historical Notes on
Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources.
Djakarta: Bhratara.
2009 Nusantara dalam
Catatan Tionghoa. Penerjemah: Gatot Triwira, Editor:
David Kwa. Depok: Komunitas
Bambu.
Heine Geldern, R. von
1982 Konsepsi tentang
Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara.
Terjemahan Deliar Noer.
Jakarta: Rajawali. Cetakan ke-2.
Kartodirdjo, Sartono
1969 “Struktur Sosial dari
Masjarakat Tradionil dan Kolonial”, Lembaran
Sedjarah, 4. Jogjakarta: Djurusan Sejarah, Fakultas sastra,
Universitas
Gadjah Mada. 26
Kinney, Ann R.
2003 Worshiping Siva and
Buddha: The Temple Art Of East Jva. With Introduc-
tion to the Religion and Art
of East Java by Marijke J. Klokke and Lydia
Kieven. Honolulu: University
of Hawai’i Press
Miksic, John (Volume Editor)
2008 Indonesian Heritage:
Vol. 1. Ancient History. General Editors: Joop Ave et al.
Singapore: Didier
Millet/Jakarta: Buku Antar Bangsa.
[Buku ini telah diterbitkan
pula dalam Bahasa Indonesia denga Judul:
Sejarah Kuno].
PaEni, Mukhlis (Editor Umum)
2009 Sejarah Kebudayaan
Indonesia. 8 Jilid. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata.
Poerbatjaraka, R.M.Ng.
1957 Kepustakaan Djawa. Djakarta:
Djambatan. Cetakan kedua.
Poesponegoro, Marwati Djoened
dan Nugroho Notosusanto (Editor Umum).
2008 Sejarah Nasional
Indonesia: II. Zaman Kuno. Edisi Pemutakhiran (Editor
Umum Pemutakhiran: R.P.
Soejono dan L.Z. Leirissa; Editor Jilid
Pemutakhiran: Endang Sri
Hardiati). Jakarta: Balai Pustaka. Cetakan Pertama
Pemutakhiran.
Ramelan, Wiwin Djuwita
2014 Candi-candi di
Indonesia: I. Candi-candi di Jawa. Jakarta: Direktorat
Pelestarian Cagar Budaya,
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI.
(Inpress).
Schrieke, B.J.O.
1966 Indonesian
Sociological Studies, Part One. The Hague/Bandung: W. van
Hoeve. Second Edition.
Slametmuljana
1966 Perundang-undangan
Majapahit. Djakarta: Bhratara.
Soekmono, R.
1990 Sejarah Kebudayaan
Indonesia, jilid 2. Yogyakarta: Kanisius.
Zoetmulder S.J., P.J.
1982 Kalngwan. Ikhtisar
Kesusastraan Jawa Kuna. Diterjemahkan oleh
Dick Hartoko. Jakarta:
Djambatan. 27
0 komentar:
Posting Komentar