Selasa, 30 Agustus 2016

Berfikir Sejarah

Modul ketiga ini membahas tentang kemampuan berpikir yang dihasilkan dalam pembelajaran sejarah, yaitu kemampuan berpikir kronologis, kemampuan periodisasi, kemampuan berpikir kausalitas, dan kemampuan berpikir diakronik dan sinkronik. Seluruh kemampuan berpikir ini, tidak hanya sangat diperlukan untuk memahami suatu peristiwa sejarah, tetapi juga dapat digunakan untuk memahami peristiwa pada masa kini maupun yang akan datang. 

Kemampuan Berpikir Kronologis
Kronologis mengandung arti pengetahuan tentang urutan waktu dari sejumlah kejadian atau peristiwa. Pengetahuan ini sangat penting dalam pelajaran sejarah yang senantiasa menekankan perlunya mengurutkan seluruh kejadian atau peristiwa berdasarkan urutan waktunya, yakni menempatkan  kejadian atau peristiwa yang terjadi lebih dahulu daripada yang terjadi kemudian. Sebagai contoh: peristiwa yang terjadi pada tahun 1945 lebih didahulukan dari pada peristiwa yang terjadi pada tahun 1946, atau peristiwa yang terjadi pada bulan Januari lebih didahulukan daripada  peristiwa yang terjadi pada bulan Februari, atau peristiwa yang terjadi pada hari Senin lebih didahulukan daripada peristiwa yang terjadi pada hari Selasa, atau peristiwa yang terjadi pada jam 8 lebih didahulukan daripada peristiwa yang terjadi pada jam 9.    
Meski kemampuan berpikir kronologis merupakan sesuatu yang sangat penting dalam sejarah, namun sejarah tidak dapat disamakan dengan kronik. Pengertian kronik adalah catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya. Di dalam kronik hanya dilakukan pencatatan terhadap peristiwa tanpa mempedulikan keterkaitan antara peristiwa yang pertama dengan yang kedua dan selanjutnya. Sementara kronologi sangat menekankan keterkaitan antara peristiwa yang pertama dengan yang kedua dan selanjutnya.
Kronologi memberikan gambaran waktu yang bersifat linear, yakni waktu yang bergerak dari belakang ke depan, atau waktu yang bergerak dari kiri ke kanan, atau waktu yang bergerak dari titik awal hingga mencapai titik akhir. Oleh karena itu, gerakan waktu bersifat progresif karena memandang perjalanan waktu sebagai proses perkembangan menuju kemajuan. Dalam pandangan waktu yang bersifat linear dan progresif tersebut, pergerakan waktu dibagi menjadi tiga dimensi waktu yaitu masa lalu, masa kini dan masa depan. Di antara dimensi waktu itu, sejarah mempelajari peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Namun, peristiwa masa lalu dalam sejarah mempunyai keterkaitan dengan masa kini dan masa depan. Keterkaitan ketiga dimensi waktu itu berada dalam kerangka berpikir kausalitas yang akan dijelaskan pada bagian yang lain dalam modul ini.
Kebalikan dari berpikir kronologis adalah berpikir anakronistis. Bila berpikir kronologis mengurut peristiwa berdasarkan urutan waktu kejadiannya, maka anakronisma cara berpikir yang mencampuradukan atau memutarbalikan urutan peristiwa sehingga memberikan pemahaman yang salah. Cara berpikir anakronistis menyalahi gambaran waktu sebagai proses yang bergerak menurut garis lurus dari awal hingga akhir. Gerakan waktu secara matematis diukur dengan detik, menit dan jam. Satuan ukuran waktu yang lebih besar adalah hari, minggu, bulan, tahun, windu, dasawarsa, dan abad. Anakronistis menempatkan kejadian atau peristiwa yang terjadi lebih dahulu di belakang kejadian atau peristiwa yang terjadi kemudian. Sebagai contoh: peristiwa yang terjadi pada tahun 1942 lebih didahulukan dari pada peristiwa yang terjadi pada tahun 1941, atau peristiwa yang terjadi pada bulan Februari lebih didahulukan daripada  peristiwa yang terjadi pada bulan Januari, atau peristiwa yang terjadi pada hari Selasa lebih didahulukan daripada peristiwa yang terjadi pada hari Senin, atau peristiwa yang terjadi pada jam 9 lebih didahulukan daripada peristiwa yang terjadi pada jam 8.

Kemampuan Berpikir Periodisasi
            Periodisasi adalah pembagian waktu menurut zamannya. Istilah periodisasi dalam bahasa Indonesia sepadan dengan penzamanan atau pembabakan. Ketiga istilah ini (peridisasi, penzamana dan pembabakan) mempunyai pengertian yang sama, yakni pembagian waktu menurut zamannya.
Kata periodisasi berasal dari kata periode. Dalam bahasa Indonesia, kata periode mempunyai  tiga pengertian: (1) kurun waktu, (2) lingkaran waktu, dan (3) masa. Ketiga pengertian ini mengandung arti yang sama yakni berkaitan dengan dimensi waktu. Oleh karena itu memahami periode menjadi sangat penting dalam belajar sejarah karena dimensi waktu merupakan sesuatu yang paling mendasar dalam ilmu sejarah. Periodisasi dalam ilmu sejarah berfungsi untuk menyusun sistematika dalam penulisan sejarah.
Periodisasi diberikan berdasarkan caesuur atau pembagian waktu yang diberikan. Pemberian caesuur diberikan oleh para pujangga untuk historiografi tradisional, dan sejarawan untuk historiografi modern. Keduanya mempunyai perbedaa sebagai berikut: Dalam historiografi tradisional suatu zaman diberi nama menurut seorang raja yang memerintah, atau dinasti yang memerintah, atau nama kerajaannya. Sebagai contoh masa Raja Hawam Wuruk dalam sejarah Kerajaan Majapahit, Masa dinasti atau wangsa Syailendra dalam sejarah Kerajaan Mataram Hindu yang mendirikan Candi Borobudur, atau sejarah kota Makasar pada masa Kesultanan Gowa. Dalam historigrafi modern, pembagian waktu diberikan berdasarkan penamaan kurun waktu, misalnya periodisasi dalam sejarah Eropa yang dibagi menjadi tiga zaman, yaitu  zaman kuno, zaman pertengahan dan zaman modern. Pembagian ini diberikan oleh Christophorus Cellarius (1638-1707), seorang ahli sejarah klasik Eropa berkebangsaan Jerman yang hidup pada abad ke-17. Dialah yang membagi sejarah Eropa menjadi zaman kuno. pertengahan, dam modern. Setiap periode diberikan batasan waktu 500 tahun. Berdasarkan pembagian waktu ini maka zaman kuno Eropa berlangsung antara tahun 500 hingga tahun 1000, zaman pertengahan Eropa berlangsung antara tahun 1000 hingga tahun 1500, dan zaman modern Eropa berlangsung mulai dari tahun 1500 hingga sekarang.
Pembulatan waktu yang dilakukan Cellarius dalam periodisasinya bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam memahami perjalanan sejarah bangsa Eropa menuju bangsa yang modern. Di samping pembulatan tahun, para sejarawan juga menggunakan pembulatan berdasarkan abad. Sementara satu abad berjumlah 100 tahun. OLeh karena itu pembulatan waktu berdasarkan abad memahami sejarah suatu bangsa dalam kurun waktu setiap seratus tahun. Sebagai contoh dalam historigrafi Barat dikenal periodisasi yang membagi periodisasi menjadi periode Reformasi – Protestan untuk sejarah Eropa pada abad ke-16, periode Rasionalisme untuk sejarah Eropa pada abad ke-17, periode Pencerahan atau Aufklarung untuk sejarah Eropa pada abad ke-18, dan peride Romantisme-Nasionalisme untuk sejarah Eropa pada abad ke-19.
            Periodisasi juga diberikan para sejarawan Indonesia. Pada tahun 1957 para sejarawan Indonesia membagi sejarah Indonesia menjadi enam periode, yaitu (1) Jaman Prasejarah Indonesia, (2) Jaman Kuno, (3) Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, (4) Abad Kesembilanbelas, (5) Jaman Kebangkian Nasional dan Masa Akhir Hindia Belanda, dan (6) Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia. Setiap periode tersebut berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Jalam prasejarah berlangsung sebelum abad masehi, jaman kuno beralngsung dari awal abad Masehi hingga tahun 1500, jaman pertumbuhan dan perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam berlangsung dari tahun 1500 hingga tahun 1800, abad kesembilan belas berlangsung dari tahu 1800 hingga tahun 1900, jaman kebangkitan nasional dan masa akhir Hindia Belanda berlangsung dari tahun 1900 hingga 1942, dan jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia berlangsung dari tahun 1942 hingga sekarang.
            Periodisasi sejarah Indonesia yang diberikan para sejarawan Indonesia tersebut merupakan penggabungan dari pembulatan tahun dan pembulatan abad serta pertistiwa-peristiwa politik yang dinilai sangat penting, seperti tahun 1942, yaitu awal penjajahan Jepang di Indonesia yang menandai berakhirnya penjajahan Belanda di Indonesia.
            Dalam sejarah politik ada kebiasaan membuat periodisasi berdasarkan pemilihan caesuur pada tahun pertistiwa penting, antara lain akhir perang, awal revolusi, awal suatu pemerintahan, dan lain sebagainya. Periodisasi seperti ini membuktikan bahwa ide pentingnya peranan perang, diplomasi, dan peristiwa penting lain sangat menonjol. Jadi dominasi sejarah politik dan perang sangat menentukan. Sebagai contoh adalah Revolusi Perancis pada tahun 1789 yang dijadikan sebagai awal periode modern daam sejarah Perancis. Dapat disimpulkan bahwa periodisasi dalam sejarah politik dilakukan seara tajam.
            Pembagian periode secara tajam sebagaimana berlaku dalam sejarah politik tersebut tidak dilakukan para sejarawan ekonomi dan social. Mereka membagi periode berdasarkan konjungtur atau gelombang yang memperhatikan perubahan yang lambat. Sebagai contoh adalah periodisasi yang dilakukan sejarawan Perancis, Braudel. Ia membagi sejarah menjadi tiga periode yaitu sejarah kejadian-kejadian (L’histoire evenementielle), sejarah konjungtural, dan sejarah jangka panjang atau sejarah structural.   
Perubahan dalam sejarah structural (sejarah social) lebih lambat dari pada perubahan yang berlangsung dalam sejarah konjungtural (sejarah ekonomi). Contoh sejarah structural adaah perubahan struktur social atau struktur kekuasaan. Keduanya tidak dapat terjadi secara mendadak dan berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Perubahan dalam struktur social sangat bergantung pada kemunculan golongan social baru. Kemuncula golonga social baru ini menciptakan pola hubungan social yang baru pula di antara golongan-golongan social tersebut.
Dari uraian di atas, periodisasi yang paling sederhana  adalah periodisasi dalam sejarah politik. Relatif lebih mudah meetapkan caesuur masa pemerintahan penguasa, awal da akhir perang, atau periode berdirinya suatu negara dan kerajaan daripada menentukan perubahan konjungtural  maupun structural. Kesulitan utama dalam membuat periodisasi berkaitan dengan unit sejarah yang diambil. Semakin besar dan kompleks suatu unit, semakin sulit menetapkan criteria tajam yang berlaku untuk seluruh unit.
Dalam menghadapi kesulitan-kesulitan itu perlu diperhatikan bahwa periodisasi hanya suatu modalitas untuk member struktur atau bentuk kepada waktu, tidak diperlukan kemutlakan dalam membuat pembatasan. Yang paling pokok ialah memakai criteria secara konsisten. Kriteria adalah ukuran yang digunakan untuk menetapkan karakteristik zaman.

Kemampuan Berpikir Kausalitas
            Kausalitas menyangkut hubungan sebab akibat antara dua atau lebih peristiwa. Pengetahuan tentang hubungan sebab akibat tersebut sangat penting dalam pembelajaran sejarah, terutama untuk menjawab pertanyaan mengapa suatu peristiwa terjadi? Jawaban terhadap pertanyaan menagap itu menngharuskan adanya sebuah uraian tentang sesuatu yang menjadi penyebab terjadinya sebuah peristiwa. Sebagai contoh, mengapa terjadi perang Dunia II pada tahun 1939? Mengapa Perang Dunia II berakhir pada tahun 1945? Kedua pertanyaa ini harus dijawab dengan menguraikan penyebab-penyebabnya. Uraian penyebab ini dalam ilmu sejarah disebut sebagai kausalitas. Ada dua teori kausalitas, yaitu monokausalitas dan multikausalitas.
1.      Monokausalitas
Monokausalitas adalah teori hubungan sebab akibat yang pertama kali muncul dalam ilmu sejarah. Teori ini bersifat deterministic (ketergantungan), yakni mengembalikan kausalitas suatu peristiwa, keadaan, atau perkembangan kepada satu faktor saja. Faktor itu dipandang sebagai faktor tunggal atau satu-satunya faktor yang menjadi faktor kausal.
Deterministik dalam monokausalitas terdiri dari determinstik geografis, deterministik rasial, dan deterministuk ekonomis. Menurut teori determinisme geografis ini bahwa faktor geografi atau lokasi tempat tinggal merupakan penyebab tunggal dari sebuah peistiwa, keadaan ataupun perkembangan suatu bangsa. Sebagai contoh, bangsa-bangsa di negeri dingin pada umumnya maju oleh karena kondisi ekologinya menuntut “jiwa” yang mampu menyesuaikan diri dan mengatasi kondisi alamiah yang berat. Sebaliknya, di negeri panas (tropika) alam sangat memudahkan hidup sehingga tidak menimbulkan banyak tantangan. Sementara deterministic rasila lebih menekankan faktor biologis sebagai penentu kemajuan suatu bangsa.
Sejalan dengan pemikiran faktor tunggal, deterministic ekonomis menganggap faktor ekonomi sebagai penyebab tunggal perkembangan masyarakat. Menurut deterministic ekonomis bahwa seluruh lembaga social, politik dan cultural ditentukan oleh proses ekonomis, khususnya sistem produksi. Sebagai contoh, sistem produksi agraris dengan teknologi tradisional menciptakan struktur politik dan social yang bersifat feodalistik. Keduanya berkisat sekitar hubungan antara tuan tanah dan penggarap atau buruh tani.

2.      Multikausalitas   
Teori kausalitas yang kedua adalah multikausalitas, yakni menjelaskan suatu peristiwa dengan memperhatikan berbagai penyebab. Multikausalitas didasarkan pada perspektivisme, yaitu pandangan terhadap permasalahan yang mendekati dari berbagai segi atau aspek dan perspektif. Perspektivisme di sini berkaitan dengan konsep dan pendekatan sistem. Pendekatan ini beranggapan bahwa antar unsure-unsur ada saling ketergantungan serta saling berhubungan. Dalam kaitannya dengan mencari kausalitas, maka dalam hal ini lebih ditekankan adanya kausalitas dan bukan monokausalitas. Disinilah letak perbedaan antara perspektivisme dengan determinisme. 
Kemunculan multikausalitas disebabkan oleh keteidakmampuan monokausalitas dalam menjelaskan peristiwa, keadaan atau perkembangan. Sebagai contoh, penjelasan tentang Perang Dunia Pertama. Dalam teori monokausalitas, perang ini dijelaskan sebagai akibat dari ditembak matinya putra mahkota Kerajaan Austria di Sarajevo pada tahun 1914. Multikausalitas tidak puas dengan penjelasan yang menempatkan penembakan putra mahkota Kerajaan Austria itu sebagai penyebab tunggal meletusnya Perang Dunia I tersebut. Menurut teori multikausalitas bahwa Perang Dunia I disebabkan berbagai faktor menyangkut situasi hubungan internasional pada saat itu.
Multikausalitas sangat berguna untuk memahami peubahan social. Pembicaraan tentang konsep perubahan social bertolak dari butir-butir referensi sebagai berikut:
1.      Dinamika masyarakat menunjukkan pergerakan dari tingkat perkembangannya yang terdahulu ke yang kemudian, lazimnya dari yang sederhana ke yang lebih maju. Unsure-unsur mana yang berubah dan faktor-faktor apakah yang menyebabkan perubahan.
2.      Dalam berbagai teori senantiasa perubahan social mempunyai arah, yaitu dari yang sederhana bentuknya ke yang kompleks, berarti yang lebih baik fungsinya untuk menyelenggarakan proses hidupnya. Ada teori evolusi, teori kemajuan, teori Darwinisme social, teori positivis, dan lain sebagainya. Teori-teori ini masuk filsafat sejarah atau filsafat social.
3.      Dalam studi sejarah tentang perubahan social yang dikaji masalah pola-pola, struktur, dan tendensi dalam proses perubahan itu. Fokus perhatian ada pada transformasi structural serta faktor-faktor yang menyebabkannya. Apakah struktur yang sama berasal dari struktur lain yang sama pula dan apakah faktor kausalnya? Apakah struktur yang sama berasal dari kausalitas yang sama dan sebaliknya apakah kausalitas yang sama selalu menghasilkan struktur yang sama?

Sehubungan dengan tiga masalah di atas maka perlu dilakukan studi sejarah komparatif, yakni melakukan perbandingan antarperistiwa. Perlu ditekankan bahwa yang diperbandingkan bukan fakta sejarah tetapi berbagai pola, tendensi, dan strukturnya. Sejarah dengan pendekatan ilmu social mempunyai kemampuan untuk melakukan perbandingan antarperistiwa. Ada beberapa kemungkinan membuat perbandingan:
1.      Antara dua negeri dengan periode yang sama
2.      Persamaan tema atau jenis gejala sejarah
3.      Kombinasi butir pertama dan kedua.
4.      Antara dua periode yang berbeda dari satu negeri
5.      Antara dua periode yang berbeda dari dua negeri.

Sebagai contoh membandingkan antara politik kolonial Belanda di Indonesia dengan politik kolonial Inggris di India. Dalam analisisnya akan dapat diekstrapolasikan antara lain:
1.      Proses modernisasi lewat edukasi
2.      Sistem social ekonomi
3.      Komersialistik fiscal
4.      Aagraris feudal
5.      Struktur organisasi aliran inovatif
6.      Pernanan golongan inteligensia
7.      Kendala dari struktur social 
8.      Kasta etnisitas, 

Perbandigan antara Indonesia dan Indonesia juga dapat dilakukan pada tingkat keberhasilan modernisasi yang diperolehnya. Perbandingan derajat modernisasi menggunakan criteria sebagai berikut:
1.      Mobilitas social
2.      Integrasi horizontal dan vertical
3.      Produktivitas sumber daya alamiah dan social budaya
4.      Siste teknologi
5.      Struktur kekuasaan demokrasi
6.      Tingkat kesejateraan rakyat.

Kemampuan Berpikir Diakronis dan Sinkronik
Kemampuan berpikr diakronik dan sinkronik mempunyai beberapa perbedaan. Pengertian berpikir diakronis adalah kemampuan memahami peristiwa dengan melakukan penelusuran pada masa lalu. Sebagai contoh memahami Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan menelusuri perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia sejak masa penjajahan Belanda pada abad ke-17. Oleh karena itu cara berpikir diakronis sangat mementingkan proses terjadinya sebuah peristiwa.
Sementara berpikir sinkronik memahami peristiwa dengan mengabaikan aspek perkembangannya. Cara berpikir sinkronik memperluas ruang dalam suatu peristiwa. Sebagai contoh Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dijelaskan dengan menguraikan berbagai aspek, seperti aspek social, ekonomi, politik, dan hubungan internasioal. Oleh karena itu cara berpikir sinkronik sangat mementingkan struktur yang terdapat dalam setiap peristiwa.
Berpikir diakronis merrupakan cara berpikir yang khas sejarah, sementara berpikir sinkronik merupakan cara berpikir yang khas ilmu-ilmu social. Dapat disimpulkan bahwa cara berpikir sejarah itu bersifat diakronik, memanjang dalam waktu, serta memetingkan proses terjadinya sebuah peristiwa. Sedangkan cara berpikir ilmu-ilmu sosial itu bersifat sinkronik, melebar dalam ruang, serta mementingkan struktur dalam satu peristiwa.
Cara berpikir sinkronik sangat mempengaruhi kelahiran sejarah baru yang sangat dipengaruhi perkembangan imu-ilmu social. Pengaruh itu dapat digolongan ke dalam empat macam, yaitu konsep, teori, dan permasalahan.

Konsep
Bahasa latin conceptus yang berarti gagasan atau ide. Para sejarawan banyak menggunakan konsep ilmu-ilmu social. Sebagai contoh sejaawan Anhar Gonggong dalam disertasinya  tentang Kahar Muzakkar menggunakan konsep politik lokal untuk menerangkan konflik antargologan di Sulawesi Selatan. Konsep ilmu social lain yang digunakannya adalah konsep dari psykologi etnis yang terdapat dalam masyarakat Sulawesi Selatan, yaitu sirik yang berarti harga diri atau martabat.

Teori
            Bahasa Yunani theoria berarti kaidah yang mendasari suatu gejala, yang sudah melalui verifikasi. Sebagai contoh adalah karya sejarawan Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah. Ia menerangkan perang Aceh dengan teori perilaku kolektif dari ilmu social. Dalam teori itu diterangkan bahwa perilaku kolektif dapat timbul, melalui dua syarat, yaitu ketegangan structural dan keyakinan yang tersebar. Dalam kasus perang Aceh yang diteliti Ibrahim Alfian dijelaskan adanya ketegangan antara orang Aceh dengan pemerintah colonial Hindia Belanda (ketegangan structural), dan keyakinan yang tersebar di kalangan masyarakat Aceh bahwa musuh mereka adalah golongan kafir. Pertentangan antara kafir dan muslim itulah yang menghasilkan ideology perang sabil.

Permasalahan
            Dalam sejarah banyak sekali permasalahan ilmu-ilmu social yang dapat diangkat jadi topic-topik penelitian sejarah. Soal seperti mobilitas social, kriminalitas, migrasi, gerakan petani, budaya istana, kebangkitan kelas menengah dan sebagainya.  Sebagai contoh adalah karya sejarawan Sartono Kartodirdjo tentang perkembangan peradaban priyayi yang ditulis berdasarkan permasalahan elite dalam pemerintahan colonial, kemunculannya, lambang-lambangnya, dan perubahan-perubahannya.


Selasa, 16 Agustus 2016

Kerajaan-kerajaan Besar Hindu Budha Di Nusantara


 KERAJAAN-KERAJAAN BESAR INDONESIA PADA
MASA KEKUASAAN HINDU-BUDDHA
 Dr. Hasan Djafar

I. PENDAHULUAN
Pada masa akhir Zaman Prasejarah, khususnya pada Masa Perundagian, sebagian masyarakat prasejarah di Indonesia telah memiliki kemampuan tinggi dalam pencapaian budaya. Seperti dikemukakan seorang ahli arkeologi bangsa Belanda, J.L.A. Brandes (1889) bahwa nenek moyang bangsa Indonesia sebelum dipengaruhi kebudayaan India telah memiliki 10 butir kemampuan budaya. Kesepuluh butir kemampuan budaya itu adalah: (1) wayang, (2) gamelan, (3) metrum, (4) seni batik, (5) mengolah logam, (6) sistem mata uang, (7) pelayaran, (8) perbintangan, (9) penanaman padi dengan pengairan, dan (10) sistem organisasi pemerintahan.
Dengan kemampuan budaya (local genius) seperti itu mereka dapat memanfaatkan masuknya unsur-unsur kebudayaan India yang datang sejak awal tarikh Masehi. Di lingkungan masyarakat pada masa akhir prasejarah, sedikitnya terdapat dua jenis kepemimpinan yang mempunyai peranan penting dalam penataan kehidupan masyarakat, yaitu kepemimpinan yang berkaitan dengan religi, dan kepemimpinan sekuler yang berkaitan dengan masalah kekuasaan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya kedua tokoh ini agaknya yang berperan dalam pengambilan nilai-nilai budaya luar melalui proses akulturasi, khususnya konsep kepemimpinan kekuasaan dan religi yang baru untuk diterapkan pada status dan peranan lama dalam kehidupan baru mereka.
Sistem kemasyarakatan dari India telah menumbuhkan suatu bentuk kelembagaan yang baru, yaitu bentuk institusi kekuasaan atau pemerintahan berupa kerajaan dengan sistem birokrasinya. Berdasarkan bukti-bukti arkeologi dan sejarah yang ada, bentuk kerajaan ini mempunyai landasan yang bersifat keagamaan yang bercorak Hindu dan Budha. Kerajaan-kerajaan ini telah muncul sejak awal abad ke-5 hingga menjelang akhir abad ke-16.
Pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha itulah dilakukan pembangunan candi-candi dan pembuatan arca-arca kedewataan sebagai sarana peribadatan. Pada masa itu pula kita mulai dikenal tradisi bertulis yang menandai dimulainya “Zaman Sejarah”. Tradisi bertulis dari Masa Hindu-Buddha ini mewariskan tinggalan budaya berupa prasasti dan naskah-naskah kuna.
II. KERAJAAN-KERAJAAN HINDU-BUDHA
1. Kerajaan-kerajaan Tertua
Kerajaan-kerajan yang dianggap sebagai kerajaan tertua dari masa Hindu-Budha adalah kerajaan Kutai di Kalimantan Timur dan kerajaan Tarumanagara di daerah bagian barat Pulau Jawa. Sebenarnya pada masa yang relatif bersamaan, di beberapa tempat telah ada pula bukti-bukti pengaruh kebudayaan India itu dalam bentuk fisik berupa tinggalan-tinggalan arkeologi. Namun dari tinggalan-tinggalan arkeologi.
tersebut belum dapat dipastikan adanya sistem kemasyarakatan berbentuk institusi kerajaan baik Hindu mau pun Budha seperti yang ada di Kotakapur, Pulau Bangka.
1.1. Kerajaan Kutai
Di daerah Kutai, Kalimantan Timur ditemukan tujuh prasasti yang dipahatkan pada tugu atau tiang batu yang disebut yupa. Prasasti ini dituliskan dengan aksara Palawa dan berbahasa Sanskerta. Berdasarkan bentuk aksaranya, prasasti ini berasal dari awal abad ke-5, yaitu sekitar tahun 425 Masehi.
Secara keseluruhan isi prasasti tersebut menyebutkan seorang raja bernama Mulawarman, anak Aswawarman dan cucu Sri Maharaja Kundungga, yang memerintahkan penyelenggaraan upacara keagamaan bercorak Hindu. Pada upacara tersebut raja telah memberikan sedekah untuk para Brahmana.
Sampai kapan kerajaan Hindu di daerah Kutai ini berkembang tidak dapat kita ketahui dengan pasti karena ketiadaan sumber-sumbernya. Namun demikian dari masa-masa yang lebih muda, kita mendapatkan tinggalan-tinggalan arkeologi berupa arca-arca Hindu di gua Gunung Kombeng yang diperkirakan berasal dari abad ke-9/ke-9, dan arca Budha perunggu yang memperlihatkan gaya seni Gandhara di Kotabangun, Kalimantan Timur.
1.2. Kerajaan Tarumangara
Tidak berselang lama setelah munculnya kerajaan Hindu di daerah Kutai, di Jawa bagian Barat, terdapat pula sebuah kerajaan Hindu. Kerajaan ini meninggalkan tujuh buah prasasti batu, yaitu:
1. Prasasti Tugu (ditemukan di desa Tugu dekat Tanjung Priuk, Jakarta),
2. Prasasti Pasir Awi,
3. Prasasti Ciaruteun,
4. Prasasti Kebonkopi,
5. Prasasti Jambu,
6. Prasasti Muara Cianten (dari daerah Bogor)
7. Prasasti Cidanghyang (dari daerah Banten).

Namun, dari ketujuh buah prasasti tersebut hanya lima yang dapat di baca karena dua di antara yaitu prasasti Muara Cianten dan prasasti Pasir Awi tidak dipahatkan berupa tulisan melainkan berupa “gambar”.
Lima prasasti yang dapat dibaca dipahatkan dengan aksara Palawa dan berbahasa Sanskerta. Berdasarkan bentuk aksaranya prasasti-prasasti tersebut dibuat sekitar pertengahan abad ke-5 Masehi (± 450 Masehi). Dari prasasti-prasasti tersebut dapat diketahui adanya sebuah kerajaan bernama Tarumangara dengan rajanya yang bernama Purnawarman yang beragama Hindu.
Dalam prasasti Tugu disebutkan adanya pembuatan kanal untuk mengalirkan air dari sungai Candrabhaga dan sungai Gomati ke laut pada masa pemerintahan raja Purnawarman. Diduga kanal-kanal ini dibuat untuk keperluan irigasi pertanian dan penanggulangan banjir pada waktu musim hujan.
Di desa Cibuaya daerah Karawang ditemukan dua buah arca batu utuh dan sebuah pecahan arca batu yang menggambarkan tokoh Dewa Wisnu. Berdasarkan gaya seni arcanya, dapat diketahui bahwa arca-arca tersebut berasal dari masa abad ke-7 dan ke-9.
Tidak jauh dari tempat temuan arca, terdapat pula sisa-sisa reruntuhan dari sebuah kompleks percandian bata berlatar agama Hindu. Salah satu reruntuhan candi ini masih tampak di permukaan tanah dengan sebuah lingga batu terletak di bagian
tengahnya. Sisa-sisa candi lainnya sudah hampir habis, hanya tinggal bagian pondasinya saja yang masih terpendam di bawah permukaan tanah sawah.
Pada tahun 1984 di Batujaya, Karawang, sekitar 20 km di sebelah barat dari Cibuaya, ditemukan pula sebuah kawasan situs arkeologi seluas 5 km² yang merupakan situs-situs dari masa akhir Prasejarah hingga masa kerajaan Tarumanagara. Di kawasan situs Batujaya yang terletak di daerah aliran Citarum ini telah ditemukan lebih dari 30 reruntuhan percandian bata yang berlatarkan agama Budha Mahayana. Sebagian besar dari situs-situs ini telah digali (diekskavasi), dan dua di antara candi-candi yang ditemukan sudah dipugar kembali. Pada reruntuhan bangunan candi ini ditemukan prasasti-prasasti beraksara Palawa dan berbahasa Sanskerta yang digoreskan pada bata, lempengan emas, terakota, yang berisi ayat-ayat suci agama Buddha Mahayana tentang ajaran karmma.
Berdasarkan bentuk aksaranya, yaitu aksara Palawa yang lebih muda dari aksara Palawa yang digunakan pada prasasti-prasasti Purnawarman, maka prasasti-prasasti Batujaya ini diperkiran dari masa sekitar abad ke-7 dan ke-8. Selain itu ditemukan pula meterai-meterai terakota yang bergambar relief Buddha dan sejumlah arca-arca kepala yang yang terbuat dari bahan stuko (adukan semen kapur) yang menggambarkan tokoh-tokoh kedewataan maupun kepala binatang seperti singha dan serigala. Melalui analisis sisa arang (analisis C14) dari kulit padi yang terdapat sebagai campuran tanah liat dalam pembuatan bata candi, diperoleh pertanggalan untuk kompleks percandian Batujaya antara 680 hingga 900 Masehi. Kompleks percandian di Batujaya ini mengenal penggunaan lepa stuko (wajralepa) sebagai pelapis permukaan candi, dan penggunaan beton stuko untuk melapisi lantai bangunan maupun halaman di sekeliling candi, dan konstruksi bagian atas candi yang berbentuk stupa.
Berkembangnya agama Budha Mahayana di Tarumanagara, yang semula beragama Hindu, agaknya disebabkan pula karena invasi Sriwijaya ke Tarumanagara menjelang akhir abad ke-7. Pada bagian akhir prasasti penaklukan Kotakapur, Bangka, oleh Sriwijaya dari tahun 608 Saka (= 686 Masehi) dituliskan pula bahwa “Sriwijaya sangat berkeinginan untuk menaklukkan Bhumijawa (= Tarumanagara) yang tidak tunduk kepada Sriwijaya”.
Kerajaan Sriwijaya pada waktu itu dikenal sebagai kerajaan maritim yang berperan pula sebagai pusat penyiaran agama Buddha Mahayana dan mempunyai hubungan erat dengan pusat penyiaran agama Budha Mahayana di Nalanda, India. Invasi Sriwijaya ke Tarumanagara telah membawa pengaruh dalam persebaran agama Budha Mahayana dan gaya kesenian dari Nalanda yang diterapkan di kompleks percandian Batujaya.
2. Kerajaan-kerajaan di Sumatra
2.1. Kerajaan Tulangbawang
Berita Tionghoa yang berasal dari masa Kekaisaran Liu Sung (420-479) menyebutkan bahwa pada tahun 449 sebuah kerajaan di Sumatra bagian selatan yang bernama P’u-huang atau P’o-huang mengirimkan utusan dan persembahan ke Tionkok. Disebutkan pula bahwa kerajaan P’o-huang menghasilkan lebih dari 41 jenis barang yang didagangkan ke Tiongkok. Hubungan diplomatik antara P’o-huang dan Tiongkok ini berlangsung terus hingga abad ke-6. 4

Berita Tionghoa lainnya dari masa 976-983 masih menyebutkan adanya sebuah kerajaan bernama To-lang-p’o-huang. Para akhli mengidentifikasikan P’o-huang atau To-lang-p’o-huang ini dengan kerajaan Tulangbawang, yang diduga terletak di daerah Lampung. Di daerah provinsi Lampung kini masih ada desa bernama Bawang (Umbul Bawang) dan bahkan sebuah sungai yang bernama Tulangbawang. Tidak jauh dari desa Bawang pada tahun 1912 telah ditemukan prasasti batu Hujunglangit dari tahun 997, dan sekitar tahun 2002 tidak jauh dari prasasti tersebut ditemukan pula tiga prasasti lainnya.
2.2 Kerajaan Sriwijaya
Sejumlah prasasti yang ditemukan di daerah Palembang, Karangbrahi (Jambi), Kotakapur (Bangka), dan Lampung yang berasal dari masa sekitar pertengahan abad ke-7, memberitakan kehadiran sebuah kerajaan bernama Sriwijaya. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dengan aksara Palawa dan berbahasa Malayu Kuna. Salah satu prasasti tersebut yang ditemukan di Kedukanbukit, Palembang, menyebutkan tentang perjalanan untuk mencapai kemenangan (mangalap siddhayatra) yang dilakukan oleh Dapunta Hyang dengan berperahu pada tanggal 11 paro-terang (suklapaksa) bulan Waisaka, tahun 604 Saka (= 23 April 682). Pada tanggal 7 paro-terang bulan Jyestha (= 19 Mei 682) Dapunta Hyang berangkat dari Minanga membawa dua laksa dan 200 peti perbekalan dengan perahu, dan 1312 tentara berjalan darat, datang di suatu tempat bernama Mukha-Upang. Pada tanggal 5 paro-terang bulan Asadha (= 16 Juni 682) sampailah di suatu tempat membuat kota (wanua). Kerajaan Sriwijaya memperoleh kemenangan dan perjalanannya berhasil.
Berdasarkan isinya prasasti Kedukanbukit memperingati usaha penaklukan daerah sekitar Palembang dan pendirian sebuah ibukota baru Sriwijaya oleh Dapunta Hyang. Prasasti-prasasti Sriwijaya yang lain umumnya merupakan prasasti permakluman tentang kemenangan Sriwijaya atas daerah-daerah di bagian selatan Sumatra yang ditaklukkannya. Hampir semua prasasti tersebut diahiri dengan kutukan-kutukan dan persumpahan bagi siapa saja yang melakukan kejahatan dan tidak taat kepada perintah raja.
Mengenai tempat asal Sriwijaya terdapat beberapa penafsiran yang dikemukakan oleh para ahli. Sebagian di antaranya berpendapat bahwa kerajaan Sriwijaya berasal dari Minanga di daerah Minangkabau, yaitu di dekat daerah pertemuan antara sungai Kampar Kiri dan sungai Kampar Kanan. Dari tempat asalnya itu kemudian Sriwijaya mengadakan penaklukan ke daerah selatan dan akhirnya mendirikan ibukota baru di daerah Palembang.
Prasasti Sriwijaya yang berupa fragmen dan prasasti-prasasti pendek, umumnya berisi keterangan tentang perjalanan kemenangan (jaya siddhayatra) dan peperangan serta keterangan mengenai ajaran agama Buddha Mahayana dan beberapa sekte agama Buddha. Sebuah fragmen prasasti yang berasal dari Telagabatu, dekat Palembang menyebutkan pula pendirian sebuah wihara.
Beralihnya pusat kekuasaan Sriwijaya ke daerah pantai timur Sumatra bagian selatan itu agaknya berkaitan dengan penguasaan daerah perdagangan dan jalur pelayaran melalui Selat Malaka dan Selat Bangka. Prasasti Ligor, Malaysia, yang berangka tahun 775 menyebutkan seorang raja Sriwijaya bernama Wisnu, dan pendirian sebuah bangunan suci untuk pemujaan Padmapatni, Sakyamuni dan Wajrapani. Di Nalanda ditemukan pula sebuah prasasti dari pertengahan abad ke-9 yang isinya menyebutkan tentang pendirian sebuah wihara oleh Balaputradewa raja dari Suwarnabhumi (Sriwijaya). Prasasti ini dikeluarkan oleh raja Dewapaladewa. 5

Berita-berita Tionghoa dari abad ke-11 masih menunjukkan peranan kerajaan Sriwijaya sebagai pusat penyiaran agama Buddha. Raja Sriwijaya pada waktu itu ialah Sri Culamaniwarman, mengadakan persahabatan dengan kerajaan Cola. Dalam prasasti Leiden dari tahun 1005/1006 disebutkan raja Culamaniwarman dari Sriwijaya mendirikan sebuah bangunan suci agama Buddha di Nagapattinam dengan bantuan raja Cola, Rajaraja I. Bangunan ini dinamakan Culamaniwarmawihara. Hubungan dengan Cola ini kemudian terputus karena pada tahun 1017 Rajendracoladewa mengadakan penyerangan ke Sriwijaya. Penyerangan dari Cola ke Sriwijaya ini terjadi lagi pada tahun 1025 seperti disebutkan dalam prasasti Tanjore dari Rajendracola tahun 1030. Dalam penyerangan kedua ini raja Sriwijaya Sri Sanggramawijayottunggawarman ditawan oleh bala tentara Cola.
Dalam sejarah Dinasti Sung disebutkan bahwa pada tahun 1028 datang utusan dari Sriwijaya. Utusan dari Sriwijaya yang tercatat dalam sejarah dinasti Sung yang terakhir ialah pada tahun 1178. Untuk beberapa lamanya tidak ada catatan tentang utusan Sriwijaya dalam kitab-kitab sejarah Tiongkok.
Sekitar permulaan abad ke-13 Sriwijaya (San-fo-tsi) muncul kembali sebagai kerajaan yang kuat dan berkembang menjadi pusat perdagangan dan pelayaran. Namun berita Tionghoa dari jaman dinasti Ming menyebutkan bahwa pada tahun 1376 kerajaan San-bo-tsai (San-fo-tsi) ditaklukkan oleh kerajaan Jawa dan akhirnya runtuh. Dengan keruntuhannya ini daerah-daerah yang tadinya berada dalam kekuasaan Sriwijaya melepaskan diri.
2.3. Kerajaan Malayu
Berita Tionghoa dari sekitar pertengahan abad abad ke-7 telah menyebutkan adanya kerajaan bernama Mo-lo-yue yang telah mengirimkan utusannya ke Tiongkok. Menurut para ahli Mo-lo-yue adalah Malayu, sebuah kerajaan yang berlokasi di daearah Jambi. Kerajaan ini telah ada ketika Sriwijaya berdiri di daerah Palembang. Kerajaan Malayu ini disebutkan pula dalam kisah perjalanan yang ditulis oleh pendeta Buddhis Tionghoa, I-tsing. Dari Kanton menuju India pada tahun 671, ia singgah di Sriwijaya selama 6 bulan untuk mempelajari bahasa Sanskerta. Setelah itu pergi ke Malayu dan singgah selama dua bulan sebelum meneruskan perjalanannya menuju India. I-tsing tinggal selama sepuluh tahun di pusat pendidikan tinggi agama Buddha di Nalanda. Ketika kembali ke Tiongkok dari Nalanda pada tahun 685 ia singah di Sriwijaya untuk menerjemahkan kitab-kitab suci agama Buddha. Setelah 4 tahun tinggal di Sriwijaya, pada tahun 689 ia kembali ke Tiongkok untuk membawa 4 orang pembantunya menyelesaikan penerjemahan kitab suci agama Buddha. Ketika I-tsing datang kembali ke Sriwijaya, Malayu telah diduduki oleh Sriwijaya. Ia kembali ke negerinya pada tahun 695.
Dari pemberitaan I-tsing tersebut dapat disimpulkan bahwa kerajaan Malayu antara tahun 689 hingga 690 dkuasai Sriwijaya. Sejak masa itu kita tidak memperoleh pemberitaan tentang kerajaan Malayu hingga sektar abad ke-13. Baru pada tahun 1286 terdapat pemberitaan tentang kehadiran kerajaan Malayu di Sumatra bagian utara, yaitu dari kitab Pararaton dan Nagarakertagama. Di dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa pada tahun 1208 Saka atau 1286 Masehi raja Kertanagara dari Singhasari mengirimkan sebuah ekspedisi perutusan ke Malayu (Pamalayu).
Ekspedisi ke Malayu ini dimaksudkan untuk menjalin hubungan persahabatan dengan Malayu dalam rangka membendung arus pengaruh ekspansi kerajaan Mongol dari Tiongkok yang dilancarkan oleh Kubhilai Khan untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara. Untuk mempererat hubungan 6

persahabatan antara Singhasari dan Malayu ini kemudian raja Kertanagara mengirimkan pula sebuah arca Buddha Amoghapasa ke Malayu untuk ditempatkan di Dharmmasraya. Bagian alas arca tersebut ditulisi prasasti beraksara Jawa Kuna dengan bahasa Malayu kuna dan Sanskerta. Isinya menyebutkan bahwa pada tahun 1208 Saka (= 1286 Masehi) sebuah arca Amoghapsa dengan empatbelas pengiringnya dan saptaratna dibawa dari Bhumijawa ke Suwarnabhumi untuk ditempatkan di Dharmmasraya sebagai punya Sri Wiswarupakumara. Pengiriman arca tersebut diiringi oleh empat pembesar kerajaan. Selanjutnya disebutkan pula seluruh rakyat Malayu sangat bersuka cita terutama rajanya Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa. Di bagian belakang arca ini kemudian pada tahun 1347 dituliskan sebuah prasasti beraksara Jawa Kuna dan berbahasa Sanskerta dari Sri Maharaja Srimat Sri Udaya Adityawarman. Prasasti ini menyebutkan pula beberapa hal di antaranya tentang penyelengaraan upacara yang bercorak tantrik, pendirian arca Buddha dengan nama Gaganaganja dan pemujaan kepada Jina.
Prasasti-prasasti kerajaan Malayu yang ditemukan tersebar di Sumatra Barat pada pertengahan abad ke-14 menyebutkan adityawarman memerintah di Kanakamedini (Pulau Emas). Nama Adityawarman disebutkan pula pada sebuah arca Manjusri dari Candi Jago, Jawa Timur. Prasasti ini menyebutkan tentang penempatan arca Manjusri ditempat pendharmaan Jina oleh Adityawarman. Adityawarman membangun pula sebuah candi Buddha di Bumi Jawa dengan tujuan untuk memuliakan orang tua dan kerabatnya, pada tahun 1265 Saka (= 1343/1344 Masehi). Ketika Adityawarman belum menjadi raja di Malayu, ia menduduki jabatan sebgai Werdhamantri di Majapahit dengan gelar Arya Dewaraja pu Aditya. Pada tahun 1347 setelah Adityawarman berhasil menaklukkan daerah-daerah di sekitarnya ia mengangkat dirinya sebagai maharajadiraja dengan delar Adityawarmmodaya Pratapaparakramarajendra Mauliwarmadewa. Ia memerintah sampai tahun 1375 dan kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Ananggawarman. Sampai kapan Ananggawarman memerintah tidak dapat diketahui. Berita Tionghoa menyebutkan hubungan terakhir dengan kerajaan Malayu pada tahun 1377. Sejak itu tidak ada hubungan diplomatik antara kerajaan Malayu dengan Tiongkok. Agaknya setelah itu kerajaan Malayu mengalami kemunduran, dan berakhit sekitar akhir abad ke-14.
3. Kerajaan Mataram
3.1. Kerajaan Mataram di Jawa Tengah: Dinasti Sailendra (Śailendrawangśa)
Sejak pertengahan abad ke-7 di Jawa Tengah telah muncul sebuah kerajaan yang berlatarkan keagamaan Hindu dan Buddha. Kerajaan ini diperintah oleh raja-raja dari dinasti Sailendra (Śailendrawangśa). Di dalam prasasti Sojomerto dari daerah Batang, Pekalongan, yang berasal dari pertengahan abad ke-7 disebutkan seorang tokoh bernama Dapunta Selendra yang menganut agama Siwa.Tokoh ini dianaggap sebagai cikal-bakal pendiri dinasti (wangśakara) Sailendra.
Dari sumber-sumber prasasti diketahui bahwa kerajaan dinasti Sailendra itu bernama Mataram dan ibukotanya disebut Medang, sedangkan sumber-sumber Tionghoa dari zaman dinasti T’ang (618-906) menyebutnya Ho-ling yang berlangsung sampai tahun 818, dan kemudian menyebutnya dengan nama She-p’o sampai tahun 856. Menurut berita Tionghoa tersebut pada tahun 674 rakyat kerajaan tersebut menobatkan seorang wanita bernama Simo (Hsi-imo) menjadi raja. 7

Pada masa pemerintahan Simo di Holing telah ada seorang pendeta Buddha yang terkenal bernama Jnanabhadra yang membantu pendeta Tionghoa bernama Hwi-ning menerjemahkakitab suci agama Buddha dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Tionghoa. Siapa yang menggantika ratu Simo tidak diketahui dengan pasti. Namun berdasarkan keterangan yang terdapat dalam prasasti Canggal yang dikeluarkan oleh raja Sanjaya pada tahun 732, menyebutkan raja Sanna yang kemudian digantikan oleh saudara perempuannya yang bernama Sannaha. Pengganti Sannaha ialah anaknya yang bernama Sanjaya.
Sanjaya memerintah sejak tahun 717. Di dalam prasasti Mantyasih yang dikeluarkan oleh raja Dyah Balitung pada tahun 907 Sanjaya disebutkan ralam urutan pertama raja-raja Mataram dengan nama Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Pada tahun 732 ia mendirikan sebuah bangunan untuk pemujaan lingga di Gunung Wukir.
Selanjutnya Sanjaya digantikan oleh anaknya, Rakai Panangkaran Dyah Sangkhara, pada tahun 746. Raja ini semula menganut agama Hindu (Siwa) tetapi kemudian beralih menjadi penganut agama Buddha. Dialah yang mendirikan bangunan suci agama Buddha untuk pemujaan Dewi Tara (Tarābhāvanam) di Klasan pada tahun 778, candi Sewu (Mañjuśrigṛha) pada tahun 782, dan candi Plaosan Lor yang melambangkan kesatuan kerajaan Mataram. Ia pun membangun pula sebuah wihara di Bukit Ratu Baka yang diberi nama Abhayagiriwihara yang diresmikan pada tahun 792.
Rakai Pangkaran digantikan oleh anaknya, Samaratungga yang memerintah sekitar tahun 792-847. Samaratungga mempunyai seorang anak perempuan bernama Pramodawarddhani, yang telah mendirikan sebuah bangunan suci agama Buddha yang diberi nama Srimad Wenuwana dan mentahbiskan arca Gananatha di dalamnya pada tahun 824, seperti disebutkan di dalam prasasti Kayumwungan. Anaknya yang kedua yang lahir dari permaisurinya yang lain bernama Balaputradewa.
Pramodawarddhani kemudian dikawinkan dengan Rakai Pikatan, anak Rakai Patapan pu Palar yang menganut agama Siwa. Setelah Samaratungga meninggal atau mengundurkan diri dari pemerintahan, Rakai Patapan menggantikannya menjadi raja Mataram. Pada masa pemerintahannya Rakai Pikatan mendirikan candi kerajaan yang berlatarkan agama Siwa, yaitu percandian Lara Jonggrang (Śiwagrha), di Prambanan, seperti disebutkan didalam prasasti Siwagrha tahun 856.
Rakai Pikatan digantikan oleh anaknya, Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala pada tahun 856, dan berkedudukan di ibukota Mdang di Mamratipura. Ia memerintah sampai tahun 883. Sebenarnya Rakai Pikatan mempunyai seorang anak perempuan tertua, yaitu Rakai Gurunwangi Dyah Saladu yang dijadikan putri mahkota. Tetapi ia baru menjadi raja setelah adiknya, Rakai Kayuwangi. Rakai Gurunwangi disebutkan dalama prasasti Munguantan tahun 887 sebagai Sri Maharaja. Sementara itu dari prasasti Panunggalan tahun 896 kita mengenal seorang tokoh bernama Rakai Watuhumalang dan dari prasasti Pohdulur tahun 890 kita mengenal pula tokoh yang bernama Sri Maharaja Rake Limus Dyah Dewindra.
Raja Mataram selanjutnya ialah rakai Watukura Dyah Balitung yang memerintah sekitar tahun 899-991. Pada masa pemerintahannya ia meluaskan kekuasaannya sampai ke Jawa timur. Penggantinya ialah Sri Daksottama Bahubajra Pratipaksasaya. Ia bukanlah anak Dyah Balitung.
Di dalam berita Tionghoa dari zaman dinasti Sung ia disebut Ta-tso-kan-hiung. Untuk menunjukkan bahwa ia adalah pewaris yang sah dari kerajaann Mataram, ia menghubungkan dirinya dengan raja Sanjaya dan menggunakan tarikh 8

Sanjaya dalam prasastinya, yaitu prasasti Tajigunung tahun 194 Sanjayawarsa (= 910 Masehi) dan prasasti Timbananwungkal tahun 196 Sanjayawarsa (= 913 Masehi). Sampai kapan ia memerintah tidak diketahui dengan pasti, tetapi prasastinya yang terakhir dari masa pemerintahannya berasal dari tahun 915, yaitu prasasti Sugihmanek.
Pengganti Watukara Dyah Balitung ialah Rakai Layang Dyah Tulodhong yang mengeluarkan prasastinya yang pertama ialah prasasti Lintakan pada tahun 919. Sampai kapan Dyah Tulodhong memerintah tidak diketahui. Dari Masa pemerintahan Dyah Tulodhong terdapat pula sebuah prasasti yaitu prassti Wintangmas yang dikeluarkan oleh Rakryan Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya dari tahun 919. Berdasarkan gelar jabatannya ia adalah orang kedua setelah raja, dan biasanya jabatan tersebut diduduki oleh putra mahkota yang akan menjadi raja sebagai pewaris atas takhta kerajaan Mataram. Namun kita tidak pernah menemukan prasasti lain yang dikeluarkan oleh Rakryan Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya sampai munculnya prasasti Wulakan dari Sri Maharaja Dyah Wawa tahun 928.
Dalam prasasti Wulakan tahun 928 muncul seorang raja yang bernama Rakai Sumba Dyah Wawa, yang menyebut dirinya anak kryan landheyan sang lumah ring alas. Kryan Landheyan adalah tokoh yang disebutkan dalam prasasti Wuatantija tahun 880 dengan nama Rakryan Landheyan, yaitu adik ipar raja Rakai Kayuwangi. Jadi jelaslah bahwa Dyah Wawa adalah anak Rakryan Landheyan, dan bukan anak Dyah Tulodhong raja pendahulunya. Pergantian kekuasaan dari Dyah Tulodhong ke Dyah Wawa menimbulkan berbagai dugaan, di antaranya kemungkinan adanya perebutan kekuasaan dari tangan putra mahkota Rakryan Mapatih i Hino Pu Ketuwijaya oleh Dyah Wawa.
Masa pemerintahan Rakai Sumba Dyah Wawa berlangsung tidak lama. Masa pemerintahannya diduga berakhir karena bencana alam yang sangat dahsyat akibat letusan gunung Merapi. Bencana alam ini mungkin merusakkan ibukota Medang dan menghancurkan sebagian besar wilayah Mataram sehingga dianggap sebagai pralaya.
Masa pemerintahan Dyah Wawa agaknya berakhir pada tahun 928 atau awal tahun 929, karena tidak lama setelah itu Sri Maharaja Rake Hino Pu Sindok tampil sebagai penguasa baru di kerajaan Mataram seperti disebutkan dalam prasasti Gulung-gulung tahun 929. Pu Sindok adalah orang yang memang mempunyai hak atas takhta kerajaan Mataram. Ketika Rake Pangkaja Dyah Wawa menjadi raja Mataram, Pu Sindok berkedudukan sebagai Rakryan Mapatih i Hino, suatu jabatan yang biasanya diduduki oleh putra mahkota yang akan mewarisi takhta kerajaan.
3.2. Kerajaan Mataram di Jawa Timur: Dinasti Isyana (Īśānawangśa)
Sejak masa pemerintahan Pu Sindok pusat kerajaan Mataram telah dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Ia membangun kembali kerajaan Mataram dan mendirikan kedatonnya di ibukotanya yang baru di Tamwlang, seperti disebutkan dalam prasasti Turyyan tahun 929. Perpindahan ibukota dari Jawa Tengah ke Jawa T
imur itu dilakukan karena keadaan ibukota dan wilayah kerajaan Mataram di Jawa Tengah mengalami kehancuran (pralaya) akibat bencana alam dari letusan gunung Merapi yang sangat dahsyat.
Sesuai dengan landasan kosmogoni, maka kerajaan Mataram di Jawa Timur itu dianggap sebagai dunia baru yang dibangun dengan ibukota dan kadaton baru, tempat pemujaan yang baru dan diperintah oleh wangsa yang baru pula. Maka walaupun sebenarnya Pu Sindok masih anggota wangsa Sailendra dan kerajaannya di 9

Jawa Timur itu masih kerajaan Mataram, ia merupakan pendiri wangsa baru, yaitu wangsa Isyana (Īśānawangśa). Dalam prasasti-prasastinya ia disebutkan bergelar Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isyanawikrama Dharmmottunggadewa yang memerintah pada tahun 929-948.
Pu Sindok digantikan oleh anak perempuannya yang bernama Sri Isyana Tunggawijaya yang bersuamikan Sri Lokapala. Sampai kapan ia memerintah tidak diketahui dengan pasti. Sepeninggalnya ia digantikan oleh anaknya yang bernama Sri Makutawangsawarddhana. Ia mempunyai seorang anak perempuan bernama Sri Mahendradatta Gunapriyadharmmapatni yang bersuamikan Sri Dharmma Udayana, seorang raja Bali, dan seorang anak laki-laki bernama Sri Dharmmawangsa Tguh.
Dari perkawinan Mahendradatta dengan Udayana lahirlah di antaranya seorang anak bernama Airlangga. Sri Makutawangsawarddhana kemudian digantikan oleh Sri Dharmmawangsa Tguh, yang memerintah sekitar tahun 991-1017. Masa pemerintahannya berakhir dengan tragis, mengalami keruntuhan karena serangan seorang raja bawahannya.
Di dalam prasasti Pucangan dari raja Airlangga tahun 1041, disebutkan bahwa penyerangan itu dilakukan oleh raja Wurawari dari Lwaram pada tahun 1017 tidak lama setelah perkawinan putri Dharmmawangsa Tguh dengan Airlangga. Dalam serangan itu raja Dharmmawangsa Tguh gugur bersama para pembesar kerajaan. Dharmmawangsa Airlangga bersama pengiringnya dapat menyelamatkan diri dari serangan musuh dan mengungsi ke hutan di lereng gunung di lingkungan para pertapa. Pada tahun 1019 ia direstui oleh para pendeta Siwa, Buddha dan Mahabrahmana sebagai raja dengan gelar Rake Halu Sri Lokeswara Dharmmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa.
Masa pemerintahan raja Airlangga dipenuhi dengan peperangan menaklukkan kembali raja-raja bawahan. Pada masa pemerintahannya raja Airlangga berusaha pula untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, dengan membangun sarana keairan untuk meningkatkan perekonomian di antaranya dengan membangun waduk, kanal, bendungan dan tanggul. Dari permaisurinya Airlangga mempunyai empat orang anak. Anak yang tertua seorang perempuan benama Sri Sanggramawijaya-uttunggadewi. Ia ditahbiskan menjadi putri mahkota, namun kemudian melepaskan kedudukannya dan memilih menjadi seorang pertapa (bhiksuni).
4. Kerajaan Janggala, Pangjalu, dan Kadiri
4.2. Kerajaan Janggala dan Pangjalu
Pada masa akhir pemerintahan raja Airlangga muncul seorang tokoh bernama Samarawijaya yang diduga anak raja Dharmmawangsa Tguh, yang rupanya dapat menyelamatkan diri ketika terjadi serangan raja Wurawari. Ia menuntut haknya atas takhta kerajaan Matara dari raja Airlangga. Untuk menghindari pertentangan keluarga, Airlangga kemudian membagi kerajaannya menjadi dua bagian. Pembagian kerajaan Mataram menjadi dua ini terjadi sekitar tahun 1042. Samarawijaya sebagai pewaris yang sah dari raja Dharmmawangsa Tguh memperoleh sebagian kerajaan yang diberi nama Pangjalu dengan ibukotanya Dahanapura. Sebagian daerah kerajaan lainnya yang dinamai Janggala dengan ibukotanya Kahuripan diserahkan kepada anak-anak Airlangga.
Di dalam Kakawan Nagarakertagama dari zaman Majapahit disebutkan pembagian kerajaan Airlangga menjadi dua kerajaan ini dilakukan oleh Pu Bharada, 10

seorang pendeta Buddha Mahayana aliran Tantra. Selain itu pembagian kerajaan tersebut disebutkan pula dalam prasasti Turunhyang tahun 1044. Akan tetapi pembagian kerajaan Mataram menjadi dua bagian ini tidak dapat menghindarkan terjadinya peperangan antara kedua belah pihak yang ingin saling menguasai seluruh wilayah kerajaan.
Dari prasasti-prasasti yang berasal dari masa sekitar pertengahan abad ke-11 kita mengenal nama raja-raja yang memerintah di Pangjalu dan Janggala. Raja-raja tersebt adalah: Mapanji Garasakan, raja Janggala, yang disebutkan dalam prasasti Turunhyang B tahun1044 dan prasasti Malenga tahun 1052; Mapanji Alanjung Ahyes yang berkuasa di Pangjalu (1052-1059), yang disebutkan dalam prasasti Banjaran; dan Samarotsaha yang berkuasa di Janggala sejak tahun 1059 seperti disebutkan dalam prasasti Sumengka tahun 1059. Mapanji Garasakan dan Mapanji Alanjung Ahyes adalah anak-anak raja Airlangga adik Sanggramawijaya, sedangkan Samarotsaha adalah menantu raja Airlangga.
Setelah raja-raja tersebut kita tidak mempunyai sumber-sumber sejarah yang dapat menjelaskan keadaan sesudahnya di kedua kerajaan tersebut. Masa itu merupakan masa kegelapan sejarah kerajaan-kerajaan Janggala dan Pangjalu.
3.2. Kerajaan Kadiri
Setelah kurang-lebih 60 tahun lamanya masa kegelapan menyelimuti kerajaan bekas kekuasaan raja Airlangga yang dibagi dua menjadi Janggala dan Pangjalu, akhirnya di Jawa Timur sejak tahun 1117 muncul sebuah kerajaan baru bernama Kadiri dengan ibukotanya Daha. Kemunculan kerajaan baru ini diketahui dari prasasti Padlegan tahun 1117 yang dikeluarkan oleh seorang raja yang menamakan dirinya Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara Sakalabhuwanatustikarana Sarwwani-waryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa.
Berdasarkan keterangan dalam prasasti Padlegan diketahui bahwa rakyat desa Padlegan dengan perantaraan Sang Juru Pangjalu, Mapanji Tutus ing Rat, memohon kepada Sri Maharaja agar desa Padlegan ditetapkan sebagai sima swatantra. Karena rakyatnya telah berjasa kepada raja dengan memperlihatkan kebaktiannya mempertaruhkan jiwa raganya agar raja memperoleh kemenangan di dalam peperangan, maka permohonan itu dikabulkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kerajaan Kadiri ini merupakan kelanjutan dari kerajaan Pangjalu yang telah berhasil mengalahkan kerajaan Janggala dan mempersatukannya kembali dalam kerajaan baru yang dinamai Kadiri.
Dari prasasti-prasasti yang berasal dari masa kerajaan Kadiri, kita mengetahui dalam masa perkembangannya sekitar 45 tahun, dari tahun ±1117 hingga tahun 1222, kerajaan ini diperintah oleh 7 orang raja. Ketujuh orang raja Kadiri tersebut ialah:
(1) Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara (± 1117-1130).
(2) Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya (± 1135-1157).
(3) Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarwweswara(± 1159-1161).
(4) Sri Maharaja Rakai Hino Sri Aryyeswara (± 1169-1171).
(5) Sri Maharaja Sri Kroncaryyadipa(± 1181).
(6) Sri Maharaja Sri Kameswara(± 1182-1185).
(7) Sri Maharaja Srengga Kertajaya (± 1186-1222).
Di antara raja-raja tersebut yang sangat dikenal selain raja Sri Bameswara, karena ia merupakan raja pertama dari kerajaan Kadiri, ialah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya dan raja terakhir yang bernama Sri Maharaja Srengga Kertajaya. Raja 11

Jayabhaya mengeluarkan pula beberapa prasasti, di antaranya prasasti Hantang tahun 1135, yang merupakan keputusan raja Jayabhaya tentang penetapan desa Hantang menjadi sima karena jasa-jasa dan kesetiaannya kepada raja ketika adanya perang perebutan takhta. Prasastinya beraksara Jawa Kuna kuadrat dan bercap kerajaan berupa Narasingha dengan tulisan “Pangjalu Jayati”, yang artinya “Pangjalu Menang”.
Pada masa pemerintahan raja Jayabhaya, pujangga bernama Mpu Sedah dan Mpu Panuluh telah menggubah sebuah karya sastra berupa Kakawin Bharatayuddha, yang mengisahkan perang saudara antara keluarga Kaurawa dan keluarga Pandawa memperebutkan kerajaan Hastinapura. Raja Jayabhaya memerintah sekitar 20 tahun lamanya.
Raja terakhir yang memerintah di kerajaan Kadiri ialah raja Srengga Kertajaya. Pertama kali namanya muncul dalam prasasti Mrewak dari tahun 1186, sebagai Sri Maharaja Jayawarsa Digwijaya Sastraprabhu. Di dalam kitab Pararaton raja Srengga Kertajaya dikenal dengan nama Raja Dangdang Gendis. Pada masa akhir pemerintahannya ia berselisih dengan para brahmana, sehingga banyak di antara mereka yang mengungsi dan minta perlindungan ke Tumapel. Ketika itu Tumapel merupakan sebuah daerah keakuwuan yang dipimpin oleh seorang akuwu yang ada dibawah kekuasaan kerajaan Kadiri.
Akuwu Tumapel pada waktu itu ialah Ken Angrok, yang menggantikan akuwu sebelumnya yaitu Tunggul Ametung yang terbunuh oleh siasat Ken Angrok. Setelah Tunggul Ametung terbunuh itulah Ken Angrok kemudian menggatikannya menjadi akuwu Tumapel, dan memperistri jandanya yang bernama Ken Dedes.
Dengan dukungan para brahmana pada tahun 1222 Ken Angrok mengadakan penyerangan ke Daha melawan raja Srengga Kertajaya. Dalam pertempuan dekat Ganter Ken Angrok mengalahkan raja Kertajaya dan kemudian menguasai selurh kerajaan Kadiri.
4. Kerajaan Singhasari dan Majapahit: Dinasti Rajasa (Rājasawangśa)
4.1. Kerajaan Singhasari
Pada tahun 1222 setelah Ken Angrok mengalahkan raja Kadiri, ia dinobatkan sebagai raja dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Bhattara Sang Amurwwabhumi, berkedudukan di ibukotanya Tumapel atau Kutaraja. Seluruh wilayah bekas kerajaan Kadiri menjadi wilayah kekuasaannya dan disebut dengan nama kerajaan Singhasari. Kemunculan tokoh Ken Angrok sebagai pendiri dan raja pertama Singhasari menandai pula lahirnya sebuah dinasti baru, yaitu Dinasti Rajasa (Rājasawangśa) atau Dinasti Girindra (Girīndrawangśa) yang menurunkan raja-raja yang memerintah di Singhasari dan Majapahit hampir 300 tahun lamanya. Tentang asal-usul Ken Angrok sejak dilahirkan di desa Pangkur, di sebelah timur gunung Kawi hingga menjadi raja, diuraikan panjang-lebar di dalam kitab Pararaton atau Katuturan ira Ken Angrok, sebuah kitab berbahasa Jawa Kuna yang ditulis pada akhir abad ke-15 pada masa akhir Majapahit.
Masa pemerintahan Ken Angrok hanya berlangsung lima tahun lamanya, tahun 1227 ia dibunuh oleh seorang pangalasan atas suruhan Anusapati, anak tirinya yaitu anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung. Sepeninggalnya ia digantikan oleh Anusapati (1227-1248).
Berita pembunuhan Ken Angrok atas suruhan Anusapati rupanya sampai pula kepada Panji Tohjaya, anak Ken Angrok dari istrinya Ken Umang. Tohjaya 12

menuntut balas atas kematian ayahnya, dan pada tahun 1248 Anusapati dibunuh oleh Tohjaya ketika keduanya sedang menyabung ayam.
Sepeninggal Anusapati, Tohjaya kemudian menjadi raja Singhasai menggantikan Anusapati. Namun, ia tidak lama memerintah karena meninggal ketika terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Rajasa dan orang-orang sinelir. Tohjaya kemudian digantikan oleh Wisnuwarddhana, anak Anusapati. Ia memerintah selama 20 tahun (1248-1268). Pada tahun 1254 ia menobatkan anaknya, Kertanagara, menjadi raja muda (yuwaraja atau kumararaja) dan menempatkannya sebagai Raja Daerah di Daha. Dalam prasasti Mula-Malurung yang dikeluarkan olehWisnuwarddhana tahun 1255, kerajaan Singhasari terdiri dari sejumlah kerajaan daerah yang masing-masing diperintah oleh seorang raja daerah. Dalam prasasti tersebut Wisnuwarddhana disebutkan dengan nama Nararyya Sminingrat dan berkedudukan di ibukota Tumapel, kerajaan daerah Daha diperintah oleh Kertanagara yang disebutkan dengan nama Nararyya Murddhaja, sedangkan kerajaan daerah Gelang-gelang diperintah oleh Turuk Bali bersama suaminya Jayakatwang.
Sepeningal Wisnuwarddhana, pada tahun 1268 Kertanagara naik tahta menjadi raja Singhasari. Di bidang politik raja Kertanagara terkenal sebagai seorang raja yang mempunyai gagasan untuk memperluas cakrawala politiknya ke luar Jawa. Pada tahun 1275 ia mengirimkan ekspedisi ke Malayu (Pamalayu) untuk menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan Malayu. Hubungan persahabatn ini kemudian disusul dengan pengiriman arca Amoghapasa pada tahun 1286 untuk ditempatkan di ibukota Malayu, di Dharmasraya.
Dalam bidang keagamaan raja Kertanagara dikenal sebagai seorang penganut agama Buddha Tantrayana dari aliran Kala-Cakra (Siwa-Bhairawa). Pada tahun 1289 ia ditahbiskan sebagai Jina dengan nama gelarnya Jnanasiwabajra. Arca pentahbisannya berupa arca Aksobhya dikenal sebagai arca Joko Dolog. Di dalam prasasti Camundi tahun 1292 disebutkan bahwa Sri Maharaja mencapai kemenangan di segala penjuru.
Hubungan persahabatan yang dijalin dengan kerajaan Malayu, serta perluasan pengaruh kekuasaan kerajaan Singhasari ke luar Jawa, dimaksudkan untuk membendung pengaruh kekuatan kaisar Mongol Khubilai Khan dari daratan Tiongkok yang ketika itu sudah bergerak ke arah asia Tenggara. Pada tahun 1292 telah datang utusan Khubilai Khan yang dipimpin oleh Meng-Chi menghadap raja Kertanagara untuk minta pengakuan tunduk terhadap Khubilai Khan. Permintaan itu ditolak oleh raja Kertanagara, bahkan salah seorang utusan Khubilai Khan yaitu Meng-Chi dilukai mukanya. Tindakan raja Kertanagara ini menyebabkan kemarahan kaisar Khubilai Khan, dan pada awal tahun 1292 berangkatlah armada Tionghoa ke Jawa untuk menghukum raja Kertanagara.
Namun, sebelum armada Tionghoa ini sampai di Jawa pada pertengahan tahun 1292, di Singhasari telah terjadi perubahan politik. Ketika itu Jayakatwang seorang raja daerah dari Gelang-gelang mengadakan penyerangan ke ibukota Singhasari. Salah seorang keponakan dan menantu raja Kertanagara, yaitu Raden Wijaya, ditunjuk oleh raja Kertanagara untuk memimpin pasukan Singhasari mengadakan perlawanan. Namun perlawanan ini tidak berhasil, pasukan Raden Wijaya akhirnya terdesak dan raja Kertanagara gugur bersama para pengiringnya di kadaton.
Setelah raja Kertanagara gugur, Singhasari berada di bawah kekuasaan raja Jayakatwang dan berakhirlah kerajaan Singhasari. Raden Wijaya bersama beberapa pengiringnya akhirnya mengungsi ke Madura. Di Madura Raden Wijaya dan 13

pengiringnya diterima oleh Arya Wiraraja, yang kemudian mengusahakan agar Raden Wijaya dapat diterima mengabdi kepada raja Jayakatwang. Raden Wijaya kemudian memperoleh kepercayaan dari raja Jayakatwang dan ketika ia minta daerah hutan Terik di tepi kali Brantas untuk dibuka menjadi desa permukiman baru raja Jayakatwang mengabulkannya.
Dengan bantuan orang-orang Madura Raden Wijaya membuka daerah hutan Terik menjadi sebuah desa permukiman dengan nama Majapahit. Di Majapahit yang baru dibuka ini Raden Wijaya mengadakan persiapan sambil menunggu waktu yang tepat untuk merebut kembali kekuasaan dari raja Jayakatwang.
5.2 Kerajaan Majapahit

Pada awal tahun 1293 datanglah bala tentara Khubilai Khan di Jawa. Kedatangan pasukan Tionghoa ini dimanfaatkan oleh Raden Wijaya. Ia mengirimkan utusan kepada pimpinan pasukan Tionghoa untuk menyatakan kesedian tunduk terhadap kekuasaan Khubilai Khan dan bersedia menggabungkan diri untuk bersama-sama menyerang Daha. Maksud Raden Wijaya ini diterima oleh pimpinan pasukan Tionghoa.
Setelah segala persiapan selesai, dimulailah penyerangan ke Daha. Penyerangan ini berhasil mengalahkan raja Jayakatwang, dan Daha dapat dikuasai oleh pasukan Tionghoa. Namun setelah kemenangan ini, dengan tipu muslihat akhirnya Raden Wijaya dengan pasukannya menyerang pasukan Tionghoa yang ada di Daha dan Canggu. Dalam penyerangan ini lebih dari 3.000 orang pasukan Tionghoa dapat dibinasakan oleh pasukan Raden Wijaya. Sisa pasukan Tionghoa akhirnya terpaksa lari meninggalkan pulau Jawa kembali ke negerinya dengan banyak kehilangan pasukan.
Setelah Raden Wijaya berhasil mengusir tentara Cina dan menguasai kembali Daha, ia dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan nama gelar penobatannya Sri Kertarajasa Jayawarddhana. Penobatan ini berlangsung pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 Saka, yang bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Tanggal penobatan ini dianggap pula sebagai hari lahirnya Kerajaan Majapahit.
Orang-orang yang telah berjasa dalam perjuangan mendirikan kerajaan Majapahit, memperoleh hadiah atau kedudukan dalam pemerintahan. Wiraraja diangkat menjadi Mantri Mahawiradikara, Pu Tambi diangkat menjadi Rakryan Mapatih, dan Pu Sora (Lembu Sora) diangkat menjadi Rakryan Apatih di Daha. Akan tetapi rupanya masih ada orang yang tidak puas dengan kedudukan itu. Hal inilah agaknya yang menjadi benih timbulnya kekacauan atau pemberontakan yang terjadi pada masa dasawarsa pertama sejarah kerajaan Majapahit. Pemberontakan itu di antaranya ialah pemberontakan Rangga Lawe (paranggalawe) yang terjadi pada tahun 1295, dan pemberontakan Sora (pasora) pada tahun 1298-1300.
Raja Kertarajasa didampingi oleh keempat isterinya, keempat putri anak raja Kertanagara, yaitu Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuwaneswari, Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, Sri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita, dan Sri Rajendradewi Dyah Dewi Gayatri. Dari parameswari Tribhuwana, Kertarajasa memperoleh seorang anak laki-laki bernama Jayanagara, yang diberi kedudukan sebagai putra mahkota. Dari istrinya Gayatri ia memperoleh dua orang anak perempuan, yaitu yang sulung bernama Tribhuwanottunggadewi Jayawisnu-warddhani yang menjadi raja daerah di Jiwana (Bhre Kahuripan), dan yang bungsu bernama Rajadewi Maharajasa yang menjadi raja daerah di Daha (Bhre Daha). 14

Raja Kertarajasa meninggal pada tahun 1309 dan dicandikan di Simping dengan arca Siwa. Sebagai penggantinya Jayanagara dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sri Sundarapandyadewa Adhi Iswara Wikramottunggadewa. Masa pemerintahannya diguncang oleh serentetan pemberontakan kelanjuta dari masa sebelumnya.
Pada tahun 1316 terjadi pemberontakan Nambi (panambi) yang dapat dipadamkan pada tahun itu juga. Pada tahun 1318 terjadi pemberontakan Semi (pasemi) yang disusul oleh pemberontakan Kuti (pakuti) pada tahun 1319. Ketika terjadi pemberontakan Kuti muncul seorang tokoh yang kemudian memegang peranan penting dalam sejarah Majapahit, yaitu Gajah Mada. Ketika itu Gajah Mada sebagai anggota pasukan pengawal raja, dengan siasatnya telah berhasil menyelamatkan raja pada peristiwa di Badander, dan Kuti dapat dibunuh. Setelah peristiwa itu Gajah Mada kemudian diangkat menjadi patih di Kahuripan, dan pada tahun 1321 kemudian diangkat menjadi patih di Daha.
Raja Jayanagara meninggal pada tahun 1328, dibunuh oleh Tanca. Sepeninggalnya ia digantikan oleh adiknya, Tribhuwanot-tunggadewi Jayawisnuwarddhani.
Pada masa pemerintahan Tribhuwanaottungga-dewi, pada tahun 1331 terjadi pemberontakan Sadeng dan Keta yang dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Setelah peristiwa itu, pada tahun 1334 Gajah Mada diangkat sebagai Patih Hamangkubhumi.
Tribhuwanottunggadewi memerintah selama 20 tahun, pada tahun 1350 ia mengundurkan diri dari pemerintahan, dan pada tahun 1372 ia meninggal. Sebagai penggantinya pada tahun 1350 anaknya, Hayam Wuruk, naik takhta menjadi raja Majapahit bergelar Sri Rajasanagara. Ia didampingi oleh Patih Hamangkubhumi Gajah Mada.
Masa pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan patih hamangkubhuminya Gajah Mada telah membawa kerajaan Majapahit pada puncak kejayaannya. Pada masa itu kerajaan Majapahit sebagai sebuah kerajaan adikuasa telah berhasil menjalin persatuan dengan daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan lain di Nusāntara (pulau-pulau lain, di luar pulau Jawa).
Menurut kitab Pararaton, pada waktu Gajah Mada diangkat sebagai Patih Hamangkubhumi ia mengucapkan Sumpah Palapa di hadapan Ratu Tribhuwanottunggadewi dan para pembesar kerajaan Majapahit. Sumpah Palapa tersebut merupakan ‘program politik’ yang merupakan ambisi Gajah Mada dalam rangka memperluas pengaruh kerajaan Majapahit di Nusantara. Kebenaran Sumpah Palapa itu diragukan, karena penaklukan Nusantara itu tidak pernah terjadi, dan Nusantara bukanlah wilayah kerajaan Majapahit.
Berdasarkan pemberitaan sumber-sumber tertulis berupa karya sastra, seperti kitab Pararaton, dan Kidung Sunda (Sundayana), pada masa keemasan Majapahit kita mengenal adanya peristiwa yang disebut Pasunda-Bubat, yaitu sebuah tragedi yang terjadi di Majapahit pada tahun 1357. Peristiwa ini tidak lain adalah peperangan antara orang-orang Sunda dan Majapahit. Namun peristiwa ini tidak dikemukakan di dalam Kakawin Nagarakertagama maupun prasasti-prasasti dari masa Hayam Wuruk mau pun dari masa sesudahnya. Demikian pula prasasti-prasasti dari masa kerajaan Sunda tidak ada satu pun yang menyebutkan peristiwa tersebut.
Hubungan antara Majapahit dan Nusantara ini tidak lain adalah hubungan regional untuk kepentingan bersama dalam bentuk persahabatan. Pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk kemakmuran kerajaan Majapahit makin meningkat. Pada masa itu arus pelayaran dan perdagangan internasional sudah 15

melanda kawasan Nusantara. Pusat-pusat perdagangan yang semula berada di pedalaman, kini telah tumbuh di daerah pasisir. Beberapa pelabuhan seperti Lasem, Tuban, Sidayu, Gresik, dan Surabhaya, telah tumbuh menjadi pelabuhan-pelabuhan yang ramai.
Majapahit jang semula merupakan kerajaan agraris, kini mulai bergeser terlibat dalam arus perdagangan internasional tersebut. sehingga berubah menjadi kerajaan agraris yang semi komersial. Majapahit berkepentingan memiliki daerah pemasaran di luar wilayahnya sendiri untuk produk agrarisnya yang melimpah.
Dari daerah-daerah di Nusantara, Majapahit berkepentingan pula untuk memperoleh hasil-hasil lokal yang dapat dijadikan komoditi perdagangan internasional. Pada masa itu perdagangan di wilayah Nusantara telah dimonopoli oleh saudagar-saudagar dari Majapahit. Mereka mengadakan hubungan perdagangan dengan Banda, Ternate, Ambon, Banjarmasin, Malaka dan Filipina.
Kakawin Nāgarakĕrtāgama pada pupuh 13-14 telah menyebutkan dengan rinci berbagai daerah di Nusāntara (Dwipāntara) yang telah menjalin hubungan kerja sama dengan Majapahit. Oleh karena itulah daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan di Nusantara tersebut dilindungi oleh Sri Maharaja Majapahit (nahan lwir ning deśāntara kacaya de śrī narapati). Hubungan kerjasama ini bahkan diperluas dengan kerajaan-kerajaan lain yang ada di daratan Asia Tenggara, seperti dengan Syangka (Siam), Ayodhyapura (Ayuthya, di Siam), Dharmanagari, Marutma (Martaban), Rajapura (Rajapuri), Singhanagari, Campa, Kamboja, dan Yawana (Annam). Hubungan ini dijalin dalam bentuk kemitraan yang saling menghormati dan berkedudukan sama (mitreka satata).
Daerah-daerah di Nusāntara dan sekitarnya itu merupakan daerah-daerah merdeka yang memiliki kedaulatan, dan bukanlah jajahan atau daerah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Majaphit sebagai kerajaan adikuasa berkewajiban melindungi daerah-daerah itu demi kelangsungan kerjasama regional yang saling menguntungkan, khususnya dalam menghadapi arus pelayaran dan perdagangan dunia yang telah melanda kawasan Asia Tenggara pada awaktu itu.
Pada tahun 1389 raja Hayam Wuruk meninggal. Ia digantikan oleh Wikramawarddhana, menantunya yang memperistri putri mahkota Kusuma-warddhani. Wikramawarddhana adalah anak Rajasaduteswari, adik perempuan raja Hayam Wuruk. Pada tahun 1400 Wikramawarddhana mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai raja Majapahit dan menyerahkan kepada anaknya, Suhita.
Pada tahun 1401 timbul persengketaan antara Wikramawarddhana dengan Bhre Wirabhumi, anak Hayam Wuruk dari istri selir. Persengketaan ini akhirnya menjadi perang saudara yang dukenal sebagai parĕgrĕg yang berlangsung berlarut-larut. Pada tahun 1447 Suhita meninggal. Kedudukannya sebagai raja Majapahit digantikan oleh adiknya, Dyah Kertawijaya yang memerintah sampai tahun 1451.
Kertawijaya meninggal pada tahun 1453 dan digantikan oleh saudaranya, Rajasawarddhana yang memerintah sampai saat meninggalnya pada tahun 1453. Sepeninggal Rajasa-warddhana, selama tiga tahun terdapat kekosongan tanpa raja (interregnum). Baru pada tahun 1456 tampil seorang anak Dyah Kertawijaya yang bernama Dyah Suryawikrama Girisawarddhana. Ia memerintah selama 10 tahun. Pada tahun 1466 ia meninggal dan digantikan oleh anaknya, Bhre Pandan Salas yang bergelar Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawarddhana.
Di dalam prasasti Pamintihan yang dikeluarkan pada tahun 1473, Dyah Suraprabhawa Sri Singhawikramawardhana disebutkan sebagai Sri Maharajadiraja “yang menjadi panji-panji atau pemimpin keturunan Raja Gunung” (śrī giripati 16

prasūta bhūpati ketubhūta). Pada tahun 1468 ia menyingkir dari kadatonnya di Majapahit karena serangan dari Bhre Kertabhumi.
Dyah Suraprabhawa kemudian meneruskan pemerintahannya di Daha sampai saat ia meninggal pada tahun 1474. Sepeninggalnya ia digantikan oleh anaknya, Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Karena ibukota Majapahit diduduki oleh Bhre Kertabhumi, ia memerintah di Keling. Pada tahun 1478 Ranawijaya mengadakan penyerangan ke Majapahit (yuddha lawaning Majapahit) untuk merebut kembali haknya atas takhta kerajaan majapahit dari tangan Bhre Kertabhumi.
Dalam penyerangan tersebut Bhre Kertabhumi gugur di kadaton. Di dalam kitab Pararaton disebutkan Bhre Kertabhumi gugur di kadaton pada tahun sunya-nora-yuganing-wong, 1400 Saka (= 1478 Masehi). Dyah Ranawijaya berhasil merebut kembali kekuasaan dari tangan Bhre Kertabhumi, sehingga seluruh kekuasaan atas kerajaan Majapahit berada di tangan Dyah Ranawijaya.
Dalam prasasti-prasastinya yang dikeluarkan pada tahun 1486 ia disebutkan sebagai Paduka Sri Maharaja Sri Wilwatiktapura Janggala-Kadiri Prabhunatha. Dengan demikian tidaklah benar Majapahit itu runtuh karena serangan Demak pada tahun sirna-ilang-kertaning-bumi, 1400 Saka (= 1478 Masehi) seperti yang disebutkan dalam kitab Serat Kanda. Tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi adalah tahun penyerangan Dyah Ranawijaya ke Majapahit untuk merebut kembali tahta kerajaan Majapahit dari tangan Bhre Kertabhumi yang telah merebutnya dari tangan Bhre Pandan Salas, ayah Dyah Ranawijaya.
Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya adalah raja Majapahit terakhir, ia memerintah dari tahun 1474 sampai tahun 1519. Pada masa pemerintahan Dyah Ranawijaya itulah Majapahit mengalami keruntuhannya karena serangan dari kerajaan Islam Demak yang dipimpin oleh Adipati Unus, anak Raden Patah, cucu Bhre Kertabhumi. Dengan berakhirnya masa pemerintahan Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya maka berakhir pulalah kekuasaan raja-raja Dinasti Rajasa (Rājasawangśa) atau Dinasti Girindra (Girīndrawangśa), yang telah berkuasa di kerajaan Singhasari dan Majapahit selama hampir 300 tahun lamanya (1222-1519).
6. Kerajaan Sunda
Setelah kerajaan Tarumangara runtuh diinvasi oleh Sriwijaya pada akhir abad ke-7, di Jawa Barat muncul kerajaan Sunda. Carita Parahyangan, naskah Sunda Kuna yang berasal dari abad ke-16, menghubungkan masa awal kerajaan di Jawa Barat ini dengan tokoh Sanjaya yang menjadi raja di Mataram.
Menurut Carita Parahyangan, Sanjaya adalah anak Sena, Sanna menurut prasasti Canggal, raja yang berkuasa di Galuh. Pada suatu ketika terjadi perebutan kekuasaan antara Sena dan Rahyang Purbasora, saudara seibu Sena. Sena kalah dalam perebutan kekuasaan tersebut, dan dibuang bersama keluarganya ke daerah Gunung Merapi. Tetapi akhirnya Sanjaya anak Sena berhasil merebut kembali kekuasaan ayahnya dari tangan Rahyang Purbasora. Sanjaya kemudian menjadi raja di Galuh.
Carita Parahyangan menyebutkan pula bahwa Sanjaya adalah menantu raja Sunda yang bergelar Tohaan (Yang Dipertuan) di Sunda, yaitu Tarusbawa. Sanjaya kemudian menggantikan mertuanya menjadi raja Sunda dengan tetap berkedudukan di Galuh. Setelah menjadi raja selama sembilan tahun lamanya ia digantikan oleh anaknya, Rahyang Tamperan. Bagaimana Sanjaya kemudian berpindah dari seorang raja di Sunda menjadi raja Mataram tidak diketahui dengan jelas. 17

Prasasti Kebonkopi II dari daerah Bogor, yang berbahasa Malayu Kuna dari tahun 854 Saka (932 Masehi) berisi pernyataan tentang pengembalian kekuasaan kepada raja Sunda (Haji Sunda) oleh seorang pejabat, Rakryan Juru Pangambat. Kekuasaan yang dikembalikan itu ialah kekuasaan atas wilayah kerajaan Tarumanagara yang semula dikuasai (diinvasi) oleh Sriwijaya sejak akhir abad ke-7.
Bagaimana perkembangan kerajaan Sunda ini selanjutnya tidak diketahui dengan pasti, sampai munculnya prasasti Sanghyang Tapak dari daerah Sukabumi, Jawa Barat. Prasasti dari tahun 1030 ini menyebutkan nama seorang haji i Sunda yang bernama Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya. Kerajaannya disebut kerajaan Sunda (prahajyan i Sunda).
Nama gelar raja Sunda ini sangat mirip dengan nama gelar raja Airlangga di Jawa timur yang memerintah pada masa yang sama pula. Selain menggunakan bahasa Jawa kuna, prasasti ini menggunakan aksara kuadrat, yaitu sejenis aksara Jawa Kuna yang biasa digunakan pada prasasti-prasasti Jaman Kadiri.
Letak ibukota kerajaan Sunda sejak 932 sampai pada masa pemerintahan Jayabhupati tahun 1030, mungkin terletak di daerah Bogor dan pada masa kemudianibukota ini bernama Pakuan Pajajaran.
Untuk beberapa lama kita tidk memperoleh berita tentang kerajaan Sunda yang berpusat di Bogor. Tetapi, beberapa waktu kemuduan kita memperoleh berita mengenai kerjaan Sunda dari sejumlah prasasti yang ditemukan di daerah Ciamis, yaitu di Kuta Kawali. Di dalam prasasti Kawali yang berjumlah enam buah disebutkan pula seorang raja bernama Parebu Raawastu yang bertakhta di Kawali dengan kadatonnya yang bernama Surawisesa dan telah membuat parit pertahanan yang mengelilingi kota Kawali.
Di dalam kitab Carita Parahyangan disebutkan terjadinya peristiwa perang Bubat pada tahun 1357, yang menyebabkan gugurnya Prebu Maharaja Linggabuwana yang memerintah di Kawali sejak tahun 1350. Dalam Carita parahyangan disebutkan pula bahwa Parebu Maharaja masih mempunyai seorang putra bernama Parebu Raja Wastu. Ketika peristiwa Bubat terjadi ia masih kecil, sehingga ketika Parebu Maharaja gugur untuk sementara pemerintahan di kerajaan Sunda dipegang oleh pamanya, Hyang Bunisora yang bertindak sebagai wali. Masa perwalian ini berlangsung pada tahun 1357-1371.
Prabu Raja Wastu tidak lain adalah Rahyang Niskala Wastukancana yang disebutkan di dalam prasasti Batutulis dan prasasti Kebantenan. Ia memerintah pada tahun 1571-1475. Penggantinya ialah anaknya, Sri Baduga Maharaja, yang dinobatkan dengan nama Prebu Guru Dewataprana, dan dinobatka kembali dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang ratu Dewata. Selain disebutkan dalam prasasti Batutulis, namanya juga disebutkan dalam prasasti Kebantenan dan prasasti Huludayeuh. Ia memerintah pada tahun1482-1521.
Di dalam prasasti Batutulis ia disebutkan telah membuat parit sekeliling ibukota Pakuan, membuat tanda peringatan berupa gugunungan, memperkeras jalan-jalan (ngabalay), membuat hutan lindung (nyian samida) dan membuat sebuah telaga yang dinamai Sang Hyang Talagawarna Mahawijaya. Penggantinya ialah raja Surawisesa Jaya Perkosa yang memerintah pada tahun 1521-1535. Pada tahun 1533 ia mengeluarkan prasasti Batutulis yang memperingati jasa-jasa ayahnya, Sri Baduda Maharaja.
Hal yang penting dari masa pemerintahannya ialah dilakukannya perjanjian dengan Portugis pada tanggal 21 Agustus 1522. Dalam perjanjian itu raja Surawisesa disebut dengan nama Samiam (Ratu Sanghyang). Isi perjanjian itu intinya adalah pernyataan pihak Portugis untuk membentu kerajaan Sunda jika sewaktu-waktu 18

kerajaan Sunda diserang oleh kerajaan Islam. Sebagai imbalan, pihak Portugis dijinkan mendirikan benteng di bandar Banten, dan diberi hak untuk memperoleh lada sebanyak 350 kuintal setiap tahun.
Sepeninggal raja Surawisesa, kerajaan Sunda berturut-turut diperintah oleh pengganti- penggantinya yaitu raja Dewata Buwana (1535-1543), Ratu Saksi (1543-1551), Tohaan di Majaya yang bernama Nilakendra (1551-1567), dan raja terakhir Ragamulya Suryakancana (1569-1579). Kerajaan Sunda berakhir pada tahun 1579, dikalahkan oleh kerajaan Banten. Dengan demikian berakhirlah kerajaan Sunda sebagai benteng terakhir kekuasaan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha do Indonesia.
7. Kerajaan-kerajaan di Bali (Balidwipa)

Kerajaan-kerajaan tertua di Bali berasal dari masa sekitar abad ke-9. Sejumlash prasasti dari tahun 882-914 telah menyebutkan sebuah pusat kekuasaan (panglapuan) di Singhamandawa, tetapi tidak menyebutkan nama rajanya. Nama raja Bali baru disebutkan dalam prasasti Sanur yang berasal dari awal tahun 914. Rajanya bernama Sri Kesari Warmadewa.
Dari sejumlah prasasti Bali yang berasal dari tahun 915-942 diketahui di Bali memerintah seorang raja bernama Sang Ratu Sri Ugrasena yang berkedudukan di Singhamandawa. Dari prasasti Manikliu tahun 955 dikenal seorang raja yang lain bernama Sang Ratu Sri Aji Tabanendra Warmadewa. Pengganti raja Tabanendra berturut-turut adalah Sang Ratu Sri Candrabhayasingha Warmadewa dan Sang Ratu Sri Janasadhu Warmadewa. Masa pemerintahan kedua orang ini tidak diketahui denga jelas karena masing-masing hanya mengeluarkan satu prasasti. Raja Candrabhayasingha mengeluarkan prasasti Tirta Empul tahun 960 dan raja Sri Janasadhu mengeluarkan prasasti Sembiran tahun 975. Rupanya Sri Kesari Warmadewa merupakan pendiri dinasi (wangsakara) Warmadewa.
Pada tahun 984 muncul seorang raja bernama Sri Maharaja Sri Wijaya-mahadewi, dan pada tahun 989 muncul pulaseorang raja bernama Sri Dharmma-Udayana Warmadewa yang memerintah bersama permaisurinya Sang Ratu Luhur Sri Gunapriyadharmmapatni keturunan Mpu Sindok dari Wangsa Isyana. Mereka memerintah sekitar tahun 989-1011.
Dari perkawinannya raja Udayana dengan Gunapriyadharmmapatni lahirlah tiga orang anak, yaitu Airlangga, Marakata dan Anakwungsu. Airlangga kemudian menjadi raja di Mataram di Jawa Timur, sedangkan Marakata dan Anakwungsu menjadi raja di Bali.
Dari empat buah prasasti yang berasal dari tahun 1022-1027 dapat diketahui raja yang memerintah di Bali pada waktu itu ialah raja Marakata yang bergelar Paduka Haji Sri Dharmmawangsa-warddhana Marakatapangkajastanottunggadewa. Dalam prasasti Trunyan tahun 1050 sudahdisebutkan yang menjadi raja adalah Paduka Haji Anakwungsu. Prasastinya yang terakhir berasal dari tahun 1088. Setelah itu tampil seorang raja yang bergelar Paduka Sri Maharaja Sri Sakala-Indukirana Isyanagunadharmmalaksmidhara Wijayottunggadewi, yang mengeluarkan prasasti Sawan (Sukhapura II), pada tahun 1098.
Dari prasasti Air Tabar yang berasal dari tahun 1115 kita mengenal seorang raja yang bergelar Sri Maharaja Suradhipa. Nama raja ini dalam prasasti Sukhamerta (Angsri) tahun 1119 disebutkan pula bersama raja lain yang bernama Bhatara Sri Haji Uganendra Dharmmadewa. Masa pemerintahan kedua raja ini tidak diketahui dengan pasti, tetapi dari prasasti yang berasal dari tahun 1146 dan 1150 ada raja yang bernama Paduka Sri Maharaja Sri Jayasakti. Rupanya ia kemudian digantikan 19

oleh Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus karena namanya disebutkan dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkannya pada tahun 1178 dan 1181.
Raja Jayapangus digantikan oleh Sri Maharaja Haji Ekajaya, yang memerintah bersama ibunya, Paduka Sri Maharaja Sri Arjayya, seperti disebutkan dalam prasastinya yang berasal dari tahun 1200. Empat tahun kemudian muncul seorang raja bernama Bhatara Guru Sri Adikuntiketana seperti disebutkan dalam prasasti Bangli III dari tahun 1204. Masa pemerintahannya tidak diketahui dengan jelas. Setelah itu terdapat masa kegelapan yang cukup lama dalam sejarah Bali Kuna karena sedikitnya sumber-sumber sejarah yang sapai kepada kita.
Pada tahun 1260 muncul seorang raja bernama Paduka Bhatara Guru Parameswara Sri Hyang ning Hyang Adidewalanchana, seperti disebutkan dalam prasasti Bulihan. Setelah itu baru diketahui lagi seorang raja bernama Paduka Bhatra Guru (II) yang disebutkan dalam prasasti Hyang Putih bersama-sama anaknya, Paduka Aji Sri Tarunajaya.
Dalam prasasti Tumbu dari tahun 1325 disebutkan seorang raja bernama Paduka Sri Maharaja Sri Bhatara Mahaguru Dharmmottungga Warmmadewa. Kemunculan raja ini menunjukkan kembalinya dinasti Warmmadewa dalam masa pemerintahan raja-raja di Bali. Batara Mahaguru mangkat pada tahun 1355 seperti disebutkan dalam prasasti Salumbung.yang menyebutkan nama Paduka Bhatara Sri Walajaya Kertaningrat bersama ibunya, Paduka Tara Sri Mahaguru. Dari prasasti Langgaran tahun 1338 disebutkan yang menjadi raja adalah Paduka Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten. Ia adalah raja Bali terakhir, sebab sejak tahun 1343 Bali ditaklukkan oleh Gajah Mada.
Sesudah penaklukkan Bali oleh Gajah Mada, terdapat dua prasasti dari raja Majapahit yang ditemukan di Pulau Bali. Prasasti-prasasti itu dalah Prasasti Her Abang II tahun 1384 yang dikeluarkan oleh Paduka Sri Maharaja Parameswara Sri Wijayarajasa, dan prasasti Tambelingan II tahun 1398 yang menyebutkan nama raja Pauka Bhatara Sri Parameswara Sira Sang Mokta ring Wisnubhawana. Sejak Bali dikuasai oleh keluarga raja-raja Majapahit pusat pemerintahan mula-mula di daerah Samprangan, tetapi kemudian dipindahkan ke Gelgel dan Klungkung. Raja-raja di Klungkung menganggap dirinya sebagai orang keturunan Majapahit (wong Majapahit).
III. ASPEK-ASPEK SOSIAL-BUDAYA PADA MASA HINDU-BUDDHA
Pelayaran dan perdagangan internasional di Jalur Sutera yang menghubungkan Tiongkok (Asia Timur) dengan India (Asia Selatan) dan Dunia Arab (Asia Baratdaya) telah memengaruhi perkembangan kehidupan sosial-budaya di Nusantara (Asia Tenggara) pada umumnya, khususnya di Indonesia. Masuknya pengaruh kebudayaan India ke Indonesia telah menimbulkan beberapa perubahan yang merupakan perkembangan baru dalam tatanan kehidupan sosial-budaya bangsa Indonesia pada waktu itu. Perkembangan baru ini di antaranya ialah diterimanya agama Hindu dan Buddha, sistem kemasyarakatan, sistem tulisan dan kesenian, khususnya seni sastra, seni bangunan, dan seni arca yang berlatarkan agama Hindu dan Buddha.
Namun kondisi perkembangan kehidupan sosial-budaya masyarakat di berbagai daerah di Indonesia yang ada pada masa akhir prasejarah, tidaklah sama. Keadaan seperti ini menyebabkan tidak meratanya persebaran pengaruh datangnya 20

kebudayaan India itu di berbagai daerah, dan menyebabkan pula perbedaan kemampuan dalam mengadaptasi unsur-unsur kebudayaan luar.
Dalam membahas perkembangan aspek-aspek kehidupan sosial-budaya kerajaan-kerajaan di Indonesia masa Hindu-Buddha, kita tidak dapat menjelaskannya secara untuh pada setiap kerajaan. Karena, tidak semua kerajaan-kerajaan itu memiliki masa perkembangan yang sama, dan juga tidak semua memiliki kemampuan untuk mengembangkan aspek-aspek kehidupan sosial-budaya secara maksimal dan berkelanjutan.
Di samping itu sumber-sumber berupa tinggalan-tinggalan masa lampau dari kerajaan-kerajaan tersebut yang sampai kepada kita sangat terbatas, baik kuantitasnya mau pun kualitasnya, sehingga tidak semua kerajaan-kerajaan pada masa Hindu-Buddha itu dapat diungkapkan aspek-aspek kehidupan sosial-budayanya secara utuh dan jelas.
Dengan demikian dalam membahas perkembangan aspek-aspek kehidupan sosial-budaya itu kami dibatasi pada perkembangan yang terdapat pada beberapa kerajaan tertentu saja, seperti yang ada di kerajaan Mataram dan Kerajaan Majapahit karena sumber-sumbernya dpat dikatakan cukup memadai. Pengetahuan tentang aspek-aspek kehidupan sosial-budaya dari masa perkembangan keerajaan-kerajaan Hindu- Buddha tersebut merupakan akar kebudayaan yang masih mewarnai corak kehidupan tradisional di berbagai kelompok masyarakat di Indonesia.
BIBLIOGRAFI
[Daftar Pustaka Acuan untuk Studi Pendalaman]
Abdullah, Taufik dan Adrian B. Lapian (Editor Umum)
2013 Indonesia dalam Arus Sejarah: Jilid 2. Kerajaan Hindu-Buddha. (Editor
Jilid: Edi Sedyawati dan Hasan Djafar). Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve/
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Cetakan Pertama.
Bernet Kempers, A.J.
1959 Ancient Indonesian Art. Amsterdam: C.P.J. Van der Peet.
Boechari
2013 Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Kumpulan Tulisan Boechari.
Penyunting: Ninie Susanti, Hasan Djafar dkk. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Cortesao, Armando
1944 The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the East, from Red Sea to
Japan. Translated from Portuguese MS in Bibliothèque de la Chambre des
députés Paris, and edited by Armando Cortesão. London: Hakluyt Society.
Djafar, Hasan
2009 “Sistem Pengetahuan Tradisional”, dalam Mohammad Iskandar (editor),
Sejarah Kebudayaan Indonesia: Jilid 8. Sistem Pengetahuan, hlm. 7-46.
(Editor Umum: Mukhlis PaEni). Jakarta: Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata.
2010 Kompleks Percandian Batujaya: Rekonstruksi Sejarah Kebudayaan Daerah
Pantai Utara Jawa Barat. Bandung: Kiblat Buku Utama/École française
d’Extrême-Orient/Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional/
Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.
2013 Masa Akhir Majapahit: Gîrindrawarddhana & Masalahnya. Depok:
Komunitas Bambu. Cetakan kedua.
Groeneveldt, W.P.
1960 Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources.
Djakarta: Bhratara.
2009 Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Penerjemah: Gatot Triwira, Editor:
David Kwa. Depok: Komunitas Bambu.
Heine Geldern, R. von
1982 Konsepsi tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara.
Terjemahan Deliar Noer. Jakarta: Rajawali. Cetakan ke-2.
Kartodirdjo, Sartono
1969 “Struktur Sosial dari Masjarakat Tradionil dan Kolonial”, Lembaran
Sedjarah, 4. Jogjakarta: Djurusan Sejarah, Fakultas sastra, Universitas
Gadjah Mada. 26

Kinney, Ann R.
2003 Worshiping Siva and Buddha: The Temple Art Of East Jva. With Introduc-
tion to the Religion and Art of East Java by Marijke J. Klokke and Lydia
Kieven. Honolulu: University of Hawai’i Press
Miksic, John (Volume Editor)
2008 Indonesian Heritage: Vol. 1. Ancient History. General Editors: Joop Ave et al.
Singapore: Didier Millet/Jakarta: Buku Antar Bangsa.
[Buku ini telah diterbitkan pula dalam Bahasa Indonesia denga Judul:
Sejarah Kuno].
PaEni, Mukhlis (Editor Umum)
2009 Sejarah Kebudayaan Indonesia. 8 Jilid. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata.
Poerbatjaraka, R.M.Ng.
1957 Kepustakaan Djawa. Djakarta: Djambatan. Cetakan kedua.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Editor Umum).
2008 Sejarah Nasional Indonesia: II. Zaman Kuno. Edisi Pemutakhiran (Editor
Umum Pemutakhiran: R.P. Soejono dan L.Z. Leirissa; Editor Jilid
Pemutakhiran: Endang Sri Hardiati). Jakarta: Balai Pustaka. Cetakan Pertama
Pemutakhiran.
Ramelan, Wiwin Djuwita
2014 Candi-candi di Indonesia: I. Candi-candi di Jawa. Jakarta: Direktorat
Pelestarian Cagar Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI. (Inpress).
Schrieke, B.J.O.
1966 Indonesian Sociological Studies, Part One. The Hague/Bandung: W. van
Hoeve. Second Edition.
Slametmuljana
1966 Perundang-undangan Majapahit. Djakarta: Bhratara.
Soekmono, R.
1990 Sejarah Kebudayaan Indonesia, jilid 2. Yogyakarta: Kanisius.
Zoetmulder S.J., P.J.
1982 Kalngwan. Ikhtisar Kesusastraan Jawa Kuna. Diterjemahkan oleh
Dick Hartoko. Jakarta: Djambatan. 27